tirto.id - Sudah lebih dari setahun sejak Masayu Lela menghentikan produksi kerajinannya di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Pasalnya, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan pembatalan pameran-pameran menyulitkannya untuk menjual barang-barangnya. Pembeli pun meminta harga murah meskipun biaya produksinya tinggi.
Padahal, selama 15 tahun terakhir, Masayu sudah menjadi pengrajin cenderamata khas Palembang seperti peci, dompet, hingga tas dari kain songket. Sebelum pandemi menerjang, ia dapat menjual hingga 200 peci per bulan yang dijual ke toko-toko, pasar tradisional dan pameran-pameran.
“Tapi saat ini jangankan 200 peci, 20 peci pun susah,” kata pengrajin tersebut (7/9/2021) kepada Tirto.
Ia berharap pemerintah dapat menghapuskan PPKM dan mengakhiri pandemi COVID-19 agar Indonesia dapat membuka kembali pameran-pameran untuk menghidupkan sektor kerajinan di daerahnya.
Masayu mungkin hanyalah satu dari jutaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang berharap untuk bangkit kembali setelah terpukul oleh pandemi COVID-19 sejak tahun lalu. Ada 64,2 juta UMKM yang saat ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, menukil data yang dikutip Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 5 Mei 2021.
Konon, UMKM sering disebut tahan banting dari krisis-krisis ekonomi dunia. Kajian Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dan Bank Indonesia, yang mengutip data Badan Pusat Statistik, menyebut bahwa jumlah UMKM pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998 justru meningkat dan mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja sampai tahun 2012. Pada tahun 2012, 99,99 persen pengusaha di Indonesia adalah UMKM.
Kajian tersebut menyatakan bahwa UMKM relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan besar karena mayoritas usaha berskala kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam mata uang asing.
Pandemi COVID-19 kini menguji ketahanan mereka. Bagaimana kondisi UMKM tatkala pandemi menerjang dan adakah titik terangnya? Apa saja yang dilakukan pemerintah untuk mendukung UMKM pada saat pandemi? Lalu, apa strategi yang dapat diambil pemerintah dan pelaku usaha untuk mendukung keberlanjutan UMKM ke depannya?
Dampak Terhadap UMKM?
Faktanya, UMKM tak dapat mengelak efek pandemi COVID-19. Pada Juni 2020, survei Katadata Insight Center (KIC) terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek menunjukkan mayoritas UMKM mengalami dampak negatif dari pandemi. Pandemi pun menyebabkan 63,9 persen dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omzet lebih dari 30 persen.
Pada periode Juli-Agustus 2020, 9 dari 10 UMKM melihat adanya permintaan yang lebih rendah terhadap produk mereka, menurut survei Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Universitas Indonesia (UI). Mereka juga menghadapi masalah kenaikan harga bahan baku, distribusi produk hingga penurunan pendapatan.“Konsisten dengan banyak prediksi dan penelitian serupa, penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, COVID-19 telah berdampak kepada hampir semua UMKM di sampel kami,” ungkap survei tersebut yang dilakukan terhadap lebih dari 1.100 pelaku UMKM yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia.
Pada Oktober 2020, survei Bank Indonesia yang ditampilkan pada seminar daring melaporkan bahwa sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak pandemi COVID-19. Dari jumlah ini, sekitar 93,2 persen di antaranya melihat dampak negatif pandemi di sisi penjualan. Total respondennya adalah sebanyak 2.970.Tiga survei tersebut dilakukan secara terpisah namun memiliki satu kesamaan: UMKM menghadapi penurunan omzet akibat menurunnya permintaan pada saat pandemi. Akan tetapi, pelaku usaha harus tetap menanggung biaya produksi dan operasional usahanya.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menjelaskan kepada Tirto, Selasa (7/9/2021) bahwa perilaku konsumen yang menahan pembeliannya dan peralihan pembelian barang secara daring menyebabkan turunnya omzet penjualan UMKM, terlebih yang menjual lewat pusat perbelanjaan.
“Orang banyak kehilangan pekerjaan jadi orang tahan diri untuk melakukan langkah pembelian yang tidak penting,” jelas Ikhsan.
Secercah Harapan?
Kendati demikian, Ikhsan mengatakan bahwa UMKM mulai menggeliat kembali pada Juli 2021 seiring pelonggaran PPKM Darurat, meskipun masih banyak pelaku usaha yang menunggu dan mengamati (wait and see) guna menemukan saat yang tepat untuk membuka kembali usahanya.
Sejalan, Survei Mandiri Institute yang dilakukan pada Maret – April 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen responden UMKM menjawab kondisi usaha sudah kembali berjalan normal pada awal kuartal II 2021. Survei ini dilakukan terhadap 505 UMKM di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan beberapa provinsi di Indonesia bagian timur.
“Padahal, jika melihat situasi pada September 2020, hanya 28 persen UMKM yang menjawab bahwa kondisi usaha sudah normal,” kata Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono dalam keterangan tertulis pada 29 Juni 2021 yang diterima Tirto, Senin (6/9/2021).
Teguh melanjutkan, kinerja penjualan UMKM pada awal kuartal II 2021 sudah membaik meskipun masih terdapat resiko terjadi penurunan yang tinggi. Misalnya, semakin banyak pelaku usaha yang mengalami kenaikan atau mempertahankan omzet penjualannya namun masih lebih dari separuh mengalami penurunan penjualan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020.
Survei Asian Development Bank terhadap 2.509 UMKM secara nasional juga menunjukkan bahwa pelaku UMKM yang harus tutup sementara telah berkurang. Jumlah usaha kecil yang tutup sementara mengalami penurunan paling tajam dibanding usaha menengah dan mikro, yakni dari 54,4 persen responden pada periode yang Maret-April di 2020, menjadi 1,8 persen responden pada periode yang sama tahun 2021.
Proporsi UMKM yang tidak mencatat pendapatan sama sekali juga telah turun secara keseluruhan, walaupun penurunan pendapatan di antara pengusaha UMKM yang menjadi responden survei masih terus terjadi hingga tahun 2021.
“Usaha-usaha sudah mulai dibuka kembali. Ini menandakan bahwa Indonesia telah pindah ke tahap pemulihan ekonomi, tetapi risiko penurunan tetap ada,” ucap Ekonom Senior ADB Shigehiro Shinozaki dalam webinar pada 19 Agustus 2021.
Risiko penurunan ini ditandai proporsi UMKM yang melaporkan penurunan permintaan domestik melonjak dua kali lipat menjadi lebih dari 60 persen pada Maret-April tahun 2021, dari kisaran 27,9 persen hingga 43,8 persen pada periode Maret-April 2020, tergantung pada ukuran perusahaan.
Selain itu, ADB mencatat bahwa 14 persen hingga hampir 19 persen UMKM, tergantung pada ukurannya, akan kehabisan modal kerja dalam waktu 3 sampai 6 bulan pada survei Maret-April 2021, meskipun proporsi UMKM yang memiliki dana cadangan meningkat.
Dukungan Pemerintah?
Di tengah kondisi tersebut, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa pemerintah telah menyediakan restrukturisasi pinjaman, tambahan bantuan modal, keringanan pembayaran tagihan listrik, dan dukungan pembiayaan lainnya untuk mendukung UMKM, mengutip siaran pers.
Pemerintah juga mendukung UMKM melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Susiwijono mengklaim bahwa realisasi PEN untuk mendukung UMKM sebesar Rp112,84 triliun telah dinikmati oleh lebih dari 30 juta UMKM pada tahun 2020. Pada 2021, pemerintah menganggarkan PEN untuk mendukung UMKM dengan dana sebesar Rp121,90 triliun.
“Pemerintah berharap semoga Program PEN ini dapat mendorong UMKM untuk kembali pulih di masa pandemi ini,” tutur Susiwijono.
Siaran pers yang sama menyebut pemerintah mengakomodir masalah perizinan dan minimnya UMKM di sektor formal melalui pengesahan UU Cipta Kerja tahun 2020 lalu. Menurut keterangan tertulis tersebut, 64,13 juta dari 64,19 juta UMKM di Indonesia masih termasuk sektor informal.
Pemerintah juga mendorong para pelaku UMKM untuk ikut berjualan di platform digital (go digital) melalui melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. Ada 11,7 juta UMKM yang saat ini bergabung dengan program ini. Pemerintah berharap jumlah UMKM yang go digital akan mencapai 30 juta pada tahun 2030 mendatang.
Senada, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyebut pada siaran persnya bahwa jumlah UMKM yang sudah masuk ke dalam ekosistem digital mencapai 12 juta lebih per Juni 2021, walaupun jumlah ini baru 19 persen dari UMKM nasional. Jumlah ini naik dari tahun 2020 pada angka sebesar 8 juta.
Pemerintah sendiri menargetkan sebanyak 30 juta pelaku UMKM untuk masuk ke dalam ekosistem digital pada tahun 2024.
"Transformasi digital di era pandemi ini menjadi sebuah keniscayaan sebab di tengah kebijakan PPKM dan PSBB itu sangat berdampak pada aktivitas usaha UMKM. Ini jelas berbeda dengan krisis 1998 atau krisis sebelumnya di mana UMKM kala itu menjadi bantalan atau striker untuk bangkitkan ekonomi," kata Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari (2/6/2021) di siaran pers tersebut.
Strategi Ke Depan?
Ke depannya, survei UNDP dan UI mendorong pemerintah untuk memberlakukan kebijakan yang dapat menghilangkan atau mengurangi hambatan konsumen untuk membeli produk UMKM guna menanggapi masalah penurunan permintaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mensubsidi biaya pengiriman antar kota atau menginisiasi online marketplace di tingkat lokal.
Studi ini juga mendorong subsidi yang dapat menekan biaya operasional UMKM. Selain itu, pemerintah dapat melatih UMKM dalam bidang pemasaran daring, bisnis digital hingga legalisasi bisnis, sehingga UMKM dapat mengakses potensi pasar baru dan beradaptasi dengan kondisi pandemi COVID-19.
“Pandemi COVID-19 memaksa banyak UMKM untuk berinovasi dan melakukan penyesuaian dalam praktik bisnis mereka untuk bertahan hidup. Namun, gerakan seperti itu seringkali membutuhkan keterampilan di luar keahlian karyawan UMKM saat ini,” ungkap studi ini.
Pemerintah juga perlu meningkatkan efektivitas bantuannya melalui komunikasi dan penentuan target (targeting)yang lebih baik. Survei UNDP dan UI menunjukkan bahwa hanya 17 persen UMKM yang menerima atau mengajukan bantuan pemerintah. Studi ini menduga ketidaktahuan pelaku usaha tentang program bantuan pemerintah menjadi salah satu alasan mengapa UMKM tidak mendapatkan bantuan.
Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun juga mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang kondusif untuk pemulihan UMKM. Ikhsan mendorong pula pelaku usaha untuk menyiapkan dana cadangan untuk setidaknya 3-6 bulan seiring bangkitnya UMKM ketika PPKM dilonggarkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus COVID-19 di kemudian hari.
Selain itu, ia juga mendorong pelaku usaha untuk melakukan transformasi digital di tengah-tengah kerentanan UMKM terhadap kebijakan pemerintah
“Pandai-pandailah UMKM saat ini untuk memanfaatkan waktu atau status level 3 [PPKM] yang dilonggarkan untuk melakukan langkah-langkah persiapan apabila terjadi lonjakan COVID-19,” tegas Ikhsan.
Sementara itu, semangat pengrajin Masayu Lela belum padam. Ia mengatakan akan terus berjuang untuk berkarya melalui usahanya. Ia juga berencana untuk membagikan ilmu-ilmu yang didapatkannya selama 15 tahun terakhir kepada pelaku UMKM lainnya.
“Akan saya adakan pelatihan pembuatan kerajinan souvenir. Jadi walaupun pandemi COVID juga, tetap maju. Jangan mati suri, tetap lawan terus,” ujar Masayu.
Editor: Farida Susanty