tirto.id - Kajian yang dilakukan secara daring oleh Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Respons COVID-19 mencatat sekitar 80,9 persen responden dari total 1.683 difabel mengalami dampak negatif. Fakta ini merupakan salah satu temuan dari survei yang digelar pada 10-24 April 2020.
Survei ini melibatkan 1.683 responden yang mewakili seluruh ragam disabilitas dari 216 kota/kabupaten di 32 provinsi di Indonesia.
Dari total responden itu, hanya 60,55% memperoleh informasi yang cukup mengenai COVID-19 dan protokol pencegahannya. Sementara hanya sekitar 30% yang memahami dan mendisiplinkan protokol pencegahan. Sedangkan 11.6% responden mempunyai komorbiditas (penyakit penyerta) yang mengakibatkan kerentanan terpapar COVID-19.
Kaji cepat ini juga menemukan dampak ekonomi yang sangat serius, di mana sekitar 86% responden yang bekerja di sektor informal mengalami pengurangan pendapatan mencapai 50-80% selama pandemi terjadi, demikian rilis yang diterima Tirto, Selasa (9/6/2020).
Menilik penerimaan jaring pengaman sosial, hanya 35,40% responden mendapatkan subsidi listrik; 5,16% memperoleh subsidi PAM/PDAM; 4,53% yang menerima BLT; 11,36% yang menerima BPNT; dan 13,03% untuk penerimaan PKH.
Sementara itu, partisipasi penyandang disabilitas pada program ketenagakerjaan padat karya hanya mencapai 1,95%.
Melihat rendahnya penerimaan program jaring pengaman sosial, bisa dipastikan bahwa ekonomi difabel, terutama sektor informal, membutuhkan perhatian serius dalam pemulihannya, terlebih hanya kurang dari 5% responden yang berkegiatan ekonomi mempunyai literasi keuangan yang baik dan memiliki uang untuk dicadangkan.
Kajian cepat ini pun menemukan terputusnya difabel terhadap berbagai layanan publik seperti layanan terapi, berbelanja, berkegiatan sosial bahkan hingga di sektor pendidikan, di mana sekolah luar biasa yang tidak mempunyai cukup sarana untuk melakukan pembelajaran daring maupun jarak jauh meniadakan proses pembelajaran.
Selain itu, akses platform pembelajaran online juga menjadi kendala serius yang ditemukan.
Selain mengidentifikasi dampak COVID-19, kaji cepat ini juga memetakan potensi kontribusi difabel dalam upaya penanganan pandemi. Ditemukan sekitar 64% responden yang menyatakan kesediaan untuk berkontribusi dalam penanganan COVID-19 dengan beragam kapasitas dan potensi yang dimiliki.
Bahkan, di beberapa daerah, organisasi difabel telah mulai aktif bersama dengan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 untuk turut mengedukasi masyarakat, serta mendukung data untuk penyaluran bantuan sosial.
“Difabel menjadi masyarakat yang paling rentan di masa pandemi ini, sehingga membutuhkan kebijakan dan penanganan yang inklusif sesuai dengan ragam disabilitasnya,” tutur Jonna Aman Damanik, perwakilan Institut Inklusif Indonesia yang tergabung dalam jaringan.
Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Vivi Yulaswati mengapresiasi kerja-kerja dari organisasi difabel.
Menurut dia, dalam situasi pandemi, hasil asesmen ini sangat penting untuk memastikan seluruh protokol tatanan “normal baru” inklusif dan mudah diakses oleh penyandang disabilitas, agar mereka tetap produktif, berdaya dan aman dari Covid-19.
“Kaji cepat ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi dalam berbagai bidang, khususnya terkait informasi dan edukasi, dampak ekonomi, dampak pendidikan, dampak sosial, serta mitigasi kebencanaan yang harapannya dapat ditindak-lanjuti oleh pemerintah dari tingkat pusat hingga desa, serta pihak-pihak lainnya. Perlu dipastikan agar respons Covid-19 dan pemulihannya, termasuk ‘normal baru’ yang sedang dipersiapkan inklusif bagi difabel,” ujar Joni Yulianto, inisiator jaringan.
Editor: Maya Saputri