tirto.id - Masih ingat soal ramai barang impor Cina masuk Indonesia via marketplace dan mengancam eksistensi UMKM di dalam negeri? Peristiwa itu terjadi pada akhir Februari 2021, setelah viral tagar Mr Hu. Saat itu toko bernama bz_store.id yang memang menawarkan harga sangat murah.
Misalnya produk 'Micro Sdxc Ultra 256gb Sandisk 100mb / S Ultra Tf Card Dengan Adapter Class 10' yang dijual dengan harga Rp19.998 - Rp79.998. Sementara produk serupa yang dijual seller lokal yang terletak di Jakarta Utara dibanderol Rp95 ribu hingga Rp256 ribu.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pun turun tangan. Ia memberikan arahan agar 13 produk impor yang jenis produknya sama seperti barang yang diproduksi di dalam negeri dilarang masuk ke Indonesia.
“Termasuk di dalamnya fesyen muslim, garmen, alas kaki, tekstil, pernak-pernik yang sebenarnya industri lokal kita bisa bersaing. Jadi ini sukarela, mereka menyatakan 13 item dikeluarkan,” kata Lutfi pada 27 Agustus 2021.
Menurut dia, memang seringkali produk luar negeri dijual dengan harga yang lebih miring. Namun, ia menegaskan, produk impor yang dijajakan itu, sebenarnya belum tentu semuanya memiliki kualitas yang lebih baik dari produksi dalam negeri.
“Khususnya fesyen muslim seperti hijab. Mereka contek dengan menggunakan artificial intelligence, menggunakan mesin-mesin tercanggih, memakai bahan-bahan yang sebenarnya tidak ramah terhadap kulit kita, datang ke Indonesia dan harganya lebih murah dibandingkan ongkos parkir selama dua jam kalau kita beli di pusat perbelanjaan,” kata Lutfi.
Namun demikian, meski sudah mendapat tindakan tegas dari pemerintah, tampaknya kondisi terkini tidak banyak berbeda.
Di marketplace saat ini sudah jarang sekali barang impor yang dijual dari negaranya langsung. Namun, bukan berarti produk impor sudah sama sekali sirna dari marketplace Indonesia. Tetap saja masih bisa dijumpai, bahkan banyak barang impor yang membanjiri marketplace karena produknya sudah diimpor terlebih dahulu, baru kemudian dijual melalui agen lokal di marketplace.
Dengan kata lain, penjualnya orang Indonesia, lokasi gudang atau penyimpanan stoknya di Indonesia, hanya saja barang yang ditawarkan adalah barang impor.
Berdasarkan penelusuran reporter Tirto, misalnya tas pouch impor yang dijual mulai dari harga Rp850 perak sampai Rp10.000. Produk tersebut ditawarkan oleh penjual dari berbagai daerah, misalnya di Jakarta sampai Surabaya. Ada yang terbuat dari plastik transparan sampai kain yang super tipis dijahit dengan rapi.
Sementara itu, reporter Tirto juga menemukan tas handmade lokal dengan fungsi yang sama di marketplace yang sama dijual dengan harga Rp25.000. Dari perbedaan bentuk dan harga yang jauh membuat konsumen tampaknya lebih banyak memilih produk impor dibandingkan lokal. Hal ini tampak pada jumlah ulasan di dua produk tersebut.
Pada pouch yang harganya Rp850 sudah terjual 10 ribu pcs, sementara pouch handmade lokal belum ada yang membeli.
Fenomena tersebut sebenarnya bukan tidak diperhatikan pemerintah. Presiden Joko Widodo bahkan sampai harus menugaskan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI). Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan daya saing produk UMKM lokal, bukan hanya di dalam negeri, bahkan hingga ke mancanegara.
Luhut didampingi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sebagai Ketua Harian dan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sebagai Wakil Ketua Harian. Luhut mengemban misi penting dari Jokowi, yaitu mencapai target Gernas BBI. Bentuk nyatanya adalah meningkatkan jumlah UMKM termasuk pelaku ekonomi kreatif untuk masuk ke ekosistem digital.
Namun, keberadaan Gernas BBI itu tak bisa serta merta membuat daya saing produk UMKM mengalami perbaikan. Butuh langkah dan strategi tepat dalam mengatasi akar masalah dari rendahnya daya saing produk UMKM itu sendiri di marketplace tanah air.
Kepala UKM Center Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Zakir Machmud menjelaskan, ada kendala yang membuat produk UMKM sulit bersaing dengan produk serupa yang didatangkan dari luar negeri alias impor.
Yang pertama dan paling utama adalah UMKM Indonesia saat ini cenderung kurang melek digital. Upaya mendigitalisasi proses bisnis pelaku UMKM, terutama yang masih asing dengan perkembangan teknologi, masih sulit karena terbentur pola pikir pelakunya sendiri.
"Jadi walaupun kita bicara digitalisasi, kita tetap harus melakukan pendampingan. Pendampingan itu macam-macam bentuknya, bisa melalui training, coaching, gathering, dan konsultasi. Intinya UMKM harus mempersiapkan diri ke arah digitalisasi”, ungkap Zakir dalam keterangan tertulis.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan, ada pula faktor lain yang membuat barang produksi UMKM kurang kompetitif. Utamanya adalah dari sisi harga yang cenderung lebih mahal ketimbang produk impor sejenis.
Untuk urusan ini, kata dia, ada banyak hal yang jadi pemicunya. Pertama adalah efisiensi biaya logistik yang terbilang rendah. Maklum, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan porsi biaya logistik terhadap PDB-nya tergolong tinggi.
“Jadi memang mereka [Cina] ini memang biaya logistiknya lebih efisien, dibandingkan Indonesia. Jadi dalam 10 tahun terakhir itu gak berubah, kita gak mengalami pengurangan biaya logistik yang signifikan jadi masih 23,5 persen dari GDP lah ya,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (21/9/2021).
Faktor kedua adalah penataan lokasi UMKM itu sendiri. Belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menyatukan UMKM dengan jenis produk yang sama di satu lokasi. Belajar dari Cina, kata dia, idealnya pelaku industri UMKM dari mulai penyedia bahan baku, produsen produk olahan produk setengah jadi hingga produsen produk jadinya disatukan di satu lokasi yang saling berdekatan.
Dengan demikian, kata Bhima, biaya angkut barang dari satu lini produksi ke lini produksi lainnya bisa ditekan dan lebih efisien karena lokasinya saling berdekatan.
“Masalah kita tuh sebenarnya fragmentasinya gini. Industrinya di mana? Bahan bakunya ada dimana? Dia [Cina] punya pusat industri yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Itu yang kita kalah,” kata dia.
Belum lagi jenis UMKM RI adalah mikro, yang terbatas pada volume produksi, SDM, sampai pengecekan kualitas dan mutu produk.
“Kan UMKM kita mikro ya, belum berupa home industry, itu juga jadi problem. Jadi harga penting, kualitas juga penting. Ada lagi soal barang-barang yang dibeli impor, itu kadang modelnya gak ada di Indonesia. Jadi kita telat updating model yang dibutuhkan konsumen itu seperti apa,” papar dia.
Meski terlihat pelik, kata Bhima, namun bukan berarti Indonesia tak punya jalan keluar. Solusi dari permasalahan ini adalah pemerintah perlu mendorong integrasi yang matang untuk memperkuat UMKM di dalam negeri. Selain membantu menyaring pasar, perlu juga pengusaha lokal dibantu ketersediaan bahan baku.
“Nah ini kelemahan dasar dari UMKM kita itu kualitas, jadi kualitasnya itu standarisasinya sering berubah-ubah. Kemudian kontrol kualitasnya enggak dilakukan secara kontinyu, dan itu yang akhirnya yang bikin malas. Beli barang dari pelaku usaha UMKM,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz