Menuju konten utama

Aturan Pajak Orang Super Kaya di UU HPP Bisa Subsidi Warga Miskin?

Pengamat pajak CITA Fajry Akbar sebut meski jumlah orang dengan penghasilan Rp5 miliar per tahun sedikit, tapi potensi penarikan pajaknya besar.

Aturan Pajak Orang Super Kaya di UU HPP Bisa Subsidi Warga Miskin?
Sejumah wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wajib Pajak Besar di Jakarta, Senin (1/3/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Pemerintah resmi mengubah besaran tarif pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi termasuk karyawan. Perubahan ini tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Salah satu poin menarik yang diatur dalam UU HPP adalah pengenaan pajak progresif yang menyasar orang super kaya. Mereka yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun akan kena pajak 35 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, kenaikan tarif dan tambahan bracket diperlukan karena pemajakan atas orang kaya tidak maksimal sebab adanya pengaturan terkait fringe benefit (natura). Selama periode 2016-2019, rata-rata tax expenditure PPh OP atas penghasilan dalam bentuk natura sebesar Rp5,1 triliun.

Kemudian, lebih dari 50 persen tax expenditure PPh OP dimanfaatkan oleh WP berpenghasilan tinggi. Dalam lima tahun terakhir pun, hanya 1,42 persen dari total jumlah wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran dengan tarif tertinggi sebesar 30 persen.

“Bila dilihat dari penghasilan kena pajak yang dilaporkan, hanya 0,03 persen dari jumlah wajib pajak OP yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp5 miliar per tahun,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Jumlah lapisan pajak orang pribadi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain, kata Sri Mulyani. Vietnam dan Filipina misalnya, memiliki 7 lapisan. Sementara Thailand memiliki 8 lapisan dan Malaysia memiliki 11 lapisan.

Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan mengatakan, penambahan lapisan merupakan cara pemerintah berpihak kepada masyarakat secara lebih adil.

“Jadi, yang berpenghasilan kecil dilindungi, yang berpenghasilan tinggi dipajaki lebih tinggi pula. Ini sesuai dengan prinsip ability to pay alias gotong royong, yang mampu bayar lebih besar,” kata dia.

Peningkatan pajak orang super kaya ini diharapkan dapat mengikis lebarnya angka ketimpangan sosial yang saat ini terjadi. Apalagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin bertambah sejak pandemi COVID-19. Pada Maret 2021 tercatat ada 26,42 juta orang miskin, angka tersebut meningkat 1,63 juta orang dari September 2019.

Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, indeks gini ratio pada Maret 2021 menurun dari 0,385 pada September 2020 menjadi 0,384. Namun, ketimpangan terutama menyempit di wilayah pedesaan, tetapi melebar di wilayah perkotaan.

Adapun angka ketimpangan masih melebar dibandingkan Maret tahun lalu sebesar 0,381, kata dia. Dalam catatan BPS, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Untuk persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60 persen, naik menjadi 12,82 persen pada Maret 2020.

“Gini ratio menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran dengan indeks 0 dan 1. Semakin mendekati, berarti semakin timpang pengeluaran antar kelompok penduduknya,” kata dia Maret 2021.

Untuk mempertipis jarak antara yang kaya dan yang miskin, pemerintah memberikan pajak besar untuk orang kaya demi menambah pemasukan negara untuk berbagai kebutuhan. Salah satunya adalah mensubsidi masyarakat miskin melalui program bantuan sosial.

Dalam UU HPP, orang kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenakan tarif PPh OP sebesar 35 persen. Aturan sebelumnya, tarif tertinggi untuk PPh OP adalah 30 persen.

Dalam aturan baru ini, ada 5 lapisan atau kategori, rinciannya antara lain: Lapisan kena pajak sampai dengan Rp60 juta, tarif pajaknya 5 persen. Lapisan kedua untuk penghasilan di kisaran Rp60 juta - Rp250 juta dikenakan tarif PPh OP sebesar Rp15 persen.

Lapisan ketiga untuk penghasilan di atas Rp250 juta - Rp500 juta, dikenakan tarif 25 persen, dan penghasilan di atas Rp500 juta - Rp5 miliar, dikenakan pajak sebesar 30 persen. Sementara lapisan kelima, pemerintah bakal mengenakan pajak 35 persen untuk pendapatan Rp5 miliar.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai kebijakan tarif baru untuk orang kaya adalah langkah yang tepat. "Jika sebelumnya hanya ada empat lapisan penghasilan kena pajak (tax bracket), melalui UU HPP menjadi 5 lapisan. Jika sebelumnya tarif tertinggi 30 persen kini menjadi 35 persen,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (11/10/2021).

Kebijakan ini juga selaras dengan tren struktur PPh orang pribadi secara global. Berdasarkan catatan dia, pada 2020 mayoritas negara di dunia memiliki tarif PPh tertinggi antara 31-40 persen. Jadi bila tarif tertinggi Indonesia baru sebesar 35 persen, maka nilai tersebut kata dia masih moderat.

"Selama 5 tahun terakhir hanya terdapat sekitar 3.800 wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar dari seluruh wajib pajak. Namun, kontribusi kelompok ini adalah sekitar 14 persen. Jadi walau jumlahnya sedikit, tapi potensinya relatif besar. Di tengah konsolidasi fiskal seperti saat ini dibutuhkan terobosan kebijakan pajak yang sekaligus bisa turut menjamin pertumbuhan yang inklusif dan mencerminkan keadilan,” ujar dia.

Potensi Pajak Orang Kaya

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, kebijakan ini dapat menjadikan instrumen PPh orang pribadi menjadi progresif. Orang kaya yang memiliki penghasilan lebih, dikenakan tarif yang lebih besar. Namun dari segi makro, kata dia, adanya lapisan baru tarif ini tidak berdampak bagi pemulihan ekonomi.

"Memang populasi super kaya tidak seberapa, namun kita lupa bahwa tingkat kesenjangan kita begitu tinggi,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (11/10/2021).

Ia menjelaskan untuk lapisan tarif Rp500 juta – Rp5 miliar dan di atas Rp5 miliar diperkirakan akan berkontribusi terhadap penerimaan PPh OP sekitar 64,65 persen.

Untuk orang yang memiliki pendapatan di atas Rp5 miliar berkontrubusi 17,24 persen padahal jumlah SPT hanya 3.185. Sedangkan yang Rp500 juta – Rp5 miliar berkontribusi 47,41 persen dari total penerimaan PPh OP.

"Bandingkan dengan layer terendah, 0-50 juta, jumlah SPT lebih dari 8 juta, tapi kontribusinya ke penerimaan hanya 3,14 persen,” kata dia.

Dalam penjelasan Fajry, meskipun jumlah orang dengan penghasilan Rp5 miliar per tahun jumlahnya sedikit, namun potensi penarikan pajaknya besar. Fajry mengatakan, salah satu alasan mengapa pemerintah Indonesia menambah lapisan tarif adalah karena jumlah lapisan tarif PPh OP tak sebanyak PPh OP negara lain.

Jumlah lapisan tarif yang tak sebanyak negara lain ini memiliki konsekuensi bahwa instrumen PPh OP kita menjadi kurang begitu progresif dibandingkan negara lain, kata dia.

"Memang, UU HPP ini diperkirakan akan mampu mendorong penerimaan pajak. Jikalau penerimaan meningkat, ruang fiskal pemerintah meningkat, maka akan banyak yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Selama ini, ketika ingin membangun, memberikan bantuan sosial, selalu sisi pendanaan yang menjadi hambatan. Sedangkan utang, ada batasannya. Jadi tak sebatas subsidi ke masyarakat kecil,” terang dia.

Baca juga artikel terkait UU HPP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz