tirto.id - Ada sebanyak 38 anak yang ikut terdampak penggusuran warga Bongsuwung oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada Rabu (3/10/2024). Sebanyak enam anak telah mendapat pengasuhan dari yayasan, namun sebagian besar masih terlantar.
Pemilik Yayasan Bumi Damai, Bon Ali, mengatakan bahwa ada empat anak warga Bongsuwung yang kini berada dalam pengasuhannya. Dia menilai, anak-anak ini memiliki sikap yang berbeda daripada anak umumnya. Bahkan, anak-anak cenderung kaget dengan pola pengasuhan Islami yang mulai bangun ketika subuh.
"Jadi anak-anak ini, saya rasa butuh pendampingan psikologis, di samping pengasuhan yang baik," ujar Bon Ali, dihubungi kontributor Tirto, Sabtu (5/10/2024).
Pria yang juga personel Sat PJR Ditlantas Polda DIY dengan pangkat Ipda ini pun membeberkan, yayasannya telah berupaya mengevakuasi anak-anak dari Bongsuwung sejak sebelum penggusuran. Namun, kala itu hanya satu anak yang bersedia ikut untuk diasuh. Hingga saat penggusuran Bongsuwung, bertambah tiga orang anak lagi yang kini dalam pengasuhannya.
Bon Ali menilai Bongsuwung bukan sebuah kawasan yang layak bagi tempat bertumbuh anak. Ditilik dari faktor pendidikan dan kebutuhan akan keluarga. Tapi sekarang, keadaan makin parah dengan anak-anak di Bongsuwung yang justru terancam jadi tunawisma dan putus sekolah.
"Karena saya mempunyai Yayasan Bumi Damai, menampung yatim piatu, fakir miskin, anak terlantar, anak napiter (narapida teroris). Ini anak dari Bongsuwung anak yang orangtuanya tidak punya rumah, jadi kami harap bisa dibawa ke yayasan kami," ucpanya.
Bon Ali berharap, misi kemanusiaan dikedepankan dalam penanganan Bongsuwung, utamanya bagi anak-anak untuk dapat meraih masa depan yang baik melalui pendidikan.
"Biar anak bisa gabung dengan anak yang tinggal di sini, tinggal bersama, belajar bersama dan sekolah berangkat dari sini bersama," kata Bon Ali.
Bon Ali pun kini aktif berkoordinasi dengan salah satu warga Bongsuwung bernama Damar. Melalui Damar, Bon Ali berupaya mengevakuasi anak warga Bongsuwung. Sebab diketahui, ada orangtua anak yang tetap menjadi pekerja seks dan beroperasi di jalanan.
"Insyaallah, Pak Damar kemarin juga menawarkan, masih ada. Silakan, nanti bisa dibawa ke yayasan. Kalau memang tidak bisa bawa (tidak punya akomodasi), anaknya tinggal di mana insyaallah kami jemput," lontarnya.
Selain memberikan pengasuhan, Yayasan Bumi Damai juga memfasilitasi pemindahan sekolah anak. Sehingga dipastikan, anak tetap akan mendapat pendidikan.
"Sudah semua, begitu dijemput langsung kami daftarkan ke sekolah dekat yayasan. Tempat saya tidak istimewa, tapi saya ingin membuat anak yang tinggal di sini merasa nyaman, terayomi, dan bisa merasakan seperti anak lainnya," ucapnya.
Ssbelumnya, Damar mengemukakan sudah ada enam anak yang tidak sekolah pada H+1 penggusuran Bongsuwung yang dilakukan pada Rabu (3/10/2024). Kini empat anak telah ditampung di dua panti. Diperkirakan, ada 3-5 anak lagi akan dikirim ke Yayasan Bumi Damai milik Bon Ali.
Damar juga mengubgkap ada seorang anak yang dikenalnya harus tidur di pinggir jalan. Ibu anak itu, kata Damar, harus ke Parangkusumo di Bantul untuk menjadi pekerja seks. Sementara tidak punya tempat tinggal, anak ini ikut ayahnya tidur dalam becak di depan sebuah hotel.
“Silakan cek, anaknya rambutnya keriting. Tidur di depan Hotel POP,” kata Damar.
Selain faktor ekonomi, Damar bilang ada tekanan mental yang dihadapi oleh anak-anak Bongsuwung. Sebagian anak-anak ini enggan sekolah, karena ingin menjaga ibunya. Mereka takut, akan terjadi sesuatu yang mencelakakan ibunya saat mereka sekolah.
“Mental terganggu atau bagaimana, banyak anak yang takut dan ingin melindungi orangtua untuk ikut berjuang. Tidak mau sekolah meskipun kami mendorong,” sebut Damar.
Sementara itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) merilis ada sebanyak 226 jiwa menjadi korban penggusuran paksa di Bongsuwung. Termasuk di antaranya 38 anak-anak, lebih dari 50 lansia, dan tiga penyandang difabel.
Penggusuran Bongsuwung yang kurang bijak telah menyisakan ancaman sosial dan kesehatan terhadap masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mulai dari peningkatan kemiskinan, tunawisma, dan angka putus sekolah. Selain itu juga krisis kesehatan, khususnya berkaitan dengan kekhawatiran meningkatnya angka dan penularan HIV dan AIDS di DIY.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Anggun P Situmorang