tirto.id - Pemerintah akan melarang penjualan minyak goreng curah mulai 1 Januari 2022. Kementerian Perdagangan berdalih karena harga minyak goreng curah cenderung sensitif terhadap perubahan harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah yang mengikuti patokan harga internasional.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, entitas produsen minyak goreng sangat sedikit yang terintegrasi dengan penghasil minyak CPO, sehingga sangat bergantung pada harga CPO global.
“Itu yang menyebabkan kenaikan. Dan ini berpotensi terus bergerak bahkan diprediksi sampai Q1 2022 masih mengingat terus. Karena termasuk dalam komoditi super cycle,” kata Oke dalam webinar Indef pada 24 November 2021.
Oke mengatakan, harga minyak goreng curah sangat tergantung dari harga CPO global, beda dengan minyak kemasan yang bisa disimpan dalam jangka panjang, sehingga harganya relatif terkendali. Hal ini karena produk dikemas dan bisa disimpan serta dapat bertahan lama.
“Untuk ini, pemerintah sudah mengantisipasi dengan mewajibkan peredaran minyak goreng kemasan. Tidak diizinkan lagi mulai 1 Januari 2022 minyak goreng diedarkan dalam keadaan curah,” kata Oke Nurwan.
Karena itu, kata dia, masyarakat diarahkan menggunakan minyak goreng dalam kemasan. “Nantinya dengan minyak goreng kemasan, maka harga akan terkendali dan jika ada perubahan harga bahan baku yang meningkat tidak langsung berdampak, walaupun jangka panjangnya pasti akan berdampak,” kata Oke.
Namun, logika pemerintah itu tak serta merta diterima kalangan pelaku usaha, khususnya pelaku usaha kecil mikro dan menengah (UMKM) sektor kuliner yang sangat bergantung pada minyak goreng curah sebagai salah satu bahan baku untuk produksinya.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Reynaldi Sarijowan mengatakan, para pelaku UMKM khawatir stok minyak goreng kemasan tak tersedia begitu larangan minyak goreng curah diterapkan pada awal 2022 nanti.
“Kami di hilir ini stoknya kami belum tau. Stoknya ada apa nggak nih minyak gorengnya,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (25/11/2021).
Apalagi, kata Reynaldi, pelaku UMKM belum diajak bicara, padahal mereka merupakan pengguna minyak goreng curah selama ini. Ia kecewa karena yang justru diajak bicara saat menyusun kebijakan adalah pelaku usaha yang merupakan produsen.
“Aturannya kami belum terima karena memang berdasarkan hasil rapat dengan Kementerian Perdagangan sendiri stakeholder yang dilibatkan ini hanya dari produsen saja. Tidak melibatkan kami pelaku pasar di pasar tradisional. Seharusnya kami selaku pedagang dilibatkan dalam setiap kebijakan,” kata dia.
Lantaran tak dilibatkan, Reynaldi curiga kebijakan larangan penjualan minyak goreng curah ini sengaja dibuat hanya untuk menguntungkan para produsen minyak goreng dalam kemasan saja.
Ia berharap, daripada pemerintah melarang peredaran minyak goreng curah, lebih baik memperbaiki tata niaga minyak goreng yang menurutnya lebih berkontribusi pada kenaikan harga di tingkat konsumen.
Jangan Sampai Merugikan UMKM
Hal senada diungkapkan Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Korwantara) Mukroni. Ia mengatakan sebaiknya kebijakan ini dikaji ulang. Pasalnya para pengusaha warteg saat ini tengah kesulitan untuk bertahan di tengah turunnya jumlah pembeli selama masa pandemi.
“Kami sedang seperti ini, kalaupun pakai kemasan kami takut harganya akan mahal. Kami kan beli minyak curah tetap yang bermerek di koperasi, kami enggak beli liter, kami belinya banyak. Kalau harus dikemas, kami takut akan berimbas pada harga menu,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/11/2021).
Mukroni menjelaskan, naiknya harga minyak goreng karena stok minyak sawit lebih banyak diekspor daripada dikonsumsi di dalam negeri. Hal ini sebaiknya diatur. Kebijakan mengemas minyak goreng sebaiknya tidak dilakukan tahun depan, kata dia.
“Kalau masalahnya minyak curah di dalam negeri naik karena stoknya banyak diekspor, harusnya amankan saja stok di dalam negeri dulu, baru ekspor. Kalau dikemas yang kami takutkan harganya akan mahal ya, kami kan cari yang murah. Maka pastikan harganya tidak berubah,” kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak menekankan agar kebijakan terkait minyak goreng jangan merugikan pelaku UMKM. Sebab, kata Amin, larangan penjualan minyak goreng curah berpotensi membuat UMKM kian terjepit karena pelaku usaha minyak goreng curah umumnya berskala industri rumah tangga dan tidak memiliki persediaan bahan baku sehingga harga minyak goreng curah sangat dipengaruhi pergerakan harga sawit atau CPO.
“Mereka juga tidak memiliki MoU jangka panjang seperti pengusaha minyak goreng kemasan yang kebanyakan pengusaha besar. Sehingga ketika harga sawit naik, harga minyak goreng curah langsung melejit, sedangkan harga minyak goreng kemasan relatif stabil. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, larangan minyak goreng curah mematikan UMKM, sedangkan pelaku usaha besar semakin memperluas pasar, bahkan membentuk pasar oligopoli,” kata Amin seperti dilansir Antara, Jumat (26/11/2021).
Terkait kurang higienis dan kemungkinan terkontaminasinya minyak goreng curah, Amin berpendapat pemerintah seharusnya bukan melarang, tetapi membuat regulasi untuk bisa mengontrol perdagangan minyak goreng curah.
Regulasi yang diperlukan, kata dia, antara lain mengatur agar distribusi terhindar dari kontaminasi, sanksi tegas bagi pelaku oplosan dengan minyak jelantah, dan kemasan sesuai standar.
“Adalah kewajiban pemerintah memberikan pembinaan kepada UMKM dan melindungi usaha rakyat dari ancaman usaha besar dengan praktek monopoli atau oligopoli,” kata dia.
Untung Rugi Larangan Penjualan Minyak Curah
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyarankan agar kebijakan larangan penjualan minyak goreng curah jangan serta merta langsung ditolak. Sebab, kata dia, ada sejumlah hal positif yang bisa didapat konsumen termasuk pelaku UMKM dengan adanya kebijakan ini.
“Kebijakan itu untuk menghindari adanya fluktuasi harga. Untuk menghindari cepatnya fluktuasi harga dunia,” kata Rusli saat dihubungi reporter Tirto.
Rusli setuju dengan argumen Kemendag yang menyebut minyak goreng curah tidak tahan lama bila disimpan dan membuatnya sangat sensiitif dengan perubahan harga CPO.
“Kalau harga CPO sekarang yang curah itu, kan, sebenarnya tidak lebih tahan lama daripada yang kemasan. Jadi, kalau seandainya itu dikemas dan dia disimpan lebih lama, itu lama-kelamaan akan jadi stok ya. Itu untuk mengurangi fluktuasi harga CPO itu sendiri,” kata Rusli.
Selain itu, kata Rusli, dengan adanya kebijakan ini, konsumen juga lebih terlindungi dari sisi kesehatan. Minyak goreng curah, kata dia, rentan dioplos dengan minyak jelantah atau minyak bekas oleh pedagang yang tidak bertanggung jawab, sehingga merugikan konsumen daris sisi kesehatan.
“Kemudian dari sisi Kesehatan, kalau semua minyak goreng itu harus dijual dalam bentuk kemasan, itu bisa menghindari penjualan minyak jelantah bekas. Kalau seandainya minyak yang sudah dikemas, maka gak ada lagi ruang untuk jual beli minyak jelantah itu. Kalau minyak curah itu, kan, ada oknum yang nakal ya, mau itu dioplos atau dicampur apa,” kata Rusli.
Alasan lainnya adalah menciptakan nilai tambah (valueadded) pada ekosistem industri minyak goreng itu sendiri. Minyak goreng curah, kata Rusli, umumnya tidak diolah dan langsung dikemas secara swadaya.
Hal tersebut membuat lebih sedikit industri yang terlibat dan lebih sedikit tenaga yang terlibat dalam proses dari mulai panen hingga minyak goreng curah didistribusikan ke masyarakat.
“Kenapa penjualan minyak kemasan itu harus didukung? Gini, kemasan kan berarti ada tambahan harga ya, ini gimana nih memastikan agar harga itu lebih terjangkau. Jangan tiba-tiba kenaikan harga. Lebih terkontrol," kata dia.
Rusli mengakui, memang dengan proses produksi yang lebih panjang, harga minyak goreng kemasan cenderung lebih tinggi ketimbang minyak goreng curah. Untuk itu, kata dia, perlu ada stimulus dari pemerintah agar konsumen termasuk UMKM yang semula menggunakan minyak goreng curah mau beralih ke minyak goreng kemasan.
“Saya kira ini perlu jadi satu prioritas pemerintah. Saya enggak tahu biayanya berapa dari curah menjadi kemasan. Tapi perlu ada insentif mengenai ini," kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz