Menuju konten utama
RUU HPP Disahkan Jadi UU

Tax Amnesty Jilid II & Upaya Pemerintah Genjot Penerimaan Pajak

Bhima menilai tax amnesty jilid II bisa jadi blunder karena malah bisa berdampak pada penurunan kepatuhan pajak.

Tax Amnesty Jilid II & Upaya Pemerintah Genjot Penerimaan Pajak
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) memberikan dokumen tanggapan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kiri) disaksikan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (tengah) saat rapat paripurna DPR ke-18 masa persidangan V tahun 2020-2021 di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (20/5/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

tirto.id - Pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU pada Kamis (7/10/2021). Regulasi baru ini salah satunya mengatur soal penyelenggaraan kembali tax amnesty atau disebut dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak.

Tax amnesty jilid II ini akan direalisasikan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Adapun alasan pemerintah di balik tax amnesty jilid II adalah untuk memperluas basis pajak.

"Penekanannya pada upaya peningkatan kepatuhan secara sukarela untuk melaporkan kewajiban pajak yang belum dilaporkan. Tujuannya lebih kepada data basis pajak," kata Ketua Panitia Kerja RUU HPP Dolfie, Kamis (30/9/2021).

Kebijakan tersebut cukup membuat heran mengingat pernyataan Presiden Joko Widodo pada 2016, yang menyatakan bahwa program tax amnesty hanya akan dilakukan satu kali. Jokowi juga menegaskan tax amnesty ini bukan upaya pengampunan bagi koruptor atau pemutihan atas aksi pencucian uang.

“Tidak, ini perlu saya tegaskan tapi yang kita sasar adalah para pengusaha yang menempatkan hartanya di luar negeri, khususnya di negara-negara tax heaven (surga pajak),” kata Jokowi saat itu.

Upaya Menutup Defisit APBN?

Perluasan basis pajak tampaknya dilakukan pemerintah di tengah tekanan belanja negara yang terus tergerus selama pandemi COVID-19, sementara pendapatan negara seret. Hal ini disebabkan penerimaan negara lesu terimbas sektor usaha yang tertekan selama terjadinya pembatasan aktivitas.

Berdasarkan catatan Tirto, realisasi pendapatan negara hingga 31 Agustus 2021 baru mencapai Rp1.177,6 triliun atau sekitar 67,5 persen dari target realisasi pendapatan APBN 2021 yang ditarget sebesar Rp1.743,6 triliun.

Realisasi pendapatan tersebut berasal dari penerimaan negara dari pajak Rp741,3 triliun. Kemudian ada pula penerimaan negara dari bea dan cukai Rp158 triliun, selanjutnya PNBP sebesar Rp277,7 triliun. Adapun capaian saat ini mengalami pertumbuhan 13,9 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020.

"Untuk pajak terjadi kenaikan yang cukup baik. Inilah yang memberikan bacaan positif dari penerimaan pajak yang membaik dari situasi tahun lalu. Kita lihat sejak kuartal II 2021 bulan Juli menggambarkan masih resilience meski tertahan oleh Delta," kata dia dalam konferensi APBN Kita, Kamis (23/9/2021).

Kondisi ini juga terjadi pada 2020 saat pandemi baru melanda Indonesia. Saat itu, penerimaan negara mengalami kontraksi sangat dalam, sementara belanja negara sangat tinggi. Realisasi pendapatan negara pada APBN 2020 sebesar Rp1.647,7 triliun atau 96,9 persen dari anggaran pendapatan pada APBN 2020.

“Pendapatan ini turun Rp312,8 triliun atau 15,9 persen dibanding kondisi sebelum Covid yaitu tahun anggaran 2019,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Rabu (25/8/2021).

Realisasi pendapatan negara tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan Rp1.285,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp343,8 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp18,8 triliun.

Sementara, realisasi belanja negara pada APBN 2020 mencapai Rp2.595,4 triliun atau 94,7 persen terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.832,9 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp762,5 triliun.

“Dilihat dari total realisasi belanja negara ini adalah Rp286,1 triliun atau 12,3 persen dibandingkan belanja negara tahun 2019,” ujar Sri Mulyani.

Dari realisasi pendapatan dan belanja tersebut, defisit APBN 2020 mencapai Rp947,6 triliun akibat sisi jumlah pendapatan yang merosot dan dari sisi belanja yang melonjak.

“Defisit ini adalah di atas 6 persen dari PDB. Ini pertama kali Indonesia memiliki defisit di atas 3 persen dan ini dibolehkan karena adanya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 dalam situasi yang tidak biasa,” kata dia.

Dengan defisit sebesar Rp947,6 triliun tersebut, pembiayaan neto mencapai Rp1.193,2 triliun yang berasal dari pembiayaan dalam negeri Rp1.146,8 triliun dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp46,4 triliun.

Apa Beda Tax Amnesti Jilid I dan II

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menjelaskan ada perbedaan antara realisasi tax amnesty jilid I dan II. Pada jilid 1 harta yang berada di dalam negeri atau luar negeri diinvestasikan di Indonesia selama tiga tahun. Seperti bulan pertama hingga ketiga, tarif 2 persen, bulan keempat hingga 31 Desember 2016, tarif 3 persen, 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017, tarif 5 persen.

Adapun harta di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam negeri, pada bulan pertama hingga ketiga penerapan tax amnesty jilid I, tarif 4 persen, bulan keempat hingga 31 Desember 2016, tarif 6 persen dan 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017, tarif 10 persen.

Jika dibandingkan dengan tax amnesty jilid II yang akan mulai dilakukan pada Januari 2022, maka harta yang berada di dalam negeri diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN: 6 persen. Harta yang berada di dalam negeri tidak diinvestasikan ke SDA atau SBN 8 persen. Harta yang berada di luar negeri diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN persen. Harta yang berada di dalam negeri tidak diinvestasikan ke sektor SDA atau SBN 8 persen dan harta di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam negeri 11 persen.

“Secara tarif pajak atau tebusan memang lebih tinggi dibandingkan tax amnesty jilid I, tapi tidak signifikan. Artinya, pengemplang pajak tetap akan memanfaatkan tax amnesty jilid II ini karena biaya pengampunannya masih dianggap rendah," kata Bhima kepada reporter Tirto, Kamis (7/10/20210).

Sementara terkait evaluasi tax amnesty jilid I, kata Bhima, ternyata tidak ada korelasi antara pengampunan pajak terhadap naiknya tax ratio jangka panjang. Pada 2017 rasio pajak tercatat 9,9% kemudian usai tax amnesty hingga 2020, tax ratio turun ke 8,3%.

"Kalau ada yang janji pasca tax amnesty akan terjadi konsistensi kenaikan rasio pajak, faktanya tidak demikian,” kata dia.

Bhima menjelaskan, tax amnesty hanya membantu dalam 1 tahun fiskal saja, kondisi tersebut sangat temporer. Faktor ini disebabkan karena follow up terhadap data pajak tax amnesty ternyata tidak dilakukan secara serius. Justru, kata dia, tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus lakukan penghindaran pajak.

“Dilihat dari sektornya adalah pengolahan SDA, misalnya mau masuk ke smelter nikel itu diuntungkan sekali dengan TA jilid II. Karena ada klausul detail dalam Pasal 5 ayat 7 bahwa investasi di sektor pengolahan SDA akan mendapat pajak TA lebih rendah daripada non-SDA. Akan ada banjir investasi di pengolahan barang tambang. Kemudian sektor kedua yang berkaitan dengan lembaga keuangan yang mendapat fee dari penerbitan SBN. Karena investasinya didorong beli SBN pemerintah, maka pasar surat utang jadi menarik,” kata Bhima.

Terlepas dari apa pun skemanya, Bhima menjelaskan, ini bisa jadi blunder karena malah bisa berdampak pada penurunan kepatuhan pajak.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Ia sebut dalam perluasan pendapatan basis pajak memang dibutuhkan terobosan untuk mendongkrak penerimaan negara pajak, namun tax amnesty bukan jawabannya.

“Sebenarnya gini, tax amnesty yang pertama itu gak optimal pertama soal tidak seluruh sektor ekonomi itu bisa masuk ke dalam perpajakan kita. Kemudian soal kepatuhan, ya perpajakan kita gak tinggi kemudian kita malah memberikan insentif pajak, yang harusnya itu jadi penerimaan,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (7/10/2021).

Adapun beberapa potensi penerimaan pajak yang harus dilakukan adalah memperketat penerima insentif pajak. Jika penerimaan tidak bisa dilakukan lagi, maka baiknya pengeluaran negara untuk pemberian insentif bisa dilakukan efisiensi.

“Soal insentif [pada pengusaha] ini perlu dilihat lagi intinya jangan tambah defisit,” tandas dia.

Baca juga artikel terkait RUU HPP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz