tirto.id - Dewan Jenderal pernah menjadi rumor panas jelang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Isu Dewan Jenderal ini konon ditiupkan oleh kubu Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap kalangan petinggi militer Angkatan Darat (AD).
Lantas, jika benar, apa tujuan PKI mengembuskan isu Dewan Jenderal?
Apa Itu Dewan Jenderal?
Terkait apa itu Dewan Jenderal, simak ringkasan pernyataan Bagian Penerangan G30S yang diumumkan lewat Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1 Oktober 1965 sebagaimana dituliskan kembali oleh Maulwi Saelan dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008).
Menurut para pelaku G30S 1965, Dewan Jenderal adalah gerakan subsersiv yang disponsori oleh CIA (badan intelijen Amerika Serikat). Dewan Jenderal sangat aktif, terutama saat Presiden Sukarno menderita sakit serius pada pekan pertama Agustus 1965. Harapan mereka, penyakit Presiden Sukarno tidak sembuh, bahkan meninggal dunia.
Untuk mencapai tujuannya, Dewan Jenderal merencanakan pameran kekuatan pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober (HUT TNI) 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Dengan terkonsentrasinya kekuatan militer yang besar di Jakarta, Dewan Jenderal bahkan telah merencanakan coup kontra-revolusioner (kudeta).
Maka itulah—masih dikutip dari sumber yang sama—Letnan Kolonel Untung, yang merupakan Komandan G30S, berdalih bahwa Gerakan 30 September 1965 semata-mata ditujukan kepada Dewan Jenderal yang telah mencemarkan nama Angkatan Darat, termasuk bertindak jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno.
Letkol Untung, yang juga merupakan Komandan Batalyon Cakrabirawa, secara pribadi menganggap G30S sebagai suatu keharusan baginya selaku anggota Cakrabirawa yang berkewajiban melindungi keselamatan presiden dan negara.
Latar Belakang Isu Dewan Jenderal di G30S
Sebelum Gerakan 30 September 1965 atau Gerakan 1 Oktober (Gestok) terjadi, sebenarnya ada gesekan kepentingan antara PKI dan kalangan perwira tinggi AD yang sama-sama dekat dengan lingkaran kekuasaan Presiden Sukarno.
Beberapa tahun sebelum G30S 1965 terjadi, ada sejumlah petinggi militer, khususnya Angkatan Darat, yang berbeda pandangan dengan Presiden Sukarno. Beberapa gagasan Bung Karno untuk menyikapi perkembangan peristiwa yang terjadi, termasuk konfrontasi Indonesia-Malaysia, tidak disepakati oleh para petinggi AD tersebut.
Sejumlah perwira tinggi AD tidak setuju dengan kampanye Ganyang Malaysia. Dalam perhitungan militer, Indonesia akan kesulitan memenangkan konflik karena saat itu Malaysia didukung oleh kekuatan militer Inggris. Di sisi lain, PKI sangat mendukung kampanye tersebut.
PKI juga mengusulkan agar dibentuk Angkatan Kelima, yakni unsur pertahanan keamanan di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Angkatan Kelima rencananya terdiri dari para buruh dan petani yang dipersenjatai untuk ikut mempertahankan tanah air. Gagasan PKI ini ditentang oleh para petinggi AD.
Dari sinilah "perselisihan" antara AD dan PKI bermula. Pada akhirnya berbagai ketidakpastian pun muncul, termasuk isu Dewan Jenderal, Dewan Revolusi, kondisi kesehatan Presiden Sukarno yang dikabarkan sakit parah, bahkan isu rencana perebutan kekuasaan.
Sejumlah desas-desus tersebut, termasuk isu Dewan Jenderal di tubuh Angkatan Darat, terus menyebar jelang Gerakan 30 September 1965. Dengan dalih mencegah kudeta sekaligus menyelamatkan Presiden Sukarno, aksi G30S pun dilancarkan.
Tujuan Isu Dewan Jenderal
Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, & Petualang (2010) merangkum sejumlah kesaksian terkait isu Dewan Jenderal yang menguar jelang peristiwa G30S 1965.
Pada 1 Maret 1966, dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) terhadap Letkol Untung, requisitoir oditur (penuntut umum dalam pengadilan militer), Letkol CKH Iskandar SH, menangkis semua pernyataan terdakwa maupun saksi mengenai keberadaan Dewan Jenderal yang disebut-sebut merencanakan kudeta.
Menurut Letkol CKH Iskandar SH, isu Dewan Jenderal sengaja disebarkan oleh para anggota PKI dan ormas-ormasnya. Semuanya bersumber dari D.N. Aidit, Ketua CC PKI.
Sampai sidang tersebut digelar, masih berdasarkan pernyataan Letkol CKH Iskandar SH, belum pernah ada pejabat, perwira, warga sipil, dan oknum-oknum yang keterangannya bisa membuktikan dokumen atau bukti mengenai adanya Dewan Jenderal.
Ditegaskan oleh Letkol CKH Iskandar S.H. bahwa Dewan Jenderal, yang dikatakan ada dalam lingkungan Angkatan Darat dan akan mengadakan coup (kudeta) pada 5 Oktober 1965, tidak pernah ada.
Dikutip dari buku Untung, Cakrabirawa, dan G30S (2011) yang ditulis oleh Petrik Matanasi, tidak ada sebuah kelompok pun yang menyatakan diri sebagai Dewan Jenderal menjelang peristiwa G30S 1965.
Memang ada beberapa jenderal AD yang berbeda pandangan dengan Presiden Sukarno. Namun, mereka pun tidak menyatakan diri sebagai Dewan Jenderal. Jika pun ada yang disebut Dewan Jenderal, tentunya bukan sebagai institusi resmi.
Berdasarkan kesaksian Letkol CKH Iskandar S.H. tersebut, tujuan isu Dewan Jenderal diyakini adalah dalih bagi PKI untuk melakukan pemberontakan 30 September 1965. Dampak isu Dewan Jenderal di antaranya adalah terjadi peristiwa G30S.
Peristiwa berdarah tersebut menelan korban jiwa, termasuk beberapa perwira tinggi AD, yakni Letjen Ahmad Yani, Mayjen Mas Tirtodarmo (M.T.) Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen Donald Isaac Panjaitan, Mayjen R. Suprapto, serta Bripka Karel Sadsuitubun yang merupakan Pengawal Wakil Perdana Menteri Dr. I. Leimena.
Ajudan Jenderal Abdul Haris (A.H.) Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Tendean juga menjadi korban. Begitu pula putri sang jenderal, Ade Irma Suryani.
Dampak isu Dewan Jenderal tidak hanya sampai di situ. Akibat dari isu tersebut, perpolitikan Indonesia menjadi kalut. Sebagai pihak yang dianggap aktor di balik G30S, PKI diberantas habis-habisan. Tidak hanya para anggota, melainkan semua hal atau orang yang berkaitan dengan PKI.
Klarifikasi Letjen Ahmad Yani tentang Dewan Jenderal
Mengutip buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan: Volume 1 (2012) suntingan Restu Gunawan dan kawan-kawan, berita tentang keberadaan Dewan Jenderal dan kabinetnya sempat diselidiki oleh Presiden Sukarno.
Presiden Sukarno kemudian memanggil Letnan Jenderal Ahmad Yani yang saat itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (KSAD) untuk menanyakan kabar simpang-siur isu Dewan Jenderal.
Letjen Ahmad Yani membenarkan adanya Dewan Jenderal, tetapi bukan sebagai gerakan kudeta sebagaimana yang dituduhkan. Dewan Jenderal adalah nama lain untuk menyebut Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tertinggi (Wanjakti) yang tugasnya menangani kenaikan pangkat di kalangan militer AD.
Sebelumnya juga ada istilah Dewan Kolonel yang tugasnya menangani kenaikan pangkat dari letnan kolonel menjadi kolonel. Sementara itu, Dewan Jenderal (Wanjakti) mengurus kenaikan pangkat dari kolonel menjadi brigadir jenderal. Istilah Dewan Jenderal lebih sering disebut ketimbang Wanjakti karena lebih mudah diingat.
Isu Susunan Anggota Dewan Jenderal
Isu Dewan Jenderal terus memanas. Belakangan, muncul kabar mengenai susunan kabinet Dewan Jenderal yang berisi para petinggi Angkatan Darat dan sejumlah politikus. Kabinet Dewan Jenderal ini disebut akan menggantikan Kabinet Dwikora yang dipimpin Presiden Sukarno setelah melakukan kudeta.
Berikut ini isu yang beredar mengenai susunan Kabinet Dewan Jenderal:
- Perdana Menteri: Jendral A.H. Nasution
- Wakil PM/ Menteri Pertahanan: Letjen Ahmad Yani
- Menteri Dalam Negeri: R.M. Hadisubeno Sosrowerdojo
- Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdulgani
- Menteri Hubungan Perdagangan: Brigjen Ahmad Sukendro
- Menteri/Jaksa Agung: Mayjen S. Parman
- Menteri Agama: K.H. Rusli
- Menteri/Panglima Angkatan Darat: Mayjen Ibrahim Adjie
- Menteri/Panglima Angkatan Udara: Marsekal Madya Rusmin Nurjadin
- Menteri /Panglima Angkatan Kepolisian: Mayjen Pol. Jasin
Penulis: Erika Erilia
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin