Menuju konten utama

Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia

IMF menerapkan resep yang sama untuk tiap krisis ekonomi. Tidak semua resep itu ampuh mengobati krisis di suatu negara.

Kilas Balik Indonesia-IMF Selama Krisis Ekonomi Asia
Konferensi Bretton Woods, 1944. FOTO/AP

tirto.id - Foto itu kini jadi klasik. Soeharto, salah satu orang kuat di Asia, menunduk menandatangani Letter of Intent, diawasi oleh Direktur IMF Michael Camdessus pada 15 Januari 1998.

Posisi badan jelas penting dalam propaganda rezim tirani. Bekas diktator Korea Utara Kim Jong Il dikabarkan tidak pernah mau berfoto dengan orang yang tubuhnya lebih tinggi. Para pengawal pribadinya ditunjuk dari para perwira yang bertinggi badan setara atau lebih pendek. Soeharto tidak pernah digambarkan merunduk dalam foto-foto resmi kenegaraan.

Menunduknya Soeharto menunjukkan kapitulasinya pada IMF, satu dari mata rantai rezim keuangan internasional yang pernah membesarkan kekuasaannya. Namun itu bukan kali pertama Soeharto dipermalukan lembaga internasional.

Dua tahun sebelumnya, Soeharto mengeluarkan Inpres 2/1996 yang menunjuk PT Timor Putra Nasional yang dimiliki anak bungsunya Hutomo Mandala Putra sebagai produsen mobil nasional. Mobil Timor, nama produk mercusuar itu, aslinya adalah mobil pabrikan KIA dari Korea Selatan. Jepang, negara produsen mobil terbesar di dunia, menggugat Indonesia ke WTO dengan pasal pelanggaran Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (GATT). Menjelang lengser, proyek itu dibatalkan.

Krisis yang melanda Indonesia dan menjalar jadi krisis politik tak pernah diduga sebelumnya. “Para pembuat kebijakan Indonesia terkenal lebih aktif (dan lebih kuat) di masa-masa sulit, misalnya, dalam krisis Pertamina tahun 1975,” tulis Stephen Grenville dalam “The IMF and the Indonesian Crisis” (2004).

Soeharto kewalahan. Ia kemudian meminta bantuan ke IMF. Pertolongan itu sudah tentu tidak gratis. Indonesia harus mematuhi sejumlah syarat dari IMF, mulai dari pembentukan BPPN hingga penjualan BUMN.

Dari Thailand ke Indonesia

Krisis di Indonesia merupakan imbas dari krisis di Thailand. Cara otoritas Thailand pada Mei 1997 menangani spekulan yang menyerang Baht berbuah pahit. Intervensi hingga $10 miliar yang dikeluarkan Bank of Thailand terbukti gagal menghukum para spekulan. Pada 1997, kabar tentang pemerintah mendevaluasi Baht secara drastis menurunkan nilai mata uang tersebut 20 persen. IMF diundang untuk memberikan bantuan.

Indonesia melakukan hal yang sama dengan Thailand: mengapungkan nilai rupiah terhadap dolar pada Agustus 1997, yang kemudian malah membuatnya terus mengalami depresiasi. Langkah ini direspons oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri dengan membeli dolar dan memperburuk nilai rupiah.

Strategi yang diambil Indonesia menyebabkan devisa negara tergerus. Namun, dengan kurs mengambang, nilai rupiah terhadap dolar AS terus naik: Rp4.000 pada akhir 1997 ke Rp6.000 pada awal 1998, sempat menyentuh ke angka Rp13.000, kemudian Rp8.000 pada April 1998.

Pada 31 Oktober 1997, setelah memohon bantuan pada IMF untuk memulihkan kepercayaan pasar dan menstabilkan rupiah, Indonesia mendapat paket bantuan $23 miliar. Jika pinjaman IMF tak cukup menstabilkan situasi ekonomi, Jepang dan Singapura berjanji menambah bantuan $3 miliar dan $5 miliar.

Pada 15 Januari, Indonesia dan IMF menyepakati kucuran dana yang diiringi paket kebijakan deregulasi (termasuk di antaranya pencabutan monopoli Bulog, privatisasi, penghapusan retribusi). Dua bulan kemudian, IMF mengumumkan menunda turunnya bantuan $3 miliar dengan alasan Indonesia belum memenuhi sejumlah persyaratan.

Antara April hingga minggu pertama Mei 1998, Presiden Soeharto dan IMF membuat konsesi yang mencakup rencana perpanjangan subsidi pangan dan bahan bakar, dan melikuidasi bank-bank bermasalah. Di antara bank yang ditutup adalah milik kroni Cendana. Pada 4 Mei 1998, IMF kembali menggelontorkan pinjaman ke Indonesia dengan mengeluarkan hampir $1 miliar. Sehari setelahnya, seiring kenaikan harga bahan bakar minyak dan sembako akibat rencana bailout IMF, kerusuhan meletus di Medan.

Sesudah Soeharto turun, pada 25 Juni 1998 IMF merevisi kebijakan bailout yang mencakup subsidi bahan bakar dan makanan untuk orang miskin. Setahun kemudian, kebijakan ini berbalik arah. Merespons kekerasan TNI pasca-referendum di Timor Leste, Presiden AS Bill Clinton memotong bantuan militer untuk Indonesia dan mendesak agar IMF menunda kucuran dana untuk Indonesia. Langkah ini diambil Clinton setelah mendapat desakan Kongres yang telah menentang kerjasama militer AS dan Indonesia dalam bentuk pelatihan maupun finansial dengan alasan rekam jejak pelanggaran HAM di Indonesia.

Hubungan IMF dan Indonesia pada era Gus Dur memburuk. IMF menunda pencairan dana akibat belum tuntasnya revisi sejumlah UU tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001. Pada 23 Juli 2001, Gus Dur dilengserkan dan Megawati Sukarnoputri dilantik sebagai presiden. Sebulan setelahnya, Megawati mencapai kesepakatan dengan IMF untuk memulai kembali pinjaman $5 miliar yang sebelumnya disetop pada Desember.

infografik hubungan indonesia-imf krisis ekonomi asia

Satu Resep untuk Semua

IMF—lembaga dengan pemangku kepentingan terbesar negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang—telah berperan besar meningkatkan utang luar negeri dan domestik Indonesia dan banyak negara lain. Kucuran utang untuk negara-negara yang nyaris bangkrut selalu diiringi oleh resep-resep Structural Adjustment Program (SAP) IMF: pencabutan subsidi, privatisasi, perdagangan bebas, dan pembatasan intervensi negara dalam ranah ekonomi.

AS merupakan negara penyumbang terbesar sehingga berhak atas persentase suara terbesar. Ada anggapan—termasuk dari negara-negara Eropa anggota IMF—bahwa AS memanfaatkan IMF sebagai instrumen politik luar negeri guna mendesak kepentingan-kepentingan strategis. Ia bertolak belakang dari tujuan IMF yang lahir untuk merespons ambruknya ekonomi pasca-Perang Dunia II.

Pada 2016, 72 tahun setelah didirikan oleh delegasi 44 negara di Bretton Woods, IMF merilis laporan mengenai kegagalan neoliberalisme, yang menyatakan kebijakan-kebijakan ekonomi IMF lebih sering berakhir dengan meningkatnya ketimpangan sosial serta mandeknya pertumbuhan ekonomi. Berjudul “Neoliberalism: Oversold?”, laporan tersebut ditulis oleh wakil direktur dan penasihat IMF Prakash Loungani dan ekonom Davide Furceri.

“Neoliberalism: Oversold?” bukan laporan internal pertama yang mengaku kegagalan pendekatan lembaga tersebut dalam mengatasi krisis ekonomi, baik dari segi cakupan maupun efektivitasnya.

Ann Pettifor, direktur Policy Research in Macroeconomics (PRIME) yang berbasis di London, menyebutkan bahwa para pejabat IMF mengakui kesalahan mereka setelah mendesak Indonesia menutup 16 bank, yang menyebabkan utang domestik Indonesia membumbung sampai angka $80 miliar saat itu. Kebijakan itu, menurut Pettifor, diambil “hanya dalam waktu dua minggu setelah mereka menginjakkan kaki di Jakarta.”

Kenyataannya, likuidasi bank memang memicu penarikan dana besar-besaran (rush) oleh nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor menurun. Kebijakan austerity (pemangkasan subsidi) yang didesakkan IMF terhadap Indonesia dan negara-negara yang terkena krisis juga rentan membawa dampak ketidakstabilan politik, yang mendorong kapital asing angkat kaki.

Masalahnya, IMF menerapkan resep serupa di tiap negara.

Jauh sebelum intervensi IMF di Indonesia, SAP terbukti gagal mengatasi krisis ekonomi di Tanzania. Pada 1985, IMF datang ke negeri yang nyaris bangkrut itu, mendesak pemerintah memangkas subsidi, menjual perusahaan-perusahaan negara, memprivatisasi layanan kesehatan dan pendidikan publik. Pada 2000, persentase penderita AIDS naik hingga 8 persen dan angka melek huruf 50 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, setelah pemberlakuan SAP, pendapatan per kapita merosot dari $309 ke $210.

Pada 2004, sebuah laporan IMF mengakui kesalahan mendukung kebijakan pemerintahan Carlos Menem untuk terus mempertahankan nilai tukar Peso di Argentina terhadap dolar selama 1990-an. IMF bahkan berjanji menambah $22 miliar paling lambat sebelum akhir tahun 2000. Tindakan ini malah mengakibatkan krisis mata uang Peso di Argentina dan memicu krisis ekonomi yang lebih dalam. Pada awal 2001, menyusul krisis politik, Presiden Fernando de la Rua mundur dan Argentina sempat berganti tiga presiden selama dua bulan terakhir (Desember 2000-Januari 2001). Desakan IMF agar Argentina menaikkan pajak pada 2002 makin memperburuk krisis.

Pada Juni 2013, Direktur IMF Christine Lagarde merilis laporan yang menyatakan kegagalan lembaganya dalam pemberlakukan kebijakan austerity di Yunani. "Kepercayaan pasar tidak pulih, sistem perbankan kehilangan 30% simpanan dan dampak resesi lebih dalam lagi dengan angka pengangguran yang meroket."

Baca juga artikel terkait IMF atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti