tirto.id - Pada masa pendudukan Jepang, di Sumatra Utara terdapat tentara sukarela yang tergabung dalam Gyugun. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, para pemuda ini masuk ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Kala itu, panglima tertinggi di Sumatra dipegang oleh Suhardjo Hardjowardjojo. Sebagaimana Jawa, Sumatra juga merupakan komandemen tersendiri. Dan seperti lazimnya situasi revolusi di Indonesia, di Sumatra juga terdapat sejumlah laskar yang sukar diatur dan kerap saling bertikai.
Dalam buku Republik Indonesia: Sumatra Utara (1952) diterangkan bahwa pasukan TKR di Sumatra Utara dibagi dalam tiga resimen. Resimen I pimpinan Mayor Djamin Ginting bermarkas di Brastagi, Resimen II pimpinan Kasim Nasution bermarkas di Kisaran, dan Resimen III pimpinan Mayor Ricardo Siahaan bermarkas di Pematang Siantar.
Setelah 1946, seluruh pasukan di Sumatra Utara yang meliputi Aceh dibagi ke dalam beberapa divisi. Divisi V di Aceh disebut juga sebagai Divisi Gajah I. Divisi IV Sumatra Timur disebut Divisi Gajah II, dan Divisi VI di Tapanuli disebut Divisi Banteng. Divisi Gajah I dan Divisi Gajah II kemudian dilebur menjadi Divisi X Sumatra Utara. Sementara Divisi Banteng I disatukan dengan Divisi Banteng II di Sumatra Barat. Era 1950-an, nama-nama divisi itu menjadi nama dewan daerah.
Kolonel Hidajat menggantikan Suhardjo Hardjowardjojo sebagai Panglima Komando Sumatra. Sementara di waktu yang sama Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Komando Jawa.
Maludin Simbolon & Pembentukan Kodam
Setelah 1949, ketika Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), di daerah dibentuk beberapa Komando Tentara dan Teritorium (TT).
Sumatra Utara adalah TT I dengan nama Bukit Barisan. Awal tahun 1950, Panglima TT I/Bukit Barisan dijabat Kolonel Alex Evert Kawilarang. Belum genap setahun, dia digantikan Kolonel Maludin Simbolon karena Kawilarang ditugaskan ke Indonesia Timur.
“Ketika Kolonel Maludin Simbolon diangkat menjadi panglima, negara masih berada dalam keadaan darurat perang. Oleh karena itu, selain panglima, Kolonel Maludin Simbolon adalah pula Gubernur Militer,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa (1996:128).
TT I/Bukit Barisan membawahi 4 resimen infanteri, termasuk yang bermarkas di Aceh. Maludin Simbolon cukup lama memimpin TT I/Bukit Barisan. Ketika muncul Dewan Gajah dan Dewan Banteng di wilayah komando teritorialnya, dia pun terseret dalam arus pergolakan antara pusat dengan daerah. Maludin Simbolon mengundurkan diri. Sekitar tahun 1956, hubungan antarperwira yang pernah menjadi bawahannya tidak akur.
Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:62) menyebut Maludin Simbolon hendak mengundurkan diri pada pertengahan tahun 1956, dan ia butuh waktu untuk membicarakannya dengan satuan-satuan di Bukit Barisan. Kepada Nasution, dia merekomendasikan Djamin Ginting sebagai penggantinya.
Tak lama setelah itu, dia pun pergi ke Padang dan bergabung dengan PRRI bersama Ahmad Husein. Dalam situasi seperti itu, Djamin Ginting memilih tetap bersama pemerintah pusat. Nasution kemudian memutuskan untuk menjadikan Djamin Ginting menjadi Panglima TT I/Bukit Barisan.
Jelang berkonflik dengan PRRI, Nasution memecah TT I/Bukit Barisan dengan menjadikan Aceh sebagai komando militer tersendiri, terpisah dari Bukit Barisan. Begitu pula untuk daerah Sumatra Barat dan Riau. Wilayah Sumatra Utara menjadi Komando Daerah Militer Sumatra Timur (KDMST), wilayah Sumatra Barat dan Riau menjadi satu KDM sendiri, dan di Aceh muncul Komando Daerah Militer Aceh (KDMA).
KDMA kemudian menjadi Kodam I/Iskandar Muda. Sementara KDM di Sumatra Barat dan Riau menjadi Kodam 17 Agustus, sesuai dengan nama operasi untuk menyikat perlawanan PRRI di Sumatra Barat dan sekitarnya. Nama tersebut mirip dengan nama kodam di Sulawesi Utara dan Tengah, yakni Kodam Merdeka yang juga diambil dari nama operasi militer saat menumpas Permesta.
Pada 1960, KDMST menjadi Kodam II/Bukit Barisan. Seperti pada masa-masa sebelumnya, pusat dari komando daerah militer ini selalu berada di Kota Medan.
Kiprah Para Pangdam
Sejak awal 1960-an, Djamin Ginting yang setia kepada pemerintah pusat, ditarik ke Jakarta dan menjadi salah satu deputi KSAD. Pengganti Djamin Ginting adalah Manaf Lubis. Pada era Konfrontasi Dwikora Ganyang Malaysia, kodam ini termasuk salahs atu yang sibuk pula. Begitu dalam operasi penumpasan anggota dan simpatisan PKI. Panglima Kodam Bukit Barisan ketika pecah G30S pada 1965 adalah Brigadir Jenderal Darjatmo.
Kala itu, sejumlah Kodam di Sumatra berada di bawah komando Panglima Komando Wilayah Pertahanan Letnan Jenderal Ahmad Yunus Mokoginta yang turut aktif dalam pembersihan komunis.
Panglima terakhir saat kodam ini bernama Kodam II/Bukit Barisan adalah Harsudiono Hartas yang pada awal kariernya sempat di kavaleri. Warsa 1985, Kodam II/Bukit Barisan, Kodam III/17 Agustus, dan Kodam I/Iskandar Muda digabung menjadi Kodam I/Bukit Barisan.
Perampingan tersebut terjadi saat Pangab dijabat oleh Benny Moerdani. Sejak era Benny hingga sekarang, para panglima kodam dijabat oleh perwira berpangkat mayor jenderal. Karier beberapa mantan Panglima Kodam I/Bukit Barisan pada masa Orde Baru cukup baik, di antaranya Sarwo Edhie Wibowo, Jasir Hadibroto, dan Edi Sudrajat.
Dua nama pertama terkenal di sekitar peristiwa G30S. Sarwo Edhie Wibowo sempat menjadi komandan RPKAD (sekarang Kopassus). Sementara Jasir Hadibroto terlibat dalam eksekusi DN Aidit. Yang paling moncer adalah Edi Sudrajat. Dia pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Panglima ABRI, dan Menteri Pertahanan.
Tahun 2002, wilayah teritorial Kodam I/Bukit Barisan berkurang dengan diaktifkannya kembali Kodam Iskandar Muda. Pada era Reformasi, mantan Panglima Kodam I/Bukit Barisan yang cukup populer adalah Edy Rahmayadi. Dia pernah menjadi Panglima Kostrad, Ketua PSSI, dan sekarang petahana Gubernur Sumatra Utara.
Editor: Irfan Teguh