tirto.id - Meski kerap dirundung operasi militer, namun Aceh sejak dulu sulit ditaklukkan. Aksi-aksi perlawanan yang terjadi pada zaman kolonial berlanjut setelah revolusi 1945. Daud Beureueh misalnya, sejak tahun 1953 sampai 1962 mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat lewat gerakan Darul Islam yang kemudian berafiliasi dengan gerakan serupa di Jawa Barat pimpinan Kartosoewirjo.
Pada masa revolusi, Aceh merupakan daerah komando Subkomandemen Sumatra Utara. Sebelum tahun 1947, di Aceh terdapat Divisi V yang dipimpin oleh Kolonel Syamaun Gaharu. Setelah 1950, Aceh menjadi bagian dari wilayah komando Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan. Pada masa itu di Aceh terdapat Resimen Infanteri ke-1 Angkatan Darat yang juga dipimpin oleh Syamaun Gaharu. Ketika DI/TII Daud Beureueh bergolak, pasukan dari luar Aceh didatangkan untuk membantu resimen ini.
Ketika diadakan reuni Dewan Gajah—bekas rumpun Divisi Gajah—di Medan pada Desember 1956, menurut mantan KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Kedua (1984:66), Syamaun Gaharu hadlr dan ikut serta dalam Ikrar 4 Desember. IKrar tersebut menuntut perubahan sistem pimpinan negara, termasuk di Angkatan Darat.
Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 22 Desember 1956, Panglima Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan, Kolonel Muludin Simbolon, seperti terdapat dalam Dua Windhu KODAM-I/Iskandar Muda (1972:181), menyatakan melepaskan diri dari pemerintah pusat di Jakarta. Sementara Syamaun Gaharu, meski ia ikut dalam Ikrar 4 Desember, namun memilih tidak larut dalam pergolakan daerah yang akhirnya berkembang menjadi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Ia seperti disebut dalam Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI (1979:396), kemudian “menyatakan bahwa Komando Resimen Infanteri Aceh melepaskan diri dari Komando Tentara dan Territorium I Bukit Barisan.”
Atas sikapnya tersebut, Aceh kemudian dijadikan Komando Utama yang langsung dibawah KSAD. Menurut Nasution, memisahkan Aceh dari Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan adalah kemauan rakyat Aceh. Nasution mengkaji dan mengirim tim perwira ke Kutaraja, Aceh, untuk menyampaikan rencana dijadikannya Aceh sebagai komando daerah militer tersendiri.
Selain karena komandan Bukit Barisan memilih larut dalam pergolakan, menjadikan Aceh sebagai komando daerah militer baru juga didorong oleh perbedaan agama dan etnik. Pimpinan tentara di daerah Sumatra Utara didominasi Batak Kristen seperti Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Djamin Ginting. Hal ini kadang menjadi masalah di lingkungan kerja ketentaraan tersebut. Karena itu langkah Nasution disambut baik di Aceh. Syamaun Gaharu kemudian diangkat menjadi Pangdam.
PRRI dan DI/TII
Syamaun Gaharu yang kelahiran Pidie adalah orang Aceh pertama yang menjadi panglima Komando Daerah Militer Aceh (KDMA). Lahirnya KDMA yang pro pemerintah pusat--yang mendapat tambahan pasukan, termasuk dari Jawa Tengah--ikut menghambat tumbuhnya kekuatan PRRI di Aceh. Di sisi lain, PRRI yang mendapat bantuan CIA juga ternyata tidak jago bertempur. Mereka relatif mudah dilumpuhkan pasukan pemerintah pusat.
“Umur Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) hanya 4 tahun. Sesuai dengan perkembangan yang terjadi, maka pada tanggal 1 Januari 1960, Komando Daerah Militer Aceh diganti namanya menjadi Kodam I/Iskandar Muda,” ungkap Syamaun Gaharu dalam Sjamaun Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal (1995:166) yang disusun oleh Ramadhan KH dan Hamid Jabbar.
Menurut Nasution, sejak awal 1957 Syamaun Gaharu merumuskan politik keamanan di Aceh dan berhasil mengadakan gencatan senjata dengan Daud Beureueh beserta pengikutnya. Syamaun Gaharu dikenal dengan konsepsi "Prinsipil dan Bijaksana" dalam penyelesaian DI/TII Aceh. Konsepsi ini tak mengedepankan pendekatan senjata.
Bekas pasukan DI/TII dijadikan bagian dari Kodam I/Iskandar Muda dengan nama Pasukan Teungku Cik di Tiro. Mantan perwiranya juga masuk TNI dan diberi pangkat tinggi, namun tak lama kemudian dipensiunkan. Daud Beureueh sendiri tidak melawan lagi setelah musyawarah dengan Kolonel M. Jasin, panglima pengganti Syamaun Gaharu.
Kolonel M. Jasin yang dilahirkan di Sabang menjabat Pangdam I/Iskandar Muda dari 1960 hingga 1963. Semasa revolusi ia ikut gerilya di Jawa. Pengganti M. Jasin adalah Kolonel Nyak Adam Kamil yang menjabat selama setahun. Setelah itu Kodam I/Iskandar Muda dipimpin oleh Kolonel Ishak Djuarsa yang menjabat dari dari 1964 hingga 1967. Ia berperan penting dalam pembersihan anggota dan simpatisan PKI di sekitar Sumatra Utara pada tahun 1965.
Sempat Dibekukan Benny
Setelah komunis tumpas dan Orde Baru mulai mapan, di Aceh bergolak lagi perlawanan. Sejak 1976, saat Kodam I/Iskandar Muda dijabat oleh Brigadir Jenderal A. Rivai Harahap, muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tak henti melawan hingga datang tsunami pada 2004.
Langkah Syamaun Gaharu dan M. Jasin dalam menyelesaikan masalah DI/TII lewat jalan damai, tak pernah dicapai oleh para Panglima Kodam I/Iskandar Muda di era Orde Baru. Dalam menghadapi GAM, operasi militer yang berdarah-darah lebih kerap mewarnai Tanah Rencong. Apalagi saat Orde Baru memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Kekerasan adalah cara andalan Orde Baru dalam menyelesaikan pergolakan di daerah. Dan hal tersebut tak pernah menyelesaikan masalah. Rakyat sipil justru berjatuhan menjadi korban. Operasi militer di era Orde Baru lebih banyak menjadi portofolio para calon jenderal.
Warsa 1985, saat Benny Moerdani menjadi Panglima ABRI, Kodam I/Iskandar Muda dibekukan dan dilebur kembali ke dalam Kodam I/Bukit Barisan. Baru pada tahun 2002, setahun menjelang operasi militer kembali digelar di Aceh, Kodam Iskandar Muda diaktifkan lagi.
Editor: Irfan Teguh Pribadi