Menuju konten utama
31 Oktober 1997

Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF

Soeharto mengundang IMF untuk membantu penanganan krisis.

Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF disaksikan oleh Michel Camdessus selaku Managing Director. FOTO/Istimewa

tirto.id - Soeharto terlihat menunduk sembari membubuhkan tanda tangan di dokumen Letter of Intent (LoI). Di sampingnya, tampak Michel Camdessus si Direktur IMF berdiri sambil bersedekap tangan. Usai membubuhkan tanda tangan, Soeharto kemudian memberikan pidato singkat. Demikian pula Camdessus memberikan pidato formalnya. Keduanya lantas berjabat tangan sambil melempar senyum dalam sebuah acara seremoni di Cendana.

Peristiwa 15 Januari 1998 itu dianggap sebagai "takluknya" rezim Orde Baru terhadap gejolak perekonomian. Soeharto akhirnya menyerah dan minta bantuan IMF, setelah perekonomian Indonesia dihajar krisis parah yang membuat keuangan negara berdarah-darah.

Bila ditarik ke belakang, 76 hari sebelum kejadian yang dianggap bersejarah itu, Soeharto lewat “tangan” Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono sudah mengambil langkah pendahuluan untuk mengajukan diri sebagai "pasien" IMF.

Kedua orang itu diberi tugas oleh Soeharto memohon bantuan dalam sebuah surat proposal program paket penyelamatan dari krisis, pada 31 Oktober 1997. IMF setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS. Surat permintaan ini juga disebut Memorandum on Economic and Finance Policies (MEFP).

Indonesia memang mau tak mau menjadi "pasien" IMF. Kondisi perekonomian sedang compang camping. Sepanjang Juli-Agustus, rupiah mulai mengalami tekanan setelah Baht Thailand rontok. Awal Agustus dolar mencapai Rp2.600, lalu makin menguat terhadap rupiah hingga ke level Rp3.850. Sejak awal 1997 hingga pekan pertama Oktober 1997, rupiah sudah melemah hingga 42 persen.

Widigdo Sukarman dalam tulisannya “Dampak Depresiasi Rupiah Terhadap Bisnis Perbankan” mengungkapkan intervensi BI ke pasar uang pada 6 Oktober 1997 sebesar 300 juta dolar AS dan 100 juta AS pada 7 Oktober tak mempan mengendalikan rupiah.

Berselang sehari, pada sidang kabinet terbatas, pada 8 Oktober, Soeharto akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan IMF. Soeharto mengajak ekonom senior, mantan Menteri Ekuin dan Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro untuk turun gunung. Widjojo yang sering dapat julukan “arsitek ekonomi” awal Orde Baru ini diminta mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Negosiasi pemerintah dan IMF pun dimulai sejak 17 Oktober 1997.

Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) mengatakan "Misi IMF mulai datang pada minggu kedua (Oktober) dan bersama tim pemerintah menyusun program penanganan krisis."

Ibarat sebagai "dokter", IMF saat itu mendiagnosis penyakit Indonesia mengalami guncangan moneter "skala sedang" akibat goyahnya kepercayaan pelaku pasar terhadap ekonomi Indonesia sebagai imbas dari krisis Thailand.

Soeharto memang tak berdiam diri sebelum jatuh ke pangkuan IMF. Beberapa jurus paket kebijakan ekonomi sudah dikerahkan, antara lain mengeluarkan kebijakan penghematan devisa, pada 11 Juli pelebaran rentang intervensi untuk mengurangi pembelian dolar AS oleh BI. Penundaan proyek-proyek besar senilai Rp39 triliun yang memakai dolar pada 16 September, dan menaikkan suku bunga BI untuk merangsang orang melepas dolar dan membeli SBI. Namun kebijakan ini membuat biaya modal jadi makin mahal.

Baca juga: Krisis Meksiko Dahulu, Krisis Asia Kemudian

IMF akhirnya bersedia membantu Indonesia, dengan sejumlah syarat sebagaimana tertuang dalam Letter of Intent. Paket penyelamatan oleh IMF mendorong adanya kebijakan likuidasi 16 bank yang sakit, berselang satu hari setelah permintaan bantuan ke IMF, pada 1 November 1997. Keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF yang dituangkan ke dalam LoI antara pemerintah dengan IMF pada 31 Oktober 1997. Saat itu, IMF malah mendeteksi 34 bank sakit, tapi setelah proses negosiasi dengan BI, penutupan terjadi hanya kurang dari setengahnya saja.

Sebelum IMF masuk, rencana ini sudah disiapkan jauh-jauh hari dalam sidang kabinet terbatas tanggal 3 September 1997, pemerintah memutuskan untuk: membantu bank-bank yang masih memiliki harapan hidup; memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank kepada bank-bank yang lebih mampu; dan akan mencabut izin bank-bank yang sudah tidak memiliki harapan hidup.

Kebijakan likuidasi bank dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional dan harapannya dapat mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. "Penutupan 16 bank justru mengkonfirmasi perbankan kepada masyarakat bahwa perbankan nasional tidak sehat." kata Boediono.

Saat bersamaan kondisi rupiah makin tertekan terhadap dolar AS. Pada akhir Desember dolar sempat mencapai Rp5.700, apalagi saat itu sempat ada rumor soal meninggalnya Soeharto. Puncak keterpurukan rupiah terjadi pada Januari 1998. Menurut Radius Prawiro, seperti ditulis dalam Menembus Batas: Damai Untuk Semesta (2008), “Selama 30 tahun Orde Baru, rupiah telah terdepresiasi sampai sekitar 70 persen dan pernah sampai 98 persen, yaitu pada 21 Januari 1998 ketika kurs dolar AS mencapai Rp16.000.”

Baca juga: Gerak Dolar Melawan Rupiah

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/31/siklus-bantuan-imf--MILD-rangga_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik IMF" /

Perekonomian Indonesia yang sakit tak hanya tercermin dari rupiah saja, tetapi segala aspek parameter ekonomi. Miranda S. Goeltom dalam Essay in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience mencatat puncak paling suram dalam ekonomi Indonesia dari 1996-1999 terjadi pada 1998.

Angka-angka makro ekonomi Indonesia yang seram tergambar pada tahun itu. Pada 1998, saat puncak krisis terjadi pada perbankan dengan kredit macet atau NPL gross perbankan mencapai 48,6 persen. Ekonomi Indonesia minus 13,3 persen, rata-rata investasi minus 33 persen. Persoalan utang pun tak kalah pelik.

Dalam buku “Ekonomi Politik” karya Deliarnov, utang luar negeri pemerintah pada akhir Desember 1997 cukup besar untuk ukuran pada waktu itu mencapai 137,42 miliar dolar AS, sementara utang luar negeri swasta menembus 73,96 miliar. Utang ini disebut-sebut naik berlipat-lipat. Rupiah yang makin terpuruk terhadap dolar makin menambah beban utang bagi pemerintah atau swasta.

Sekitar seminggu sebelum 15 Januari 1998, Soeharto memanggil para ekonom, termasuk Sri Edi Swasono. Edi menceritakan bagaimana Soeharto berbicara mengenai ekonomi Indonesia terkini saat itu, Edi pun mencatat pertanyaan Presiden Soeharto: ”Mengapa utang luar negeri kita begini besar?” Saya menjawab: ”Bapak gampang percaya pada teknokrat. Masalah berat ini kita hadapi saja, Pak!”

Persoalan utang swasta ini memang menjadi persoalan yang mau tak mau harus ditangani pemerintah, yang pada LoI pertama tak mendapat perhatian IMF. Boediono mengatakan dalam konteks saat itu, paket LoI pertama 31 Oktober 1997 bisa dibilang gagal, karena banyak persoalan yang tak terpetakan secara lengkap sehingga solusinya pun tak tepat sasaran. Misalnya, informasi yang tak akurat soal kondisi perbankan, dan utang luar negeri swasta. Program restrukturisasi perbankan tidak dilakukan mendasar pada LoI pertama. Juga tak mencakup penanganan utang-utang swasta.

“Pada Januari 1998 daftar masalah yang dihadapi Indonesia makin panjang: kurs lepas kendali, harga barang-barang terutama makanan melonjak, kegiatan industri macet dan PHK terjadi terutama di perkotaan, perbankan nasional porak poranda. Karena kegagalan program dalam LoI pertama, maka dalam LoI kedua 15 Januari, dan LoI ketiga 10 April dan dalam serentetan LoI selanjutnya dilakukan perubahan strategis.”

Di internal pemerintah pada waktu itu ada upaya mencari alternatif solusi setelah LoI 15 Januari 1998, karena skema yang disepakati IMF dinilai membawa Indonesia makin liberal dan tak ada tanda-tanda perbaikan. Soeharto mengangkat Steve Hanke, Guru Besar John Hopkin University sebagai penasehat khusus presiden.

Baca juga: Kilas Balik Indonesia dan IMF

Soeharto berencana menerapkan Currency Board System (CBS) atas proposal yang diajukan Steve Hanke. Skema CBS rupiah akan dipatok pada Rp5.500 per dolar AS. Soeharto tertarik dan hampir memberlakukan CBS. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang CBS sudah disiapkan pada awal Februari 1998. Namun, IMF sebagai "dokter" kala itu menolak mentah-mentah gagasan itu.

"CBS akan mematok kurs rupiah pada tingkat di bawah kurs yang berlaku. Kebijakan yang bertolak belakang kurs mengambang sesuai dengan kesepakatan dalam LoI. Rencana itu tak jadi dilaksanakan dan sempat membuat kebingungan dan ketidakpastian di antara pelaku pasar," kata Boediono.

Pada akhirnya berselang kurang dari tujuh bulan setelah Soeharto meminta bantuan IMF, ia mengundurkan diri karena situasi politik dan ekonomi yang semakin terpuruk. Camdessus dalam sebuah kesempatan pernah mengatakan pihaknya punya andil dalam menciptakan kondisi Soeharto lengser dari jabatannya. Namun, sang bos IMF juga sempat melayangkan keberatan dan meluruskan ucapannya, bahwa IMF tak bermaksud demikian.

Semenjak kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, pemerintahan yang baru masih dalam bayang-bayang IMF. Setidaknya sejak 1997 hingga 2003, Indonesia sudah meneken 26 kali LoI dengan IMF. Hingga Desember 2003, Indonesia memutuskan mengakhiri program dengan IMF. Berselang tiga tahun, utang Indonesia terhadap IMF berhasil dilunasi.

Baca juga artikel terkait KRISIS atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti