tirto.id - Pemerintah bakal membebaskan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) perseorangan dengan penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun. Hal ini diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021. Dengan demikian, warung kopi hingga penjual makanan berpenghasilan di bawah Rp500 juta per tahun yang semula dikenakan PPh final 0,5 persen menjadi 0 persen.
“Jadi kalau ada pengusaha apakah dia memiliki warung kopi, warung makanan, dan pendapatan tidak mencapai Rp500 juta per tahun mereka tidak dikenakan pajak,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers UU HPP, Kamis (7/10/2021).
Namun, tak semua UMKM akan menikmati manfaat kebijakan tersebut. Ketua Koordinator Komunitas Warteg Nusantara Mukroni mengatakan, tanpa ada kebijakan itu sebenarnya para pengusaha kecil tidak ada kewajiban membayar PPh final. Hal ini terjadi karena pendapatan warteg rata-rata di bawah Rp41 juta/bulan.
“PPh final enggak pengaruh buat kami,” kata Mukroni saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/10/2021).
Menurut dia, justru stimulus yang sangat dibutuhkan pengusaha warteg adalah komitmen pemerintah untuk menggelontorkan bantuan tunai atau Bantuan Tunai untuk Pedagang Kaki Lima dan Warung (BT-PKLW) yang dianggap dia hingga saat ini belum optimal.
“Bantuan tunai itu loh, kami belum ada yang dapat. Dari anggota saya saja, kan, ada 500-an pengusaha warteg, belum ada informasi kalau mereka dapat. Malah saya yang ditagih mana ini bantuan buat pedagang, sementara yang ngebagiin bantuan, kan, polisi dan TNI ya, gimana kami mau nagih,” kata dia.
Pendapat berbeda diungkapkan pengusaha lain, Fariz yang sejak beberapa tahun ini menggeluti bisnis bean bag. Menurutnya, kebijakan ini cukup membantu, tapi tidak signifikan dampaknya untuk mengurangi beban pelaku usaha. Setidaknya bagai kelompok UMKM seperti dirinya.
“Jika dibilang dibutuhkan, tidak juga. Tapi bisa cukup membantu,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/10/2021).
Justru, kata dia, yang lebih dibutuhkan adalah dukungan promosi dan dukungan peralatan produksi bagi para pelaku UMKM.
Meskipun bukan pengusaha yang mendapat fasilitas pembebasan pajak, Owner Holicow Afit menjelaskan, bukan berarti kebijakan tersebut sia-sia. Ia bilang, kelompok UMKM dengan omzet Rp500 juta/tahun adalah UMKM yang tengah berada pada fase menantang. Sangat rawan gagal usahanya. Jadi menurutnya kebijakan ini akan sangat membantu.
“UMKM di level ini umumnya sudah masuk kelompok usaha PKP. Di sisi lain mereka butuh modal lebih besar agar usahanya tetap sustain. Pembebasan pajak ini bisa membantu mereka bertahan apalagi di kondisi saat ini yang penuh tekanan di tengah pandemi,” kata dia kepada reporter Tirto.
Menurut Afit, dengan diberikannya pembebasan pajak bagi para pengusaha yang berpendapatan dibawah Rp500 juta/tahun akan memberikan penguatan daya tahan keuangan perusahaan selama beroperasi di masa pandemi.
“Jadi memang akan sangat meringankan dari pengusaha itu sendiri untuk bisa lebih berkembang lagi, jadi dia bisa menggunakan alokasi pajak itu jadi cash reserve untuk cash flow mereka atau untuk pengembangan usaha nanti. Jadi untuk menuju supaya mereka jadi skala lebih besar lagi,” kata dia.
Mendorong UMKM Masuk Sistem Pajak
Pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai kebijakan ini memang utamanya adalah untuk menstimulus pelaku UMKM yang selama ini belum masuk sistem pajak, agar masuk ke dalam sistem perpajakan tanpa harus khawatir keuangan mereka terbebani. Dengan masuk ke dalam sistem perpajakan, harapannya pelaku UMKM bisa lebih tertib dalam proses administrasi dan pembukuan usaha.
“Harapannya, UMKM tidak lagi mengalami kendala untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Sebagai info, skema presumptive tax ini memang menyasar kepada apa yang kerap disebut hard to tax sectors, salah satunya ialah sektor informal. Terkait dengan adanya keringanan pembebasan PPh final di bawah Rp500 juta, ini seharusnya juga kian mendorong sektor informal UMKM untuk masuk dalam sistem pajak,” kata dia.
Namun di balik stimulus yang diberikan kepada para pengusaha untuk memperkuat daya tahan keuangan, ada risiko yang akan dihadapi. Kepala Centre of Macroeconomics and Finance (MACFIN) INDEF M Rizal Taufikurahman berkata, selain dampak penurunan penerimaan pajak ada risiko yang lebih fatal dari kebijakan pelonggaran pajak ini, yaitu turunnya performa usaha dari jalannya bisnis selama masa pandemi.
“Kemudian di sisi lain, dari sisi perusahaan UKM yang akan diberikan kebebasan pajak ini, ya senang-senang saja. Tapi permasalahannya itu malah membuat mereka dalam kondisi pandemi ini menjadi peluang mereka menjadi turun produktifitasnya,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (15/10/2021).
Rizal menjelaskan, pajak seharusnya menjadi indikator agar perusahaan berinovasi meningkatkan kualitas. Namun, jika kemudian pengusaha dibebaskan kewajiban atas pembayaran pajak, maka dikhawatirkan pengusaha akan menjadi tidak produktif.
“Padahal tujuan pemerintah, kan, ingin ada pemulihan ekonomi. Kalau kemudian dibebaskan begitu saja dikhawatirkan ya produktivitasnya turun di tengah pandemi, yang mestinya mereka bayar untuk pajak, tapi ya udah gak bayar. Gak ada dorongan karena pengusaha kan juga lebih ke wait and see ya, kalau wait and see kan gak gerak usahanya, gak jalan,” kata dia.
Berdasarkan data Indef, kata Rizal, hanya ada sekitar 62 juta UMKM yang masuk katagori industri formal yang bisa menikmati stimulus ini.
“Saya pernah mendata [pemasukan negara dari UMKM] sekitar 2,5 persen dari pendapatan negara dari pajak, sangat kecil itu di 2019. Tapi yang paling penting mereka itu sebagai backbone yang kaya SDM. Sebenarnya ke pemasukan negara kebijakan ini gak banyak ngaruh, tapi lebih ke produktivitas pengusaha yang nantinya gak akan gerak. Kan kewajibannya dipotong, jadi mereka gak produktif,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz