Menuju konten utama

Krisis Meksiko Dahulu, Krisis Asia Kemudian

Sebelum krisis keuangan melanda negara-negara Asia pada 1997, Meksiko sudah mengalami krisis serupa pada tahun 1994-1995.

Krisis Meksiko Dahulu, Krisis Asia Kemudian
Demonstran anti-pemerintah membawa mata uang Bath Thailand, Bangkok, 7 Februari 2014. FOTO/REUTERS

tirto.id - 20 tahun lalu, krisis keuangan mulai melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Nilai tukar rupiah terhadap dolar anjlok. Inflasi melonjak tinggi. Di bank-bank, terjadi antrean panjang penarikan uang. Harga barang-barang melonjak dan semakin tak terbeli. Banyak perusahaan bangkrut, tak sedikit bank yang tutup. Indonesia dalam resesi.

Krisis yang dialami Indonesia dan sejumlah negara Asia itu bermula di Thailand, lalu merembet ke Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Indonesia, hingga Korea Selatan.

Ekonomi Thailand sebenarnya tampak baik-baik saja pada awal tahun 1990-an sampai 1995. Selama tiga puluh tahun, perekonomian Muangthai mengalami boom. Bangunan-bangunan pencakar langit tampak di segala penjuru Bangkok.

Pemerintah Thailand mampu menjaga tingkat inflasi rendah antara 3,36 dan 5,7 persen. Neraca fiskal pun tampak surplus. Perekonomian Thailand saat itu memiliki karakteristik tingkat tabungan yang tinggi yang berada di sekitar 33,5 persen dari PDB. Pertumbuhan PDB Thailand juga mengesankan yakni 8,08—8,94 persen sepanjang 1991 hingga 1995.

“Akibatnya, ekonomi Thailand menjadi sangat menarik bagi spekulan internasional,” tulis Narisa Laplamwanit pada tahun 1999 dalam jurnal berjudul A Good Look at the Thai Financial Crisis in 1997-98yang dipublikasikan Columbia University.

Pada tahun 1995, lanjut Narisa, Thailand memiliki arus masuk modal bersih senilai $14,2 miliar. Angka tersebut tumbuh lebih dari 100 persen dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Aliran deras modal itu membuat sektor perbankan berkembang sangat cepat. Tingkat investasi Thailand pada 1990 hingga 1996 menjadi yang paling baik di antara negara-negara Asia Tenggara.

Pertumbuhan harga saham di bursa saham Thailand terbilang fantastis. Selama enam tahun itu, ia tumbuh 175 persen secara keseluruhan. Khusus di sektor properti, pertumbuhannya mencapai 395 persen.

Sayangnya, perkembangan ekonomi yang positif itu menjadi berlebihan. Investasi dialokasikan ke pembangunan yang tidak produktif, seperti perumahan dan apartemen. Pembangunan juga melebihi daya beli masyarakat dan daya serap permintaan. Apartemen, perumahan mewah, hingga lapangan golf terus dibangun tetapi sulit dipasarkan.

Pada 14 Mei 1997, Thailand, dengan intervensi Singapura, menghabiskan miliaran dolar cadangan devisa untuk mempertahankan baht Thailand melawan serangan spekulatif dari para pedagang uang. Menurut Cyrillus Harinowo dalam bukunya berjudul IMF: Penangan Krisis & Indonesia Pasca-IMF, pada hari itu, bank sentral Thailand melakukan intervensi hingga $10 miliar. Sayangnya, intervensi sebesar itu tak cukup ampuh membuat jera para spekulan.

Setelah melakukan berbagai cara tetapi tak berhasil mendongkrak nilai mata uang bath yang terus merosot, tepat pada 2 Juli 1997, Thailand mendevaluasi nilai baht. Berita tentang devaluasi tersebut menurunkan nilai baht hingga 20 persen. Pemerintah Thailand lalu meminta "bantuan teknis" dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Krisis itu merambat ke negara-negara lain. Menurut Cyrillus, Malaysia bisa bertahan karena menerapkan kebijakan exchange control atau kontrol valuta asing. Ia adalah kebijaksanaan pemerintah untuk mengatur pembayaran luar negeri secara langsung, baik dengan berusaha memonopoli pemilikan valuta asing, mengatur penggunaannya, maupun mengatur tingkat kursnya.Dua negara yang mengalami kerusakan parah adalah Indonesia dan Korea.

Sebenarnya, sebelum krisis melanda Asia, krisis serupa juga melanda Meksiko sekitar dua tahun sebelumnya. Sayangnya, negara-negara Asia tak belajar dari krisis hebat itu dan malah melakukan kesalahan yang sama.

Infografik kemiripan krisis keuangan thailand 1997

Krisis di Meksiko juga didasari oleh masuknya arus modal dan investasi yang sebagian besar bersifat spekulatif. Singkat cerita, suntikan modal dalam jumlah besar menyebabkan sindrom overlending lembaga keuangan yang dipantau secara longgar oleh bank sentral.

Bank sentral lalu berjanji untuk menyelamatkan dana dari lembaga keuangan yang gagal beroperasi, sebuah kebijakan yang menciptakan moral hazard di lembaga keuangan serta kreditor dan deposan.

Bertahun-tahun kemudian, ekonomi telah mengalami pertumbuhan yang lambat dan arus modal keluar. Aliran modal telah menyebabkan krisis perbankan. Diperlukan bank sentral untuk mempercepat ekonomi dengan menyediakan mata uang asing dari cadangannya yang terbukti terlalu besar sehingga bank sentral akhirnya berkomitmen terhadap kebijakan switching nilai tukar. Pada akhirnya, ekonomi harus mengalami masa resesi yang panjang.

Paul Krugman mencoba menjelaskan tiga alasan penting yang menjadi dasar melemahnya perekonomian Meksiko. Meskipun telah berhasil menurunkan tingkat inflasi, menurut Krugman, penurunannya tak secepat seharusnya. Sementara inflasi di negara mitra dagang Meksiko seperti Amerika Serikat justru menunjukkan angka yang lebih rendah. Akibatnya, terjadi inflation differential yang sulit dikejar dengan devaluasi mata uang peso.

Selain itu, lanjut Krugman, kencangnya arus modal yang masuk tak seimbang dengan perkembangan ekonomi Meksiko yang hanya tumbuh 2,5 persen per tahun. Pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat.

Alasan terakhir adalah tingginya kesenjangan, sehingga pertumbuhan ekonomi tak bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Itu sebabnya Krugman menilai krisis Meksiko pada 1995 hanyalah soal waktu. Jika krisis tak terjadi pada tahun itu, makan ia akan terjadi di tahun-tahun berikutnya.

“Jadi, apakah Thailand mengabaikan penderitaan Meksiko? Aku bisa bilang benar demikian, tetapi Thailand saat itu memang tak punya banyak pilihan,” ungkap Narisa Laplamwanit. Ketika Meksiko mulai memasuki krisis finansial pada tahun 1994, ekonomi Thailand sudah mulai terbiasa dengan gaya baru liberalisasi ekonomi.

Saat itu, warga Thailand telah meraup pendapatan yang lebih banyak dari sebelumnya dan semakin bangga dengan pertumbuhan ekonomi mereka. Jika pemerintahan tiba-tiba mengambil langkah mengubah gambaran ekonomi secara keseluruhan, maka itu akan menjadi kebijakan yang tidak populis. Jadi, masalah politik memang berdampak pada arah kebijakan ekonomi.

Baca juga artikel terkait KRISIS MONETER atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti