tirto.id - Menteri Sosial Tri Rismaharini memarahi seorang pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Gorontalo. Ia mengarahkan pena ke arah pendamping PKH tersebut. Pemicunya Kemensos dituding mencoret data penerima bansos sehingga bantuan tak tepat sasaran.
Risma mengaku hanya memperbarui dan menambah data penerima secara berkala.
Aksi politikus PDIP yang marah-marah tersebut viral di media sosial pada 30 September 2021. Video tersebut merekam situasi saat rapat bersama pejabat Provinsi Gorontalo.
Buntut dari Risma marah-marah: Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo memberhentikan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo Husain Ui pada 5 Oktober 2021.
Alasan pemecatan: Husain Ui dinilai tidak menjawab komplain Risma dengan data sesuai, koordinasi dan komunikasi Husain buruk, terjadi penundaan pembayaran gaji tenaga di salah satu panti jompo, dan bermasalah soal BLT.
Wakil Sekjen PDIP Arif Wibowo mendaku partainya tak mempersoalkan gaya Risma yang meledak-ledak. Arif cenderung mewajarkan tindakan tersebut. Dan sudah menjadi ciri khas Risma dalam memimpin, bahkan sejak masih menjadi Wali Kota Surabaya.
“Yang penting, apa yang dilakukan Bu Risma sebagai menteri dengan segenap tanggung jawabnya itu, memang manfaat dan kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik,” kata Arif kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/10/2021).
Namun Risma justru diminta untuk terapi kesabaran oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Jazilul Fawaid. Ia menyayangkan sikap Risma yang meledak-ledak.
“Tidak elok kalau pejabat negara, hanya untuk memberikan nasihat saja dengan nada menuding-nuding seperti orang itu semuanya bodoh, seperti tidak mampu,” ujarnya.
Gaya Kepemimpinan Risma yang Suka Marah-Marah
Aksi marah-marah Risma sudah berulang kali saat menjabat menteri sosial. Ia pernah memarahi ASN Kemensos di Balai Wyataguna, Kota Bandung dan mengancam ASN tersebut agar dipindah tugaskan ke Papua.
Sontak, pernyataan Risma tersebut menuai kritik dari sejumlah aktivis HAM. Sebab, pernyataan menteri sosial itu dinilai mengandung rasisme. Cara berpikir Risma sebagai pejabat publik itu disebut mirip kolonial yang menjadikan Papua sebagai tempat pembuangan politik.
Saat itu, Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menilai pernyataan itu mengandung unsur rasisme dan merendahkan martabat orang Papua. Menurut Usman, pernyataan Risma sebagai pejabat negara juga sangat melukai perasaan saudara-saudara di Papua, dan menjadi contoh nyata betapa praktik rasisme dan diskriminasi terhadap Papua sangat nyata.
“Ini adalah pola pikir yang sesat dari seorang pejabat dalam memperlakukan Papua,” kata Usman kepada reporter Tirto, Rabu (14/7/2021). Terkait isu rasisme Risma, bisa dibaca di link ini.
Selain itu, Risma juga pernah marah-marah di Jember, Jawa Timur saat sekitar 8 ribu bansos belum tersalurkan untuk warga. Di Provinsi Aceh, Risma juga pernah marah untuk perkara yang sama.
Kadinsos Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah juga pernah didamprat Risma, lantaran para warga terdampak banjir belum menerima bansos.
Saat masih menjabat Wali Kota Surabaya, Risma pernah menegur seorang pegawai yang melamun saat upacara berlangsung. Serta saat Taman Bungkul Rusak, lantaran acara bagi-bagi es krim.
Risma juga pernah marah-marah terhadap massa aksi penolak UU Cipta Kerja. Risma kesal lantaran menduga aksi tersebut mengakibatkan fasilitas umum Kota Surabaya rusak.
Peneliti kebijakan publik dari lembaga swadaya masyarakat The Prakarsa, Eka Afrina Djamhari menilai sikap Risma yang doyan marah-marah sangat efektif di Kota Surabaya. Namun tidak untuk skala nasional, ketika menjabat menteri.
Hal itu ditenggarai oleh perbedaan budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia di setiap daerah.
“Masyarakat kita lebih suka jika pemimpin menggunakan pendekatan kekeluargaan atau musyawarah. Dibanding otoriter,” kata Eka kepada reporter Tirto, Rabu (6/10/2021).
Menurutnya sikap Risma marah-marah tergolong otoriter. Meski ia menilai Risma hanya sedang berupaya tegas dan menjadi sosok pemimpin yang berdisiplin tinggi.
“Tapi ada kalanya gaya ini diperlukan juga untuk beberapa kasus, seperti percepatan perbaikan disiplin pegawai pemerintah,” tukasnya.
Cara Komunikasi Risma Sangat Lokal
Peneliti Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, bentuk komunikasi yang digunakan Risma sangat lokal. Dan hanya tepat jika digunakan dalam skala kecil: Kota Surabaya misalnya.
“Kalau diimplementasikan di nasional, itu kurang tepat karena komunikasi peyoratif ini lebih condong di level lokal,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (6/10/2021).
Wasisto juga memahami kemarahan Risma sebagai bola salju permasalahan yang terjadi di tatanan akar rumput. Terlebih lagi dua mensos sebelumnya —Idrus Marham dan Juliari Batubara—berlaku korup.
Kemarahan Risma bisa dinilai sebagai kekesalan akibat tidak sinkronya program dan implementasi lapangan. Dan kemarahan itu bisa juga berarti sebagai komunikasi korektif di jajaran birokrasi agar lebih sigap.
“Dari situ yang coba dibangun oleh Bu Risma adalah debirokratisasi bahwa birokrat itu pelayan publik dan bukan aparatur yang harus menunggu perintah atasan,” tukasnya.
Meski demikian, menurut Wasisto, kemarahan Risma bisa menjadi efektif atau justru kontra-produktif. Tergantung dari tindak lanjut para bawahan Risma setelahnya. Hal ini tak mudah, seiring belum menghilangnya budaya "Asal Bapak Senang" dalam sistem birokrasi Indonesia.
“Sebenarnya Risma menghadirkan adanya 'culture shock therapy' dalam persoalan bantuan sosial maupun administrasinya,” tukasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz