Menuju konten utama

Kemenperin Akui RI Impor Minyak Goreng, Tapi Bukan Berbahan Sawit

Kemenperin mengaku Indonesia memang mengimpor minyak goreng dari sejumlah negara tetannga. Namun, minyak goreng impor itu bukan yang berbahan sawit. 

Kemenperin Akui RI Impor Minyak Goreng, Tapi Bukan Berbahan Sawit
(Ilustrasi) Warga mengantre untuk membeli minyak goreng murah saat Bazar Rakyat Sinar Mas Di Pondok Pesantren Suka Miskin Bandung, Kamis (31/5/2018). ANTARA FOTO/Novrian Arbi

tirto.id - Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Senin lalu menunjukkan impor minyak goreng pada Mei 2019 mencapai 28,53 juta kilogram atau senilai 16,15 juta dolar AS.

Volume impor tersebut mengalami lonjakan dibanding April 2019 yang tercatat hanya 15,38 juta kilogram dengan nilai 11,48 juta dolar AS.

Sementara jika dibandingkan periode Mei 2018, volume impor minyak goreng pada bulan yang sama tahun ini melonjak hampir 7 kali lipat. Sebab, pada Mei 2018, impor minyak goreng tercatat hanya sebesar 4,21 juta kilogram dengan nilai 4,62 juta dolar AS.

Direktur Jendral Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Abdul Rochim mengakui Indonesia memang mengimpor minyak goreng. Akan tetapi, minyak goreng yang diimpor bukan berbahan sawit. Sebab, hingga sekarang stok minyak goreng berbahan sawit di dalam negeri masih surplus.

Menurut Rochim, jika dilihat berdasarkan jenisnya, minyak goreng yang diimpor Indonesia dari sejumlah negara tetanggap adalah minyak zaitun, minyak canola, minyak kedelai, dan lainnya.

Kenaikan impor terjadi lantaran minyak nabati selain berbahan sawit digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk sejumlah sektor industri yang produksinya meningkat.

"Minyak tersebut digunakan untuk bahan baku industri, seperti sardines, farmasi, dan keperluan HORECA [Hotel, Restoran, Catering] yang tidak dapat disubstitusi dengan minyak sawit," kata Rochim kepada reporter Tirto, di Jakarta pada Rabu (26/6/2019).

Rochim juga menyoroti pembebasan pungutan dana ekspor minyak sawit mentah (CPO). Kebijakan itu memicu lonjakan ekspor CPO sehingga menganggu pasokan bahan utuj industri hilirisasi sawit.

Dia mencontohkan, penerapan kebijakan yang tertuang di PMK 152/2018 itu, membawa dampak bagi kinerja industri oleofood dan oleokimia.

"Bahan baku utama industri tersebut yakni palm stearine dan processed palm kernel oil/stearine, banyak diekspor, sehingga [industri] hilirisasi [sawit] terganggu," kata Rochim.

Meski demikian, ia memastikan pembebasan pungutan dana ekspor CPO tak menganggu pasokan minyak goreng atau RBD Palm Olein untuk pasar dalam negeri.

"Malah yang terjadi sekarang, pasar lokal banyak dipasok dari merk baru, pemain baru, minyak goreng kemasan. Hal ini Sangat positif bagi konsumen dalam negeri dalam hal higienitas produk," ujar Rochim.

Untuk kepentingan jangka panjang, ia berharap pembebasan pungutan dana ekspor CPO ditinjau ulang dan aturan sebelumnya, yakni PMK 133 tahun 2015, diberlakukan lagi.

"Sebaiknya memang perlu dikaji yang lebih mendalam untuk kembali ke aturan dana pungutan Sawit sebelumnya, yang terbukti mendorong masuknya investasi baru," ujar dia.

Baca juga artikel terkait IMPOR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom