tirto.id - Brigadir Jenderal (Brigjen) Sutoyo Siswomiharjo menjadi salah satu korban dalam sejarah Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Perwira tinggi militer Angkatan Darat (AD) tersebut kemudian dianugerahi kenaikan pangkat anumerta mayor jenderal (mayjen) serta ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.
Ada beberapa korban jiwa lainnya dalam tragedi yang juga kerap disebut sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 di Jakarta itu. Di antaranya adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen Mas Tirtodarmo (M.T.) Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen Donald Isaac Panjaitan, dan Mayjen R. Suprapto.
Ajudan Jenderal Abdul Haris (A.H.) Nasution, Kapten Pierre Tendean, dan sang putri yang bernama sang Ade Irma Suryani, turut menjadi korban. Pengawal Wakil Perdana Menteri Dr. I. Leimena, Bripka Karel Sadsuitubun, juga masuk dalam daftar nama Pahlawan Revolusi.
Pembunuhan terhadap perwira militer TNI-AD tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di Yogyakarta, yang menewaskan Kolonel Katamso dan Letkol Sugijono. Dua prajurit militer itu gugur pada 1 Oktober 1965.
Biografi Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo: Karier Pendidikan dan Militer
Sutoyo Siswomiharjo lahir pada 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Setelah lulus dari Algeemene Middelbare School (AMS)—setara sekolah menengah—di Semarang pada 1941, Sutoyo ke Batavia (Jakarta) untuk belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia sejak 1942, Sutoyo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Purworejo, Jawa Tengah. Namun, pada 1944, ia mengundurkan diri.
Setahun kemudian, setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Sutoyo bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) alias cikal-bakal TNI. Ia menjadi anggota Kepolisian Tentara (Corps Polisi Militer/CPM).
Dikutip dari Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S (2015) karya Herman Dwi Sucipto, di Kepolisian Tentara, Sutoyo sempat menjadi ajudan Gatot Subroto yang kala itu masih berpangkat kolonel dan kelak menjabat Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Sutoyo juga pernah menjabat sebagai Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo dengan pangkat kapten. Pada 1948-1949, Sutoyo menjadi Kepala Staf Corps Polisi Militer Djawa (CPMD) Yogyakarta.
Usai pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda, Sutoyo yang kala itu berpangkat mayor dipercaya menjabat sebagai Komandan Batalyon (Danyon) I CPM pada 1950. Tahun berikutnya, ia menjadi Komandan Batalyon (Danyon) V CPM.
Tahun 1954, Sutoyo dipercaya sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer (MBPM). Dua tahun kemudian, Sutoyo dengan pangkat letkol diangkat menjadi Atase Militer (ATMIL) di London, Inggris.
Sutoyo kembali ke tanah air pada 1960 untuk mengikuti pendidikan Kursus "C" Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Karier militer Sutoyo terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Pada 1961, pangkatnya naik menjadi kolonel dan diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (IRKEHAD). Di tahun 1964, pangkat Sutoyo pun naik menjadi brigadir jenderal (brigjen).
Berikut ini biografi Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo:
- Nama: Sutoyo Siswomiharjo
- Pangkat terakhir: Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
- Tanggal lahir: 28 Agustus 1922
- Tempat lahir: Kebumen, Jawa Tengah
- Anak:
- Agus Widjojo
- Pendidikan:
- Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar
- Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah menengah
- Kursus "C" Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad)
- Karier militer:
- Pegawai pemerintahan di Purworejo, Jawa Tengah
- Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Kepolisian Tentara (Corps Polisi Militer/CPM)
- Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo
- Kepala Staf Corps Polisi Militer Djawa (CPMD) Yogyakarta
- Komandan Batalyon (Danyon) I CPM- Danyon V CPM
- Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer (MBPM)
- Atase Militer (ATMIL) di London, Inggris
- Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (IRKEHAD)
Gugurnya Brigjen Sutoyo dalam Peristiwa G30S 1965
Dinukil dari buku Ensiklopedia Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa (2011) suntingan Riza Dwi Aningtyas, gerakan PKI sebenarnya sudah mulai terlihat sejak awal 1960-an, terlebih Presiden Sukarno sempat menggaungkan konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom).
Sementara itu, banyak konflik politik yang terjadi di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965). Saat itu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiri dari empat unsur, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian.
PKI sebagai salah satu partai besar kala itu mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan petani yang dipersenjatai. Hal ini diusulkan karena PKI menganggap Angkatan Kelima dibutuhkan untuk mengatasi berbagai konflik yang terjadi di tanah air.
Di sisi lain, Angkatan Kelima dikhawatirkan akan dijadikan alat oleh PKI untuk merebut kekuasaan. Usulan PKI ini langsung ditolak oleh Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat lainnya.
Selepas tengah malam 30 September 1965, atau tepatnya 1 Oktober dini hari, sejumlah orang yang mengaku sebagai anggota Pasukan Pengawal Presiden atau Cakrabirawa, mendatangi kediaman Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo—saat itu masih berpangkat Brigjen—di Menteng, Jakarta Pusat.
Sejumlah prajurit Cakrabirawa tersebut memaksa Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo untuk ikut. Dalihnya, ada perintah dari Presiden Sukarno untuk segera menghadap.
Sutoyo enggan melawan karena takut situasi semakin runyam. Ia tidak ingin keluarganya menjadi korban. Terlebih, ia punya dua anak yang masih remaja, Agus Widjojo dan Nani Sutoyo.
Maka, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo menuruti pasukan Cakrabirawa itu. Namun, nyatanya, ia dibawa bukan untuk menghadap Presiden Sukarno, melainkan diculik dan ditempatkan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Keluarga Sutoyo pun kebingungan karena tidak mendapat kabar apapun setelahnya.
“Kami tersiksa karena tidak pernah tahu nasib dan kondisi ayah selama diculik,” kenang Nani Nurrachman, putri sulung Brigjen Sutoyo, dikutip dari buku karyanya bertajuk Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 (2013).
Jenazah Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo baru ditemukan pada 3 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Bersama perwira tinggi TNI-AD lainnya, Pahlawan Sutoyo dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan hari lahir TNI.
Pemerintah RI kemudian menyematkan gelar Pahlawan Revolusi dan memberikan kenaikan pangkat anumerta kepada para korban G30S.
Pahlawan Sutoyo mendapatkan kenaikan pangkat mayor jenderal (anumerta). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, bersama para perwira lainnya, juga memperoleh gelar Pahlawan Nasional.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin