Menuju konten utama

"Display Lukisan Galam Zulkifli Tidak Utuh"

Lukisan berjudul The Indonesian Idea karya seniman Galam Zulkifli beberapa waktu lalu menjadi perbincangan khalayak karena ada wajah Aidit di antara ratusan potongan wajah tokoh besar Indonesia. Lukisan akrilik berukuran 400x600 cm itu dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta tanggal 9 Agustus 2016, dan diturunkan tiga hari kemudian.

Pitra Hutomo, Staf Kajian Seni Rupa Indonesian Visual Art Archive– Arsip Seni Visual Indonesia (IVAA).tirto/aya

tirto.id - Lukisan berjudul The Indonesian Idea karya seniman Galam Zulkifli beberapa waktu lalu menjadi perbincangan khalayak karena ada wajah Aidit di antara ratusan potongan wajah tokoh besar Indonesia. Aidit yang bernama lengkap Dipa Nusantara Aidit ini dikenal sebagai Ketua Partai Komunis (PKI). Kemunculannya dalam lukisan itu tentu saja menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, utamanya netizen.

Lukisan akrilik berukuran 400x600 cm itu dipajang di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta tanggal 9 Agustus 2016 bersamaan dengan peresmian pengoperasian Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Akan tetapi, lukisan tersebut diturunkan pada Jumat (12/8/2016).

Pihak PT Angkasa Pura II menjelaskan lukisan tersebut diturunkan karena menimbulkan berbagai macam pengertian, meskipun Galam Zulkifli sudah memberikan penjelasan mengenai konsep lukisannya.

Galam dalam pernyataan tertulis mengatakan Indonesia bukanlah sebuah antinomi yang memperlihatkan wajah yang tunggal. Ia bukanlah sebuah pembayangan bersama yang ditopang dari ide yang beragam. [....] sebagai sebuah panggung, Indonesia adalah persembahan panjang tentang pencarian kebenaran lewat jalan perdebatan. Ide-ide dipertemukan mencari formula, tidak saja bentuk negara, melainkan juga bagaimana mempertemukan keragaman ide dari tuturan bahasa yang berbeda-beda se-Nusantara menjadi sukma “persatuan nasional.” [...] The Indonesian Idea adalah ikhtiar atas ide-ide dasar peradaban memaklumatkan keindonesiaan yang di satu sisi utuh, satu, berkemanusiaan, demokratik, dan dialogis, namun di sisi yang lain kebesaran yang ideal itu adalah ilusi. Lewat “jalan cahaya” sebagai metode visual, simulasi dari ilusi itu menyadarkan kita betapa anugerah keragaman ide ini rapuh, goyah. Salah satu cara merawatnya adalah menampilkannya secara adil, berani, dan nondiskriminatif.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan penjelasan bagaimana karya itu dilibatkan ke masyarakat luas sebagai bentuk interaksi dari konsep karya ke masyarakat, tirto.id menghubungi Pitra Hutomo, Staf Kajian Indonesian Visual Art Archive – Arsip Seni Visual Indonesia (IVAA), yang sehari-harinya melakukan pencatatan tentang kejadian serupa.

Berikut hasil wawancara dengan Pitra, yang membongkar ketidaklengkapan display karya berjudul The Indonesian Idea tersebut. Seharusnya, lukisan itu ditampilkan bersamaan dengan sebuah video yang berfungsi untuk mempertegas komunikasi antara konsep dari seniman dengan masyarakat.

Benarkah ada Aidit di dalam lukisan tersebut?

Aidit memang salah satu tokoh yang digambarkan, tidak hanya dia, ada juga Musso, Kartosuwiryo, dan tokoh-tokoh yang meski belum diakui pemerintah sebagai para pendiri Indonesia, akan selalu dihadirkan kembali oleh orang-orang yang kritis.

Seniman mengolah gagasan dan menghadirkan sesuatu yang subversif itu biasa. Namun pemerintah Indonesia hari ini mestinya sudah maju. Masih membatasi ekspresi itu nggak jaman lagi. Karenanya saya pikir soal begini jadi ramai justru karena negara membiarkan rakyat ribut sendiri.

Benarkah ada orang-orang memanfaatkan kondisi seperti itu?

Kami (IVAA) tidak mau mendorong orang berpikir konspiratif, misalnya dengan berpraduga bahwa lukisan yang diturunkan itu bagian dari skema besar negara untuk menekan pemikiran kiri. Karena yang saya amati, aksi reaksi ini berlangsung akibat kecemasan rakyat sendiri.

Peranan wartawan dan media massa tak kalah menentukan. Sampai hari ini saya belum menemukan rujukan bagaimana si wartawan mendapatkan info, bagaimana dia bisa memastikan pernyataan dari pihak Angkasa Pura atau pihak yang mendisplay karya itu. Pemberitaannya bombastis dan menghambat penonton lukisan untuk paham gagasan karya.

Lukisan Galam memicu kontroversi kan, karena ada yang nge-twit, kenapa kok wartawan serta merta menganggapnya bahan berita bertajuk Aidit? Apa supaya bombastis karena menganggap semua pembacanya antipati dengan Aidit dan PKI? Pemberitaan yang tidak berimbang ini justru makin menjauhkan rakyat dari kesenian dan merasa sah membatasi wilayah ekspresi orang lain.

Bagaimana Galam bisa terlibat dalam pameran ini?

Itu memang rencana lama Angkasa Pura, jadi itu salah satu bagian dari kerja-kerja Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang mencari ruang-ruang untuk mempertemukan kesenian dengan publik di ruang pameran konvensional, baik yang dioperasikan pemerintah maupun swasta. Bekraf, Angkasa Pura II, dan panitia pameran menghadirkan karya-karya yang selaras dengan momen HUT 71 RI, sehingga pameran diterjemahkan menjadi gagasan yang mengakomodir karya-karya tentang sejarah Indonesia.

Jadi kurator pun menawarkan pandangan terbuka ya?

Sebetulnya iya, dalam praktik kesenian itu bisa selalu ada yang namanya tahap pengasingan, karena kurator sudah jadi bidang kerja yang sedemikian kompleks di dalam seni rupa, terkait hubungannya dengan siapa yang mengadakan pameran, terkait siapa merekrut siapa sebagai penyelenggara, dan penyelenggara mengatasi semua kegiatan operasional sampai ke komunikasi dengan seniman. Dari rantai ini saja kita tidak bisa membayangkan akan ada penyensoran yang sistematis. Itu yang mencemaskan. Soal sesungguhnya bukan di lukisan, tapi di cemarnya ingatan kolektif kita semua terhadap Aidit dan PKI. Kejadian penurunan lukisan sangat mencerminkan ketakutan yang ditanamkan pada kita selama puluhan tahun. Herannya kok media massa malah seperti memanfaatkan keterbatasan rakyat mencerna interpretasi seniman terhadap sejarah.

Efeknya?

Kita akan selamanya menghindari persoalan, bukan menyelesaikannya.

Kenapa ruang publik jadi penting untuk karya seni?

Keberadaan seni di ruang publik dalam konteks Indonesia bisa dikatakan selalu berupa uji coba, karena definisi ruang publik yang simpang siur. Kalau kita mau taat pada pemahaman ruang publik, maka di Indonesia nyaris tidak ditemukan ruang yang bebas dari kepentingan negara dan pasar. Seniman termasuk pihak yang konsisten menjelajahi berbagai kemungkinan mencari otonomi rakyat dalam keterbatasan pengadaan ruang di Indonesia. Namun pada dasarnya, setiap karya selalu membutuhkan apresiasi, termasuk lukisan. Apakah dengan mengadakan pameran atau pertunjukan seni dalam bangunan komersial seperti Terminal 3 Soekarno Hatta, serta merta tempat itu menjadi ruang publik? Sayangnya tidak demikian. Munculnya tanggapan dari salah satu pengguna layanan bandara yang melihat ada wajah Aidit dalam lukisan Galam, justru menunjukkan bagaimana lukisan potret sekalipun butuh mediator, butuh meta-informasi agar bisa mengapresiasinya sebagai ekspresi seni.

Sehingga kurang tepat kiranya menyebutkan bahwa ruang publik itu penting untuk karya seni. Lebih tepat jika dikatakan bahwa karya seni ada untuk diapresiasi. Nah, siapakah yang mestinya berperan melakukan mediasi? Kurator, penyelenggara pameran, pemilik ruang, media massa?

Peran seniman dalam konteks pameran lukisan di Terminal 3 Soekarno Hatta sayangnya harus berhenti ketika dia menyerahkan karyanya untuk dipasang. Pun demikian, bagi Galam, dia masih menyertakan keterangan tambahan berupa video profil tiap orang yang wajahnya hadir di lukisan.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA KHUSUS atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti