tirto.id - Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021). Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar yang memimpin sidang mengetuk palu setelah bertanya "apakah RUU HPP dapat disetujui dan disahkan menjadi UU."
Sidang pengambilan keputusan ini dimulai dengan laporan dari Wakil Ketua Komisi XI DPR Dolfie OFP mengenai proses pembahasan RUU HPP, pendapat fraksi-fraksi dan hasil pembicaraan dalam tingkat I.
Dolfie mengatakan terdapat delapan fraksi yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, dan Partai Persatuan Pembangunan yang menerima hasil kerja Panitia Kerja dan menyetujui RUU HPP dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna DPR RI.
"Adapun PKS belum menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU HPP untuk dilanjutkan pada tahap pembicaraan tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI,” kata dia seperti dikutip Antara.
Pertimbangan penolakan PKS adalah karena tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi nasional.
PKS juga menolak kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, pelayanan sosial dan layanan keagamaan kena pajak meski saat ini tarif PPN masih 0 persen namun dengan barang kena pajak berpotensi dikenakan pajak.
"PKS juga menolak pasal-pasal pengampunan suka rela harta wajib pajak tax amnesty. Tahun 2016 PKS resmi menolak UU Tax Amnesty,” kata Dolfie.
Daftar Aturan Pajak Terbaru di RUU HPP
RUU HPP sebelumnya bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Regulasi ini mengatur sejumlah aturan baru perpajakan sebagai salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan. Salah satunya implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi. Kebijakan tersebut tertuang dalam RUU HPP Bab II Pasal 2 (1a).
Adapun kebijakan lain yang dibahas dalam RUU HPP adalah mengenai perluasan basis pajak, sebagai faktor kunci dalam optimalisasi penerimaan pajak, juga akan dapat diwujudkan melalui pengaturan kembali tarif PPh orang pribadi dan badan, penunjukan pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak, pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPN.
Kebijakan tersebut dinilai akan memperkuat posisi Indonesia dalam kerja sama internasional, dan memperkenalkan ketentuan mengenai tarif PPN final.
Berikut aturan terbaru soal perpajakan di RUU HPP yang disahkan DPR menjadi UU, yaitu:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan draf RUU HPP, pemerintah menaikkan tarif PPN umum dari 10 persen menjadi 11 persen. Tarif pajak 11 persen ini mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku 1 Januari 2025.
Dalam draf RUU HPP juga diterapkan sistem multitarif PPN dengan rentang sekitar 5 persen - 15 persen. Perubahan tarif PPN ini akan diatur dalam bentuk PP setelah disampaikan pemerintah ke DPR untuk dibahas dan disepakati.
RUU HPP ini juga mengatur soal tarif PPN 0% (nol persen) yang akan diterapkan pada tiga hal, yaitu: ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak.
PPh OP
Dalam draf RUU HPP ini, orang kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 35 persen. Aturan sebelumnya, tarif tertinggi untuk PPh OP adalah 30 persen. Dalam RUU HPP ini ada 5 lapisan atau kategori.
Lapisan kena pajak sampai dengan Rp60 juta, tarif pajaknya 5 persen. Lapisan kedua untuk penghasilan di kisaran Rp60 juta - Rp250 juta dikenakan tarif PPh OP sebesar Rp15 persen. Lapisan ketiga untuk penghasilan di atas Rp250 juta - Rp500 juta, dikenakan tarif 25 persen, dan penghasilan di atas Rp500 juta - Rp5 miliar, dikenakan pajak sebesar 30 persen. Sementara lapisan kelima, pemerintah bakal mengenakan pajak 35 persen untuk pendapatan Rp5 miliar.
Tax Amnesty
Program pengampunan pajak (tax amnesty) bakal ada lagi mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
PPh Badan
PPh badan tarif pajak penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak (WP) Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Namun tarif tersebut dapat diubah dengan PP setelah disampaikan pemerintah ke DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.
Sementara wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek paling sedikit 40 persen dan memenuhi persyaratan tertentu dapat memperoleh tarif 3 persen lebih rendah dari 22 persen.
Pajak Karbon
Pajak karbon ini diatur dalam Pasal 13 RUU HPP. Pungutan pajak baru ini dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Adapun besar tarif pajak karbon dalam RUU HPP lebih rendah dari sebelumnya yang dicanangkan oleh pemerintah dalam RUU KUP sebesar Rp75 per CO2e. Aturan ini menekankan, pajak karbon dikenakan dengan pertimbangan karena emisi karbon memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Editor: Maya Saputri