Menuju konten utama

Dilema Minyak Goreng Curah: antara Kepentingan UKM dan Kesehatan

Pelarangan minyak goreng curah dasarnya adalah kesehatan. Tapi ada yang dikorbankan dari sana: daya beli masyarakat.

Dilema Minyak Goreng Curah: antara Kepentingan UKM dan Kesehatan
Warga mengantre untuk membeli minyak goreng murah saat Bazar Rakyat Sinar Mas Di Pondok Pesantren Suka Miskin Bandung, Kamis (31/5/2018). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

tirto.id - Suatu sore di Kota Padang, Sumatera Barat, para pedagang di Pasar Terandam sedang bersiap menutup lapak. Tapi Bu Mit masih berjualan. Perempuan 53 tahun ini adalah salah satu pedagang minyak goreng (migor) curah sejak 1986.

Bu Mit tahu pemerintah berencana melarang para pedagang berjualan migor curah mulai Januari 2020.

Kebijakan pemasaran migor dengan kemasan sebenarnya sudah sudah diatur sejak 2014. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri perdagangan 80/2014 tentang minyak goreng wajib kemasan. Namun, migor curah masih beredar sampai saat ini.

Meski begitu, Bu Mit mengaku tidak khawatir. Untuk saat ini yang lebih banyak dicari adalah migor curah. Dia tidak khawatir pemasukannya menurun, sebab baginya selama ada permintaan, pasti ada penawaran.

"Ya orang masih banyak yang lebih pilih ini (curah). Orang-orang, kan, cari yang murah. Ibu itu saja masih mau beli," ucap Bu Mit sembari menunjuk ke salah satu pelanggannya, Senin (7/10/2019).

Apabila konsumen menginginkan migor kemasan, pedagang tentu harus bisa mengikuti, tambahnya.

Harga migor curah memang lebih murah ketimbang migor kemasan. Di Pasar Terandam, harga migor curah ukuran 1 kilogram mencapai Rp9.500, lebih murah ketimbang migor kemasan yang dijual Rp12 ribu.

Beda dengan Bu Mit yang merasa migor curah akan tetap ada, Muslim (57 tahun) khawatir yang terjadi sebaliknya. Jika benar-benar migor curah tidak lagi ada di pasar, ia khawatir itu akan menyusahkan para konsumen.

"Tukang gorengan beli seperempat kilogram untuk masak sehari. Kalau beli sekali besar, nanti uang mereka habis hanya untuk minyak, padahal seharusnya bisa dibagi untuk keperluan lain," ucap Muslim di kiosnya, juga di Pasar Terandam.

Oleh karena itu Muslim berharap pemerintah bisa memberikan solusi agar migor curah tetap tersedia di pasar. Setahunya, migor kemasan hanya tersedia paling kecil 1 liter.

Mematikan Pedagang Kecil

Pernyataan Muslim sebenarnya menegaskan satu hal: pelarangan migor curah merugikan para pedagang kecil atau UMKM.

Efek ini dipertegas oleh Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun. Lebih tegas ia mengatakan: larangan ini hanya menguntungkan korporasi.

Agar bisa dijual berdasarkan peraturan baru, migor harus melalui berbagai proses standardisasi. Selain memakan waktu, biaya yang harus dikeluarkan juga tidak kecil.

Bagi pedagang kecil, jelas ini menyulitkan, tegas Ikhsan.

Selain itu, menurutnya, para pedagang kecil juga khawatir kehilangan pelanggan yang kebanyakan berpenghasilan rendah. Pasalnya, tambahan biaya dari proses pengemasan akan turut berdampak terhadap kenaikan harga jual migor.

"Ini memerlukan biaya mahal, sehingga bisa mengerek harga jual. Produk jual gorengan jadi naik sama saja mematikan produk industri dan usaha mikro," ucap Ikhsan kepada reporter Tirto.

"Akumindo menolak aturan dari Kemendag dan Kemenperin yang tidak berpihak pada UMKM," tambahnya.

Pendapat serupa disampaikan Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) Abdullah Mansuri. Pedagang belum siap dengan peraturan ini, tegasnya.

"Prinsipnya sah-sah saja, tapi kami enggak setuju caranya yang sporadis. Tiba-tiba diputuskan 2020. Ini tidak ada fase peralihan. Harusnya ada,” ucap Mansuri kepada reporter Tirto.

Mansuri mengingatkan pemerintah bahwa peraturan ini melemahkan daya beli masyarakat, terutama kalangan bawah. Pasalnya, migor yang dibeli mereka rata-rata berukuran kecil, dan hanya bisa dipenuhi dengan migor curah.

"Dia (konsumen) awalnya bisa beli (migor) Rp3.000 saja, namun nanti minimal Rp12 ribu untuk ukuran sekilo. Padahal, mereka juga perlu menyisihkan uang untuk belanja lain. Itulah yang membuat kami agak kesulitan," ucap Mansuri.

Demi Kesehatan

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi sepakat dengan kebijakan ini. Soalnya, migor curah yang tidak dikemas dengan baik bisa terkontaminasi zat atau benda lain yang akhirnya membahayakan si konsumen.

Sebaliknya, migor yang dikemas secara baik akan menjamin konsumen. Mereka juga bisa memperoleh informasi penting dari kemasan tersebut, mulai dari tanggal kedaluwarsa, kehalalan, hingga kandungan gizi.

"Secara fisik minyak goreng dalam kemasan memang lebih aman. Kecil potensinya untuk terkontaminasi zat/benda lain yang tidak layak konsumsi, dan bisa lebih tahan lama," ucap Tulus.

Peraturan ini memang dibuat dengan landasan tersebut, demikian ditegaskan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

"Pastilah [ada kenaikan harga]. Minyak curah kan tidak pakai kemasan. Kebijakan itu memang untuk kesehatan, supaya produknya higienis. Konsumen jangan pakai curah-curah. Itu tidak sehat,” ucap Airlangga, dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait LARANGAN MINYAK GORENG CURAH atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang