Menuju konten utama

Pajak Karbon di UU HPP: Langkah Maju, tapi Tarif Terlalu Rendah

The PRAKARSA menilai pajak karbon dalam UU HPP sebagai langkah maju, tapi tarifnya masih terlalu rendah dan subjeknya adalah konsumen.

Pajak Karbon di UU HPP: Langkah Maju, tapi Tarif Terlalu Rendah
Ilustrasi informasi pajak. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - DPR telah mengesahkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU pada 7 Oktober 2021. Regulasi ini dinilai sebagai perwujudan kebijakan fiskal yang konsolidatif dan strategis dalam rangka perbaikan defisit anggaran dan peningkatan tax ratio yang perlu dicermati.

UU HPP memuat penyesuaian antara lain dalam materi pajak penghasilan, termasuk tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan PPh Badan, kesepakatan internasional di bidang perpajakan, perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pengaturan baru mengenai pengenaan pajak karbon.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan mengatakan, lembaganya mengapresiasi langkah pemerintah terkait pengenaan pajak karbon. "Aturan baru tentang pengenaan pajak karbon yang akan mulai berlaku pada 1 April 2022 merupakan salah satu bukti konkret atas komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam, kebijakan ini masih belum ideal” kata Maftuchan dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (8/10/2021).

Menurut dia, pasca ratifikasi Perjanjian Paris 2015 Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi target pengurangan emisinya. Namun, pemerintah sudah mulai melakukan pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui peningkatan porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23 persen di 2025.

Angka capaian bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di 2020 kurang lebih 11 persen, ada peningkatan jika dibandingkan capaian di 2015 yang baru mencapai 5 persen, kata dia. Artinya, dalam 6 tahun capaian bauran EBT naik dua kali lipat atau kira-kira 1 persen per tahun.

Maftuchan mengatakan, Pemerintah Indonesia akan kesulitan jika mengejar target pengurangan emisi hanya melalui kebijakan EBT, karena hanya tersisa empat tahun untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025.

Oleh karena itu, kata Maftuchan, kebijakan pajak karbon ini merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon.

"Sayangnya, rencana pengenaan tarif pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram CO2e dalam draf RUU KUP tidak terealisasikan. Pada Bab IV UU HPP Pasal 13, tarif pajak karbon yang ditetapkan hanya Rp30 per kilogram karbon CO2e," kata dia.

Cut Nurul Aidha, ekonom the PRAKARSA mengatakan, tarif tersebut jauh lebih rendah dari Singapura yang memiliki tarif US$ 3.71 per ton C02e atau US$ 0.0040 per kilogram C02e atau sekitar Rp56.89 per kilogram CO2e. Padahal jumlah emisi yang dihasilkan Indonesia berada jauh di atas Singapura.

"Tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon CO2e merupakan langkah maju, namun tarifnya masih terlalu rendah. Idealnya, tarif sebesar Rp75-100 per kilogram karbon CO2e," kata Cut Nurul Aidha.

Selain itu, pada Pasal 13 Ayat 5 UU HPP menjelaskan bahwa subyek pajak karbon hanya orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung CO2 atau menghasilkan emisi karbon, artinya subyek pajak karbon adalah konsumen.

Dengan demikian, kata dia, jika perusahaan batu bara menjual batu bara ke industri lain akan dianggap sebagai pemungut pajak karbon dan bukan subyek pajak karbon.

Ia menilai pertimbangan pemerintah yang menerapkan pengenaan pajak karbon pada sisi permintaan ini tidak tepat sasaran dan dapat menimbulkan asumsi bahwa pemerintah hanya berpihak pada produsen, padahal pajak karbon seharusnya menjadi salah satu alat kontrol dalam mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan yang tidak hanya untuk mengubah perilaku konsumen, tapi juga praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi.

Baca juga artikel terkait RUU HPP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri