tirto.id - Perbincangan pergantian Panglima TNI makin menguat. Organisasi masyarakat sipil pun mulai membincangkan soal pekerjaan rumah atau PR Panglima TNI masa depan yang belum selesai ditangani oleh Marsekal Hadi Tjahjanto secara optimal.
Organisasi swadaya yang fokus soal isu HAM, KontraS bahkan mengeluarkan catatan kritis mereka tentang situasi TNI dalam perspektif HAM. KontraS mencatat selama sekitar 3 tahun per Januari 2018 hingga Agustus 2021 ada sekitar 277 kasus kekerasan yang dilakukan anggota TNI.
Dalam catatan KontraS, ke-277 kasus terdiri atas beragam peristiwa kekerasan seperti penganiayaan, penyiksaan, penembakan, tindakan tidak manusiawi, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, bisnis keamanan, penggusuran paksa, okupasi lahan, dan kejahatan seksual.
KontraS juga masih menemukan pola relasi kuasa yang tidak berubah dari waktu ke waktu. Dalam catatan KontraS, tindakan terbanyak yang mengarah pada kekerasan adalah penganiayaan sebanyak 151 kasus, diikuti oleh intimidasi dengan 57 kasus.
"Setiap tahunnya, peristiwa kekerasan terus didominasi oleh matra TNI Angkatan Darat dengan 228 kasus. Di samping itu, pola kekerasan yang berulang tersebut juga menunjukkan mekanisme pengawasan yang masih lemah terhadap sikap prajurit di lapangan, baik pelanggaran etik, pelanggaran disiplin, maupun pelanggaran pidana," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan, Kamis (16/9/2021).
KontraS pun menyoroti beberapa kejadian dari temuan tersebut. Misal dalam kasus okupansi lahan yang dilakukan TNI. KontraS mencatat ada 7 kejadian upaya kekerasan atau intimidasi dalam okupansi lahan. Salah satu kasus yang terjadi yakni penggusuran masyarakat adat Besipae dari Hutan Adat Pubabu. Pada 18 Agustus 2020, aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP mendatangi masyarakat dan merubuhkan tempat pengungsian mereka.
"Selain itu, perempuan dan anak-anak di lokasi mendapatkan intimidasi oleh aparat, baik verbal dan fisik oleh aparat. Hal itu berimplikasi pada trauma, ditambah tentara datang dengan menggunakan laras panjang," kata Fatia.
TNI juga tercatat tidak harmonis dengan rekan kerja mereka, Polri. Meski narasi TNI-Polri solid, tapi berdasarkan catatan KontraS, terdapat sebanyak 19 konflik antara TNI dengan Polri. Hal tersebut meliputi penganiayaan, penembakan, bentrokan, perusakan fasilitas, dan intimidasi.
Konflik antara TNI dan polisi ini biasanya diawali oleh tindak main hakim sendiri oleh salah satu pihak, baik ketika sedang bertugas maupun tidak dalam tugas dengan mayoritas korban adalah polisi.
"Kami juga mencatat rangkaian konflik yang ada telah berimplikasi 26 korban baik luka maupun meninggal dunia, dengan rinican 6 dari TNI dan 20 dari Polri," kata Fatia.
Selain itu, persoalan kekerasan TNI di Papua juga masih menjadi sorotan. KontraS mencatat ada 58 kekerasan sejak Hadi Tjahjanto menjadi panglima dengan korban meninggal dan korban luka-luka yang cukup besar. Setidaknya ada 135 luka dan 69 tewas yang melibatkan TNI di Papua.
Selain itu, penembakan masih menjadi kasus kekerasan tertinggi di Papua. Data ini harus dianggap sebagai fenomena gunung es mengingat akses informasi terhadap isu-isu kekerasan di Papua sungguh terbatas, terlebih informasi begitu banyak didominasi oleh narasi negara. Salah satu contoh kasus yang menjadi sorotan adalah meninggalnya Pdt. Yeremia Zanabani di Intan Jaya. Meski sudah diproses hukum, kasus tersebut masih ada persoalan dari segi transparansi proses hukum.
Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai perbaikan tidak bisa hanya dibebankan kepada panglima terpilih di masa depan. Menurut Isnur, permasalahan kekerasan yang dilakukan TNI harus melibatkan semua pihak, termasuk presiden.
"Kalau kita berharap perbaikan pada personal saja, itu rasanya tidak mungkin ya, sulit ya. Jadi perbaikan itu secara menyeluruh harus di-create berupa dokumen kelembagaan. Jadi dokumen kelembagaan itu yang dipegang oleh siapa? Oleh presiden, oleh DPR, oleh Panglima TNI, oleh kepala staf," kata Isnur kepada reporter Tirto, Senin (20/9/2021).
Isnur menilai dokumen tersebut harus mampu mengevaluasi kinerja TNI, mendeteksi dan mengakui kekurangan TNI saat ini. Dengan dokumen tersebut, publik juga bisa menakar proses reformasi TNI.
Akan tetapi, Isnur menegaskan pemilihan Panglima TNI tetap harus berjalan secara jernih. Ia mendesak Jokowi untuk membuka proses pemilihan Panglima TNI secara transparan dan bukan karena faktor eksternal seperti politik atau pencitraan sebagaimana diberitakan media.
"Jadi ya Pak Jokowi sangat bertanggung jawab atas terpilihnya Panglima TNI yang berintegritas, yang punya semangat perbaikan, yang punya semangat perlindungan ham yang sangat menghargai Pancasila dan konstitusi itu di situ, termasuk menjaga terselesaikannya agenda reformasi TNI sesuai mandat reformasi," kata Isnur.
Selain itu, Isnur berharap pemilihan Panglima TNI juga menjadi momentum untuk memperbaiki TNI dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia. Ia ingin agar kasus kekerasan dan pelanggaran diproses secara transparan, terbuka, dan akuntabel.
Ia tidak ingin tokoh pelanggar HAM seperti anggota kelompok Tim Mawar yang terlibat dalam penculikan tahun 1998 hingga pembunuhan Theys Elluay yang justru mendapat promosi atau penghargaan dari negara.
"Ini enggak boleh. Jadi harus zero toleransi terhadap kekerasan. Jadi kalau kemudian ada proses penghukuman dan tidak ada impunitas kepada pelaku kejahatan, pelaku kekerasan, pelaku pelanggaran HAM maka ada perbaikan serius ke depan," kata Isnur.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Beni Sukadis melihat permasalahan kekerasan yang dilakukan prajurit perlu diatensi. Ia berharap, masalah kekerasan bisa dihentikan agar tidak memicu konflik di masa depan.
"Harus menjadi perhatian dari Panglima TNI yang baru sehingga menuntaskan persoalan secara lebih baik dan agar mencegah pertikaian di masa depan," kata Beni kepada reporter Tirto.
Beni mengakui, Hadi sudah berupaya untuk memperbaiki permasalahan kekerasan yang dilakukan anggota TNI. Akan tetapi, hal tersebut belum optimal karena masih ada kasus yang belum selesai seperti kasus bentrok TNI-Polri di Ciracas yang sampai saat ini belum jelas akar masalahnya. Oleh karena itu, kata dia, perbaikan yang dilakukan masih belum optimal sehingga panglima terpilih perlu menjadikan isu ini sebagai agenda perbaikan TNI.
Beni pun tidak memungkiri bahwa permasalahan kekerasan TNI yang masih ada masih berkorelasi dengan reformasi TNI yang belum selesai. Di mata pria yang juga Peneliti Senior Marapi Consulting and Advisory ini, panglima terbaru harus mempunyai keseriusan mengubah pola pikir pelaksanaan pengadilan sipil untuk anggota militer yang tidak dalam dinas.
Ia menilai, hukum harus berlaku sama sehingga tindak pidana yang dilakukan militer tidak diadili di pengadilan militer, kecuali dalam keadaan perang dan rangka kedinasan (operasi militer).
Menurut Beni, perbaikan masalah kekerasan bisa dilakukan dari hulu ke hilir organisasi. Di hulu, TNI merekrut tamtama, perwira dan bintara yang baik.
Di level menengah, Panglima TNI terpilih harus mengelola manajemen karier berbasis kinerja dan prestasi. Selain itu, kepemimpinan dari level bawah hingga atas harus menjadi contoh baik.
"Kalau komandan tidak menjadi contoh bagi bawahan tentu bawahan akan menjadi tidak disiplin, langgar aturan dan lain," kata Beni.
Kemudian, kata dia, pimpinan TNI memfokuskan pada pengembangan agar lebih profesional dengan menjalankan tupoksi yaitu pertahanan, bukan tugas di luar tugas pokok seperti kamtibmas, kegiatan ekonomi, dan lain-lain. Bagi Beni, para kandidat, termasuk dua kandidat suksesi Hadi terkuat saat ini, yakni Jenderal Andika Perkasa dan Laksamana Yudo Margono bisa melakukan perbaikan tersebut.
"Intinya bagaimana memiliterkan TNI agar lebih fokus dalam melindungi ancaman dari luar negeri atau keamanan nasional seperti konfllik regional, tugas perdamaian dunia, dan lain-lain," kata Beni.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz