tirto.id - Waktu sudah memasuki 02.30 WIB dini hari ketika Sultan Najamudin dilantik menjadi Ketua DPD periode 2024-2029, Rabu (2/10/2024) lalu. Hampir tujuh jam waktu yang terkuras untuk agenda pemilihan pimpinan baru DPD, yang dilangsungkan Selasa (1/10) malam. Proses pemilihan berlangsung alot dan sempat diwarnai ketegangan karena ada silang pendapat.
Sultan akhirnya berhasil mengalahkan pesaingnya, La Nyalla Mahmud Mattalitti. La Nyalla merupakan Ketua DPD periode 2019-2024, yang dikalahkan saat voting pemilihan memperebutkan 151 suara anggota DPD. Sultan memperoleh 95 suara, sementara La Nyalla hanya memperoleh 56 suara. Di akhir perhitungan, La Nyalla bangkit dari kursinya dan menghampiri Sultan, mereka mengakhiri persaingan dengan berpelukan.
Mekanisme pemilihan pimpinan DPD periode 2024-2029 memang berbeda dengan periode sebelumnya. Kali ini, pemilihan pimpinan DPD [ketua dan wakil ketua] dilakukan dalam satu paket. Sementara pada periode 2019-2024 silam, kandidat yang kalah menjadi wakil ketua.
Dinamika pemilihan unsur pimpinan DPD sejatinya menggambarkan mekanisme demokrasi. Anggota DPD lebih independen sebab tidak mewakili fraksi parpol seperti di DPR. Pemilihan juga sukses menerapkan sistem one person one vote. Calon pimpinan juga maju dengan visi-misi untuk meyakinkan anggota DPD lain.
Sayangnya, hasil sebaliknya justru muncul ketika DPD menjalankan tugasnya. Lembaga ini masih dipandang kalah pamor dan inferior dibanding dengan DPR. Kinerja DPD juga jarang tersorot dan minim gebrakan, seakan cuma ‘kamar pelengkap’ dalam sistem bikameral yang dianut parlemen Indonesia.
Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 di Pasal 22D menjamin konstitusional DPD. Lembaga ini lahir sejak 2004, lewat amandemen konstitusi UUD 1945. DPD punya fungsi yang hampir sama dengan DPR: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Hanya saja peran-peran itu lebih difokuskan pada hal-hal yang berhubungan dengan otonomi dan perkembangan daerah.
Namun dalam pelaksanaannya, DPD masih sering disebut antara ada dan tiada. Tugas dan fungsi yang mereka lakukan berujung tidak maksimal. Terbatasnya kewenangan DPD jadi salah satu diskursus – atau bisa juga dalih – yang selalu diputar berulang.
Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan DPD sering disebut sebagai lembaga dengan legitimasi yang kuat, namun dengan kewenangan yang sangat terbatas. Hal itu, kata Titi, tidak lepas dari keterbatasan yang diatur dalam UUD maupun UU MD3 yang menempatkan DPD secara setengah hati.
Baik dalam fungsi legislasi maupun pengawasan, DPD dapat bagian tanggung. Belum lagi, DPR sendiri malah sering tidak melibatkan DPD dalam pembahasan RUU terkait daerah.
“DPR masih sangat setengah hati melibatkan DPD dalam pembahasan UU, khsususnya yang punya implikasi kepada daerah,” kata Titi dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/10/2024).
DPD sendiri dinilai memiliki dinamika internal yang diwarnai banyak friksi-friksi antaranggota. Akibatnya, DPD malah lebih dikenal akibat sensasi ketimbang prestasi. Konflik internal yang ada di tubuh DPD memicu agenda kelembagaan mereka menjadi berjalan tidak optimal.
Titi menilai, butuh perubahan mendasar menempatkan DPD dalam desain ketatanegaraan Indonesia. Amendemen UUD dalam rangka memperkuat fungsi DPD dinilai bisa jadi solusi. Hal ini tetap dilakukan dengan niatan memperkuat dan mengoptimalkan peran DPD.
Selama proses itu belum terwujud, Titi menilai eksistensi DPD ke depan bergantung pada kemampuan unsur pimpinan dalam membangun komunikasi politik. Hal ini dilakukan untuk menempatkan posisi tawar yang lebih kuat dengan DPR maupun Pemerintah.
“Pimpinan yang sekarang harus visioner dan responsif dalam menangkap dinamika daerah dan merefleksikannya dalam peran dan fungsi kelembagaan DPD,” jelas Titi.
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menjelaskan DPD memiliki tugas utama dalam mewakili daerah dan memberikan masukan terhadap RUU berkaitan dengan otonomi daerah. Namun, DPD tidak memiliki kekuasaan legislatif setara DPR yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan dan menyetujui undang-undang.
Selain itu, kata Felia, DPD tak punya kekuasaan untuk mengawasi anggaran negara secara langsung. Praktis membuat DPD terkesan menjadi ‘pemain cadangan’ yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap pembuatan kebijakan nasional.
“Keterbatasan kewenangan DPD ini disebabkan oleh konstruksi hukum yang mengaturnya,” kata Felia dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/10).
Menurut Felia, kinerja DPD periode 2019-2024 mengungkap beberapa tantangan signifikan yang mempengaruhi efektivitas lembaga. Salah satu masalah utama adalah konflik internal, terutama dalam pemilihan pimpinan, yang sering memicu ketidakstabilan.
Kekisruhan dalam proses ini memberi kesan bahwa DPD belum sepenuhnya berfokus pada tugas utamanya sebagai lembaga legislatif yang memperjuangkan kepentingan daerah.
“Konflik tersebut tidak hanya menghambat kinerja internal, tetapi juga menciptakan citra negatif di mata publik terkait profesionalisme dan komitmen lembaga ini,” sambung Felia.
Selain itu, meski memiliki fungsi memberikan masukan dan advokasi kebijakan publik, peran DPD dalam pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan daerah belum optimal. Kontribusi DPD dalam hal ini dinilai kurang signifikan, terutama terkai isu-isu krusial yang berdampak langsung pada pembangunan dan kesejahteraan daerah.
DPD perlu meningkatkan sinergi dengan pemerintah daerah sambil memperkuat hubungan kerja sama dengan DPR. Upaya ini dilakukan untuk mendorong tercapainya kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan daerah.
Dalam program legislasi nasional (Prolegnas), kata Felia, Banyak RUU yang diusulkan oleh DPD diabaikan tanpa pembahasan lebih lanjut. Pada Prolegnas 2020-2024, dari sebanyak 59 RUU yang diajukan oleh DPD, hanya empat saja yang disahkan DPR.
“Itu pun terjadi karena adanya kolaborasi dengan DPR dan pemerintah. Contoh dari RUU yang berhasil disahkan antara lain RUU tentang Pelindungan Data Pribadi, RUU Otonomi Khusus Papua, RUU Pemerintahan Daerah, dan RUU Sistem Keolahragaan Nasional,” papar Felia.
Temuan ini menegaskan bahwa DPD masih sangat bergantung pada DPR dan pemerintah untuk mendorong agenda lembaganya sendiri. Sekaligus begitu menunjukkan keterbatasan dalam menjalankan fungsi legislasi secara mandiri.
Demi meningkatkan kinerja periode baru, DPD perlu memperkuat kapasitas kerjanya dalam advokasi, memperbaiki mekanisme internal, serta memperluas jangkauan kolaborasi lintas sektor. DPD juga perlu lebih aktif dalam memantau dan merespons isu-isu daerah dengan solusi yang lebih nyata dan terukur.
Menanti Terobosan
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai selain karena faktor kewenangan, peran minor dan inferioritas DPD disebabkan juga oleh anggota sendiri yang kebanyakan adalah kader parpol tukang cari kenyamanan belaka. Biasanya, kata dia, anggota parpol masuk ke DPD sambil menunggu peluang bagus di jagat politik.
Banyaknya kader Parpol di DPD membuat lembaga ini kesulitan untuk terlihat berbeda dari DPR. Seharusnya, kata Lucius, yang pas menjadi anggota DPD adalah tokoh daerah yang punya semangat total membangun daerahnya.
“Mereka yang punya hati untuk membangun daerah,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Kamis (3/10).
Di sisi lain, DPR sebetulnya punya kuasa untuk membantu agar DPD menjadi kuat. Namun DPR dinilai terllihat tidak begitu rela jika DPD memiliki peran lebih. Terbukti dari dukungan politik DPR untuk penguatan kelembagaan DPD yang hampir tak ada.
Menurut Lucius, DPD sendiri harus lebih punya inisiatif untuk membuktikan ke publik bahwa sebagai lembaga yang terbatas, mereka tetap bisa diandalkan. DPD harus bisa menunjukan perlunya mereka di jagad politik ketatanegaraan Indonesia.
Kisruh pemilihan pimpinan adalah hal buruk yang membuat DPD menjadi terus terpuruk. Ini bisa membuat DPD tidak mendapat kepercayaan penuh dari publik. Konflik internal juga menandakan watak anggota DPD yang sarat kepentingan politis sebab berebut kursi.
“Saya kira wajah DPD seperti digambarkan di atas menjelaskan kenapa DPD tak pernah hadir dalam isu krusial daerah yang diwakilnya. Dia wakil daerah tapi berasa jauh dengan daerah karena ya bagi mereka jadi DPD itu jabatan elit aja,” ucap Lucius.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai DPD punya persoalan struktural yang seolah sengaja dilemahkan oleh DPR dan pemerintah. Dari sisi jumlah, anggota DPD dibandingkan jumlah anggota DPR terpaut jauh.
Yance menyebut, hampir setiap periode pemilu jumlah anggota DPR bertambah. Terakhir, DPR periode 2024-2029 berjumlah 580 orang. Sementara jumlah anggota DPD tidak pernah bertambah dari awal sampai sekarang hanya berjumlah 4 orang dari setiap provinsi.
“Ini penting karena anggota DPD adalah juga anggota MPR yang punya kewenangan terlibat dalam perubahan UUD 1945, termasuk bila hendak menata dan memperkuat DPD melalui amandemen UUD 1945,” kata Yance kepada reporter Tirto, Kamis (3/10).
Yance menilai penting untuk menambah jumlah anggota DPD dalam mengimbangi porsi kewenangan DPR di kelembagaan MPR. Selain itu, DPD bersama DPR dan Pemerintah perluh membuat suatu peraturan bersama terkait dengan tata tertib dalam pembentukan undang-undang untuk memastikan RUU yang diusulkan oleh DPD wajib dibahas bersama.
Praktik ini akan menegaskan bahwa kedudukan antara DPR, DPD dan Pemerintah setara dalam pembahasan RUU dalam Rapat Tingkat Pertama. Peraturan bersama ini diperlukan pula untuk menjamin setiap RUU yang diusulkan dan dibahas bersama, dapat memberikan ruang bagi partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
“MK telah mempertegas mengenai kewenangan DPD. Namun permasalahannya terletak dari pengabaian yang selama ini dilakukan oleh DPR dan Pemerintah,” ujar Yance.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang