tirto.id - Jenderal A.H. Nasution adalah satu-satunya perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang selamat dari tragedi Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S).
Namun jenderal yang selamat dari G30S PKI itu bernasib nahas, karena putri kecilnya Ade Irma Suryani tewas tertembak dalam peristiwa itu.
Sebutan G30 S PKI hingga kini masih masih dipakai oleh sebagian pihak, termasuk di sejumlah publikasi resmi pemerintah RI.
Asvi Warman Adam melalui artikel "Beberapa Catatan Tentang Historiografi Gerakan 30 September 1965" dalam Jurnal Archipel (2018) menuliskan bahwa istilah penyebutan G30S/PKI muncul sejak tahun 1966.
Istilah ini dibarengi penafsiran dari Orde Baru jika Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang upaya kudeta di peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.
Lalu istilah ini dikumandangkan sejak jaman Orde Baru sebagai narasi tunggal tentang sejarah G30S 1965.
Pada malam petaka itu, Ade Irma Nasution yang berada di rumah menjadi sasaran tembakan pasukan G30S, sementara Jenderal Nasution lolos dari penculikan.
Peluru menembus punggung Ade Irma Nasution dan ayahnya yang jadi target utama penculikan, Jenderal A.H. Nasution berhasil melarikan diri. Lalu bagaimana AH Nasution bisa selamat dari peristiwa tersebut?
Bagaimana AH Nasution Bisa Selamat?
Istri AH Nasution, Johanna Sunarti merupakan salah satu orang yang berperan saat penyelamatan Jenderal AH Nasution dari pasukan Cakrabirawa, sebutan buat sekelompok orang dalam Gerakan 30 September.
Dalam artikel John Hughes berjudul "The End of Sukarno: A Coup That Misfired: A Purge That Ran Wild" (edisi ke-3/2002) tertulis, malam itu Johanna mendengar pintu rumahnya dibuka paksa dan melihat pasukan Cakrabirawa siap menembak.
Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Johanna kemudian mendorong Jenderal Nasution agar keluar pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah.
Namun ia terlihat oleh seorang pasukan G30S yang langsung menembaknya tetapi meleset. Nasution terus berlari ke arah Kedutaan Irak yang berada di samping rumahnya dengan memanjat dinding.
Ia terjatuh di halaman kedutaan Irak yang membuatnya mengalami patah pergelangan kaki dan ia pun memutuskan untuk terus bersembunyi agar tidak dikejar sampai pasukannya datang membantu.
Selain istrinya, ajudan Nasution, seorang letnan muda bernama Pierre Tendean juga berperan dalam melindungi Nasution.
Tendean tertangkap Pasukan Cakrabirawa saat ia berusaha melarikan diri. Tendean berada di bawah todongan senjata.
Ia mengaku sebagai AH Nasution yang membuat pasukan itu pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka.
Pierre Tendean dibawa ke Lubang Buaya bersama para jenderal lainnya sebelum dibunuh.
Petaka yang terjadi pada dini hari itu masih melekat di ingatan anak perempuan pertama Nasution yang juga kakak Ade Irma Suryani, Hendrianti Sahara.
“Saat kejadian, saya lari dari terjangan peluru,” kenangnya seperti dikutip dari tulisan Choirul Huda (7 Oktober 2015) dengan judul “50 Tahun Gugurnya Ade Irma Suryani dalam Kenangan Kakak Tercinta”.
Istri AH Nasution, Hendrianti, dan Ade bersembunyi dari terjangan peluru. Saat peristiwa terjadi, ayahnya, AH Nasution sudah melompat ke kediaman tetangga Kedutaan Besar Irak.
“Kaki saya mendapat luka. Tapi, yang lebih sedih ketika saya dan ibu melihat Ade bersimbah darah. Waktu itu saya masih berusia 13 tahun dan Ade baru 5 tahun,” tambah Hendrianti.
Meskipun bersimbah darah, Ade Irma Suryani ternyata masih bernafas, bahkan, “ … masih bisa berbicara sama saya. 'Kakak jangan menangis.' Dan masih menanyakan, 'Kenapa ayah ditembak, Mama?' Itu masih saya lihat semua, suara dia itu. Dan saya melihat semua darah-darah dia itu. Saya masih ingat semua itu," kenang sang kakak.
Ade Irma meninggal 5 hari kemudian setelah dibawa ke rumah sakit
Profil Jenderal AH Nasution
Jenderal Abdul Haris Nasution lahir di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 3 Desember 1918. Ia lahir dari keluarga Muslim Batak, di desa Hutapungkut. Ia belajar mengajar dan mendaftar di akademi militer di Bandung.
Ia bertugas di militer selama Revolusi Nasional Indonesia dan ia tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin.
Setelah lolos dari tragedi 1965, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Nasution meninggal pada 5 September 2000 di Jakarta, setelah menderita stroke dan koma. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Nasution diangkat menjadi seorang pahlawan nasional Indonesia. Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.
Nasution menikah dengan istrinya Johanna Sunarti pada 30 Mei 1947 di Ciwidey, Bandung. Ia memiliki dua anak perempuan, yakni Hendrianti Saharah Nasution dan Ade Irma Suryani Nasution. Ade Irma tewas dalam peristiwa G30S. Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam usia 87.
Kendati masih bocah, dan belum menyumbangkan sesuatu kepada sejarah Indonesia, namun nama Ade Irma tak hilang begitu saja.
Pemerintah membangun monumen di tempat peristirahatan terakhirnya, di kawasan Kebayoran Baru, persis di samping Kantor Wali Kota Jakarta Selatan.
Di depan nisan Ade Irma Suryani, terukir kata-kata mengharukan dari sang ayah, Jenderal A.H. Nasution. "Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu."
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Dhita Koesno