Menuju konten utama
Round Up

Catatan untuk TNI di HUT ke-76 & PR Panglima Baru Pengganti Hadi

Saat HUT TNI ke-76, Jokowi menekankan kebijakan belanja pertahanan berubah menjadi investasi pertahanan yang berpikir jangka panjang.

Presiden Joko Widodo (keempat kiri) bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kedua kiri) didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (ketiga kiri) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) meninjau alutsista yang dipamerkan usai memimpin upacara peringatan HUT TNI ke-76 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/10/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Presiden Joko Widodo tidak bisa menutupi rasa kagumnya. Pada HUT TNI ke-76, mantan Wali Kota Solo itu terlihat antusias kala melihat rangkaian parade pesawat terbang trimatra (TNI AD, TNI AL dan TNI AU) melintas di atas Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (5/10/2021).

Kebanggaan terhadap TNI kembali terlihat ketika Jokowi melihat alutsista yang terparkir di depan Istana. Ia pun terlihat berbincang dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto serta para kepala staf dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Salah satu yang terekam adalah saat Jokowi menanyakan alutsista Astros yang berupa penembak roket.

Usai meninjau alutsista tersebut, Jokowi mengatakan kehadiran alutsista sebagai upaya transparansi pengelolaan anggaran kepada publik.

"Pagi hari ini dalam rangka Hari Ulang tahun TNI yang ke-76, kita memamerkan alutsista kita dan ini juga sebagai sebuah bentuk transparansi kepada publik bahwa APBN telah digunakan untuk membeli peralatan-peralatan ini," kata Jokowi, Selasa (5/10/2021).

Catatan untuk TNI di HUT ke-76

Dalam HUT TNI ke-76, Jokowi meminta agar TNI selalu siap siaga dalam segala penugasan, selalu meningkatkan kemampuan perorangan-satuan hingga pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta alutsista dalam setiap penugasan: pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, terorisme, ancaman siber dan ancaman biologi, termasuk juga ancaman bencana alam.

Jokowi pun berpesan bahwa ancaman di dunia semakin luas. Oleh karena itu, transformasi pertahanan harus dilanjutkan sebagai pondasi pembentukan kapabilitas pertahanan modern dan relevan. Alhasil, TNI berubah menjadi kekuatan pertahanan Indonesia yang bisa berperan di tingkat regional dan global.

"Penguatan budaya strategis, prajurit dan perwira TNI harus tetap menjadi pondasi utama transformasi pertahanan yaitu TNI yang manunggal dengan rakyat, dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang defensif aktif dengan pertahanan berlapis dan memetakkan lompatan teknologi militer dan investasi pertahanan yang terencana. Modernisasi pertahanan ini juga harus disertai dengan terobosan pengelolaan ekonomi dan investasi pertahanan," kata Jokowi dalam sambutannya.

Jokowi juga menekankan bahwa kebijakan belanja pertahanan Indonesia berubah menjadi kebijakan investasi pertahanan yang berpikir jangka panjang. Kebijakan ini harus dirancang secara sistematis, dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.

"Untuk itu saya perintahkan agar terus melakukan adopsi dan inovasi teknologi mutakhir di negara kita, bergerak aktif dalam konsorsium industri pertahanan global, memegang teguh semangat kemandirian dan penguatan industri pertahanan dalam negeri untuk mewujudkan kekuatan pertahanan Indonesia yang lebih mumpuni," kata Jokowi.

PERAYAAN HUT KE-76 TNI

Presiden Joko Widodo (keempat kanan) bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin (ketiga kanan) didampingi Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kanan) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kelima kanan) meninjau alutsista yang dipamerkan usai memimpin upacara peringatan HUT TNI ke-76 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/10/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, pesan Jokowi menandakan bahwa pengembangan TNI di masa depan harus saling terkait dan seimbang. Ia sebut porsi pengembangan strategi, taktik dan dukungan logistik, tata kelola organisasi, belanja alutsista, maupun peningkatan kualitas personel harus proporsional, selaras dan tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan taktis politis semata.

"Agar jangan sampai ada ketimpangan, yang bisa menjadi masalah di kemudian hari," kata Fahmi dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (5/10/2021).

Fahmi menjelaskan ada beragam variabel dalam pembangunan postur pertahanan. Setidaknya ada 3 aspek yang harus dibangun, yakni aspek kekuatan, kemampuan, dan penggunaan. Alutsista, kata Fahmi, berada dalam posisi penting yang tidak sebatas alat upaya pertahanan negara, tetapi juga mewujudkan kewibawaan negara.

Saat ini, TNI punya banyak tantangan besar. Permasalahan tata kelola organisasi, integritas dan kompetensi menjadi masalah penting, apalagi konflik Laut Cina Selatan yang memanas serta kemunculan kapal selam tenaga nuklir di Australia membuat perlombaan senjata ada di kawasan Asia-Pasifik.

Permasalahan lain ada pada alutsista, kata Fahmi. Alutsista Indonesia sudah tua dan mengalami ketertinggalan teknologi. Dalam catatan, sekitar 60 persen alutsista Indonesia berumur tua dan hanya 50 persen yang siap tempur.

Di sisi lain, kata Fahmi, Indonesia mengalami ancaman perang yang lebih luas seperti serangan siber. Oleh karena itu, pertahanan siber dan penguatan alutsista konvensional semakin penting dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara yang beragam.

"Namun kita masih menghadapi tantangan lain, bagaimana mengurangi ketergantungan sepenuhnya pada produk impor? Saya sepakat bahwa jawabannya adalah dengan mengubah skema belanja menjadi investasi dan juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengembangkan kemampuan riset dengan dukungan anggaran yang memadai dan proporsional. TNI tentu harus terlibat dan aktif mendorong hal ini," kata Fahmi.

Di sisi internal, TNI masih punya pekerjaan rumah soal isu kompetensi dan pengembangan organisasi. Fahmi menilai, TNI perlu membangun karakter, kesadaran, dan kepatuhan hukum serta pengembangan kemampuan spesialisasi penting untuk membangun kekuatan militer yang disegani.

Sementara di level organisasi, kata dia, TNI harus menerapkan promosi dan mutasi yang berbasis merit sistem. Hal itu penting dilakukan agar permasalahan penumpukan personel yang terjadi di TNI saat ini bisa terkendali dan tidak berdampak buruk.

"Ini tantangan yang tidak ringan bagi pemerintah. Apalagi TNI sampai hari ini tampaknya juga masih berupaya mempertahankan peran teritorialnya. Sesuatu yang sebenarnya telah membebani belanja pertahanan kita dan menyulitkan pemusatan perhatian sepenuhnya pada upaya mewujudkan kekuatan militer yang tangguh, modern dan profesional, tanpa keterlibatan pada peran-peran yang bukan merupakan tugas pokoknya dan beririsan dengan politik kekuasaan," kata Fahmi.

Karena itu, Fahmi kembali mendorong agar Panglima TNI terpilih bisa memperbaiki masalah dana taktis. Hal itu penting agar TNI bisa fokus pada tugasnya karena masalah dana taktis kerap menyulitkan pergerakan dan pengerahan kekuatan TNI yang bersifat segera, terbatas dan rahasia.

"Hal ini akan membantu meminimalkan peran TNI dalam banyak aktivitas sipil yang tidak relevan dan berpotensi tak sesuai aturan perundangan," kata Fahmi.

PERINGATAN HUT KE-76 TNI

Enam pesawat tempur TNI AU terbang di kawasan Monas, Jakarta, Selasa (5/10/2021). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Kekerasan Aparat TNI

Di sisi lain, KontraS menyoroti serangkaian tindakan yang dilakukan aparat TNI sejak Oktober 2020 hingga September 2021. KontraS melihat permasalahan kekerasan masih mendominasi permasalahan TNI.

"Tendensi kekerasan masih menjadi salah satu permasalahan utama dalam TNI, KontraS menilai bahwa praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh TNI mengakibatkan berbagai permasalahan pelanggaran hak asasi manusia," kata Wakil Ketua KontraS Rivanlee Anandar, Selasa (5/10/2021).

Rivanlee mencatat setidaknya praktik kekerasan yang dilakukan TNI mayoritas terdiri atas 4 tindakan, yakni penganiayaan (31 kasus), penembakan (9 peristiwa), penyiksaan dan (6 peristiwa) dan tindakan tidak manusiawi (5 peristiwa). Di luar itu ada kejadian penculikan (2 peristiwa) dan penangkapan sewenang-wenang (1 peristiwa).

Contoh kasus arogansi TNI yang diangkat KontraS adalah penganiayaan Muhammad Arifin (20) di Kalimantan Tengah yang sehari sebelumnya dijemput TNI pada Sabtu (20/3/2021) malam. Pada Minggu (21/3/2021), Arifin ditemukan lebam dan penuh luka.

Dalam catatan KontraS, kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi paling banyak di Papua (9 kasus) kemudian Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara (masing-masing 7 kasus). Jakarta lantas mengikuti dengan sebanyak 4 kasus. Apabila ditotal, ada 20 provinsi yang menjadi lokasi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI.

Apabila dilihat per matra, TNI AD berada di peringkat pertama dengan 39 kasus. Kemudian disusul TNI AL 14 kasus dan TNI AU 1 kasus. Mereka juga mencatat ada 65 orang luka-luka, 7 orang tewas, 12 orang ditangkap dan 4 lainnya mengalami dampak lain seperti intimidasi dan perusakan benda.

"Peristiwa kekerasan ini menunjukkan adanya kuasa yang sangat besar yang dimiliki oleh institusi TNI sehingga anggotanya berlaku arogan kepada masyarakat sipil, dan beberapa jurnalis bahkan aktivis. Hal ini terlihat sangat jelas dari beberapa kasus arogansi masih mengakar dalam tubuh institusi TNI," kata Rivanlee.

Selain itu, TNI juga terlalu aktif dalam ranah sipil. Dalam catatan KontraS, TNI terlibat dalam 47 peristiwa penindakan yang terdiri atas 20 kali penyegelan, 26 kali pembubaran paksa, dan 1 kali pengerahan kendaraan taktis milik militer.

KontraS juga menyoroti prajurit TNI yang duduk di jabatan sipil seperti komisaris BUMN hingga staf khusus menteri. Hal ini, dalam pandangan KontraS melecehkan semangat reformasi sektor keamanan dan penghilangan dwifungsi militer. Hal ini juga tidak sejalan dengan UU TNI yang hanya membatasi peran TNI dalam pemerintahan.

Di sisi lain, TNI juga kerap berlebihan dalam pengamanan massa aksi. Setidaknya ada 8 kali TNI ikut bersama Polri mengamankan demonstrasi. Hal yang sama juga di Papua ketika TNI terlalu terlibat dalam upaya sekuritisasi Papua. Contoh kasus kekerasan yang masih terjadi di Papua adalah kasus kematian Pendeta Yeremia hingga aksi penganiayaan difabel oleh 2 anggota TNI AU.

Pekerjaan lain TNI adalah reformasi peradilan militer yang tidak berjalan. Saat ini, kata Rivanlee, banyak kasus kekerasan TNI justru diselesaikan lewat peradilan militer padahal memenuhi unsur pidana. Mereka juga melihat mekanisme peradilan pun tidak memberikan efek jera meskipun dijalankan. Hal tersebut terlihat dalam kasus Alm. Jusni yang lebih terlihat formalitas dan tidak mengungkap fakta.

Oleh karena itu, kata dia, KontraS mendesak Panglima TNI untuk mengevaluasi dan menyelesaikan masalah di dalam tubuh TNI secara komprehensif, terutama masalah kekerasan. KontraS juga berharap TNI bisa tegas dalam masalah perbantuan TNI dalam sipil.

"Demi mewujudkan TNI yang lebih profesional, maka panglima harus merumuskan batasan yang jelas dan ketat mengenai perbantuan tugas militer pada tugas sipil," kata dia.

Rivanlee menambahkan, "Harus diingat bahwa keterlibatan militer dalam kerja pengamanan adalah last resort sehingga ukuran keterlibatannya harus dirumuskan. Meluasnya peran-peran militer tentu akan berimplikasi pada menyusutnya ruang sipil."

Kemudian, KontraS mendorong agar Kemenhan memberhentikan proses perekrutan komponen cadangan karena landasan hukum bermasalah dan berdampak buruk bagi publik. Pemerintah dan DPR juga diminta untuk mengoreksi pendekatan militeristik dalam penyelesaian konflik Papua.

Baca juga artikel terkait HUT TNI 2021 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz