tirto.id - Impor minyak goreng sepanjang Mei 2019 mengalami lonjakan cukup signifikan, baik secara tahunan maupun dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini jadi isu yang cukup ramai diperbincangkan terutama karena posisi Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak goreng pada Mei lalu mencapai 28,53 juta kg atau senilai 16,15 juta dolar AS. Angka itu mengalami lonjakan dari April 2019 yang tercatat 15,38 juta kg dengan nilai 11,48 juta dolar AS.
Sementara jika dibandingkan periode Mei 2018, volume serta nilai impor melonjak hampir 7 kali lipat. Sebab, pada periode tersebut, impor minyak goreng tercatat hanya sebesar 4,21 juta kg dengan nilai 4,62 juta dolar AS.
Bila dirinci, minyak goreng impor itu berasal dari beberapa negara tetangga. Dari 61,86 juta kg dari Januari sampai Mei 2019, sebanyak 21,45 juta kg berasal dari Malaysia, 19,72 juta kg dari Filipina, 5,68 juta kg dari Thailand.
Bahkan, Singapura dan Papua Nugini juga memasok minyak goreng ke dalam negeri dengan porsi masing-masing sebesar 4,56 juta kg dan 6,86 juta kg. Sementara sisa pasokan impor 3,57 juta kg berasal dari negara lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meragukan data peningkatan impor minyak goreng yang tercatat oleh BPS. Sebab, kata dia, harga minyak goreng yang diproduksi di dalam negeri lebih murah daripada negara tetangga.
Belum lagi, kata Darmin, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 87/M-IND/PER 12/2013 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Goreng Sawit [PDF] mewajibkan komoditas minyak goreng yang masuk ke Indonesia memenuhi SNI.
“Saya belum percaya saya itu. Artinya mesti ada penjelasan,” kata Darmin usai rapat di Badan Anggaran DPR RI, di kompleks Senayan, Selasa (25/6/2019).
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan minyak goreng yang diimpor tersebut belum tentu berasal dari sawit. Sebab, kata dia, suplai minyak goreng dari kelapa sawit di Indonesia justru masih berlimpah lantaran sulit untuk diekspor.
“Orang Indonesia ini sudah banyak berubah. Yang terbesar itu orang sudah senang makan di restoran. kalau di restoran cooker itu kebanyakan bule. Bule pakainya minyak goreng dari sunflower (minyak biji matahari). Minyak soybean (kedelai). Makanya harus dibatasi oleh Kemendag dengan menerapkan bea masuk bagi minyak-minyak itu,” kata Sahat kepada reporter Tirto, Rabu (26/6/2019).
Sebab, kata Sahat, jika tidak dibatasi, maka pemerintah tidak bisa mendapatkan keuntungan dari kenaikan impor minyak goreng jenis tersebut.
“Saya memperkirakan tahun lalu minyak goreng dari sunflower 48-53 ribu ton. Tahun ini bisa melonjak ke 64 ribu ton. Kalau kita kasih bea masuk 20 dolar misalnya? berapa itu? Kan, bisa jadi income negara,” kata Sahat.
Terlebih, kata Sahat, dana pungutan ekspor untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang memiliki harga di bawah 570 dolar AS per ton di-nol-kan oleh pemerintah.
Alhasil, kata Sahat, minyak sawit yang diekspor adalah produk hulu yang memiliki kualitas rendah dan berharga murah. Sementara untuk untuk produk hilir sawit seperti minyak goreng, justru melimpah di dalam negeri, sulit bersaing di pasar ekspor karena harganya lebih mahal.
Menurut Sahat, ekspor produk hilir sawit memang sudah 60-70 persen dari total ekspor minyak sawit hingga akhir 2018 lalu. Namun, sejak kebijakan itu diterapkan, ekspor produk hilir terus mengalami penurunan. Jika tak segera ditangani, menurut dia, industri hilir sawit terus tertekan.
Ekonom dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Bustanul Arifin menilai, tekanan terhadap industri minyak goreng kelapa sawit juga bisa terjadi jika pemerintah luput terhadap problem yang muncul di tataran operasional. Misalnya, kata dia, soal persediaan bahan baku untuk industri dalam negeri.
Jika dana pungutan ekspor CPO diturunkan, kata Bustanul, maka bisa jadi bahan baku industri hilir dalam negeri makin sulit karena ekspor bahan baku makin besar.
Selain itu, menurut Bustanul, kebijakan itu berpotensi membuat Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit kekurangan uang untuk pengembangan produk turunan sawit.
"Logikanya kalau pungutan 0, terus BPDP enggak punya uang dong. Dulu mereka meminta pembebasan itu karena kontribusi trade balance bermasalah. Jadi ekspor dipermudah, tapi ternyata enggak juga tuh [ekspor meningkat]," kata dia saat dihubungi reporter Tirto.
Minyak Goreng Impor bukan Berbahan Sawit
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim menjelaskan, bahwa impor minyak goreng yang dilakukan pemerintah bukan berbahan baku minyak kelapa sawit. Sebab, hingga sekarang ketersediaan minyak goreng kelapa sawit dalam negeri masih surplus.
Impor minyak goreng tersebut, kata dia, jika dilihat berdasarkan jenisnya, antara lain adalah minyak zaitun, minyak canola, minyak kedelai, dan sebagainya. Adapun kenaikan impor terjadi lantaran minyak nabati selain sawit digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong industri yang pertumbuhannya juga meningkat.
“Minyak tersebut digunakan untuk bahan baku industri (sardines, farmasi) dan keperluan HORECA (Hotel, Restoran, Catering) yang tidak dapat disubstitusi minyak sawit,” kata dia dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto, Rabu (26/6/2019).
Abdul Rochim juga menyinggung soal kebijakan pungutan dana ekspor crude palm oil (CPO) sebesar 0 persen yang dianggap membuat produk hilir sawit karena tak bisa bersaing di pasar internasional, serta habisnya pasokan bahan baku untuk industri hilirisasi.
Menurut dia, kebijakan yang tertuang dalam PMK 152/2018 itu memang membawa dampak bagi kinerja industri oleofood (bahan makanan) dan oleokimia. “Bahan baku utama industri tersebut yakni palm stearine dan processed palm kernel oil/stearine banyak diekspor, sehingga hilirisasi terganggu,” kata dia.
Namun, lanjut Abdul, hal ini tidak mengganggu pasokan minyak goreng (RBD Palm Olein) bagi pasar dalam negeri.
“Malah yang terjadi sekarang pasar lokal banyak dipasok dari merk baru, pemain baru, minyak goreng kemasan. Hal ini sangat positif bagi konsumen dalam negeri dalam hal higienitas produk,” kata dia.
Meski demikian, untuk kebijakan jangka panjang, Abdul Rochim tetap meminta kebijakan itu ditinjau ulang dan dikembalikan ke aturan dana pungutan ekspor sawit sebelumnya, yakni pada PMK 133 tahun 2015.
Sebab, kata dia, aturan tersebut membuat daya saing produk minyak goreng terganggu karena mengancam pasokan bahan baku CPO yang menjadi keunggulan Indonesia dibanding industri di negara lain.
“Baiknya memang perlu dikaji yaang lebih mendalam untuk kembali ke aturan dana pungutan sawit sebelumnya (PMK 133/2015) yang terbukti mendorong masuknya investasi baru,” kata Abdul Rochim.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz