Menuju konten utama

Duduk Perkara Penyiksaan Difabel di Sleman, Diborgol hingga Disulut

Kasus penyiksaan terhadap penyandang disabilitas di Sleman, DIY terungkap. Rumah pengasuhan ternyata tak berizin.

Duduk Perkara Penyiksaan Difabel di Sleman, Diborgol hingga Disulut
Ilustrasi stop kekerasan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Penyiksaan terhadap anak berkebutuhan khusus atau difabel terjadi di Rumah Kasih Sayang (RKS) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penganiayaan dilakukan oleh pengasuh sepasang suami istri, korban diborgol, disulut api hingga disiram air panas.

Kasus ini terungkap pada medio Juli 2021 saat salah satu orang tua dari anak yang diasuh di RKS curiga karena tak bisa berkomunikasi langsung dengan anak laki-lakinya berinisial AL (17). Pengurus RKS sepasang suami istri berinisial LO dan IT berdalih bahwa AL yang sudah dititipkan di sana sejak 2019 itu sedang fokus belajar sehingga tak bisa diganggu.

Orang tua AL gusar, ia menulis kegelisahan hati tentang anaknya itu di media sosial Facebook. Melalui Facebook, seorang mantan pekerja di RKS kemudian memberitahu agar ia segera mengambil sang anak dari RKS. Orang tua AL yang bertempat tinggal di Lampung langsung menjemput anaknya di Sleman.

Saat ditemui orang tuanya, AL nampak tertekan. Meski AL mengalami borderline personality disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang, tetapi ia bisa mengungkapkan apa yang ia alami termasuk kejadian penganiayaan yang menimpanya. Orang tua AL kemudian melapor ke Polres Sleman.

“Ahirnya diketahuilah saat itu [bahwa telah terjadi kekerasan]. Kalau dari pengakuan korban ia disiram air panas, diborgol di depan pagar. Dipukul terus disulut pakai api kemaluannya,” kata Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sleman Iptu Yunanto Kukuh Prabowo saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/9/2021).

Pengakuan dari korban itu diperkuat dengan bukti visum yang menunjukkan adanya bukti luka di tubuh berupa kulit yang mengelupas karena siraman air panas.

Di RKS saat itu, kata Kukuh, ada 17 anak yang diasuh termasuk AL. Indikasi kekerasan terhadap anak-anak lainnya juga ditemukan, namun kata dia tak semua orang tua korban membuat laporan resmi ke polisi.

Berdasarkan laporan orang tua AL, kedua pengasuh berinisial LO dan IT diperiksa dan akhirnya ditetapkan menjadi tersangka. Berdasarkan hasil penyidikan para tersangka ini melakukan penganiayaan agar anak yang mereka asuh menurut. Hal itu diduga dilakukan selama 6 bulan terakhir sejak AL dititipkan di RKS.

“Pengasuhan anak difabel butuh pengawasan dan keahlian khusus. Mereka [tersangka] tidak sabar merawat maka akhirnya menganiaya anak itu,” kata Kukuh.

Selain bukti visum, polisi mengamankan sejumlah alat bukti yang digunakan untuk melakukan penganiayaan di antaranya satu buah tongkat dari bambu sepanjang 1,5 meter, satu buah borgol dan tang yang digunakan untuk menganiaya korban.

Atas perbuatannya itu, para tersangka dijerat Pasal 80 UU RI No 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 351 KUHPidana. Ancaman hukumannya yakni 3 tahun dan 2 tahun 8 bulan.

Kedua tersangka saat ini tidak dilakukan penahanan dan hanya dikenakan wajib lapor.

Tempat Pengasuhan Tak Berizin

Berdasarkan hasil penyidikan polisi, RKS yang beralamat di Jalan Kaliurang Km. 6,2 Gg. Pandega Padma I No. B 3B1 RT. 002 RW. 058 Purwosari, Mlati, Sleman itu tak mengantongi izin. Sejak beroperasi pada 2017, RKS menerima puluhan anak difabel dan memungut biaya pengasuhan kepada para orang tua.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sleman Eko Suhargono juga mengkonfirmasi bahwa RKS tersebut memang tak berizin. Dan atas kejadian tersebut RKS telah ditutup.

“Rumah Kasih Sayang itu ada kantor pusatnya, tetapi mereka buka di Sleman. Karena [pembukaannya] tidak resmi, ya kami turunkan papan namanya,” kata Eko saat dihubungi reporter Tirto.

Selain menutup RKS, Dinsos Sleman kemudian juga mengevakuasi sejumlah anak-anak lain yang tinggal di sana. Mereka dipindahkan ke Balai Antasena Magelang, Jawa Tengah untuk mendapatkan pendampingan psikososial. Tapi saat ini kata Eko semua anak telah kembali ke orang tua masing-masing.

Atas adanya kejadian ini, kata Eko, Dinsos akan melakukan pemantauan terhadap pendirian lembaga-lembaga serupa agar kasus penganiayaan seperti yang terjadi di RKS tak terulang kembali.

“Kami selalu sosialisasi dengan warga di setiap padukuhan. Tapi warga tidak tahu kalau memang RKS itu belum berizin,” kata dia.

Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar mengatakan perizinan lembaga yang memberikan pelayanan terhadap anak memang harus dipantau. Hal ini untuk menjamin terpenuhinya hak anak.

Namun perizinan lembaga yang memberikan pelayanan terhadap anak selama ini ada di beberapa Kementerian. Seminal lembaga panti asuhan, maka izin dan pengawasannya ada di Kementerian Sosial. Sedangkan lembaga yang memberikan layanan terhadap anak yang berhubungan dengan pendidikan, maka izin dan pengawasannya ada di Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

“Perizinan dan pengawasan ini penting untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus,” kata Nahar melalui saluran telepon, Rabu (6/10/2021).

Berdasarkan data BPS dalam Profil Anak Indonesia pada 2020, diketahui ada sekitar 0,79 persen atau 650 ribu anak penyandang disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia. Hingga 30 Maret 2021, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak sebanyak 110 anak penyandang disabilitas dari total 1.355 anak korban mengalami kekerasan.

Nahar mengatakan kekekerasan yang yang terjadi pada anak-anak difabel ini selain berasal dari lingkungan luar juga berasal dari lingkungan keluarga mereka. Sebab ia menyebut masih ada para orang tua yang tidak dapat menerima kondisi kekurangan anaknya sehingga memicu perlakuan berbagai bentuk tindak kekerasan dari verbal hingga fisik.

Saat ini, Kemen PPPA berserta kementerian atau lembaga terkait sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Khusus Anak. Peraturan ini akan mengakomodasi upaya perlindungan anak penyandang disabilitas, baik dalam aspek kesehatan, pengasuhan keluarga, pemenuhan kebutuhan khusus, pemberian layanan yang dibutuhkan, perlindungan khusus, perlakuan sama dengan anak lainnya, integrasi sosial, perlindungan individu, pemberian akses untuk mengembangkan diri sesuai bakat dan minat yang dimiliki, dan lainnya.

Sedangkan di Kemen PPA sendiri untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak disabilitas telah dikeluarkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas.

Baca juga artikel terkait DIFABEL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz