tirto.id - Seperti kebanyakan bekas anggota Tentara Kerajaan di Hindia Belanda (KNIL) yang belakangan jadi jenderal di TNI, Ahmad Yunus Mokoginta juga anti komunis. Contoh lain jenderal macam itu adalah Gatot Subroto dan Abdul Haris Nasution
Dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998 (2005), Audrey Kahin menyebut bahwa terkait penumpasan komunis di Sumatra belahan utara, “orang tidak dapat melupakan peran yang dimainkan oleh Panglima Komando Antar Daerah (Koanda) Sumatra di Medan, Mayor Jenderal Ahmad Yunus Mokoginta” (hlm. 372).
Mokoginta sebelas-dua belas dengan orang-orang Masyumi di Sumatra yang benci luar biasa kepada komunis—yang kala itu diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mokoginta bukan orang Sumatra. Dia keturunan keluarga raja kecil di Kabupaten Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara. Sejak kecil Mokoginta sudah tinggal di Jawa karena ikut ayahnya, Abraham Patra Mokoginta, yang berdinas di pulau itu sejak 1926.
Sekitar enam tahun setelahnya, seperti dicatat dalam Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000), kakak perempuan Yunus Mokoginta, Bua Hadidjah Lena Mokoginta alias Magdalena Mokoginta, dinikahi seorang perwira polisi muda bernama Raden Said Soekanto pada 21 April 1932 (hlm. 12). Belakangan Soekanto jadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama.
Polisi Militer yang Brutal
Sedari muda, Ahmad Yunus Mokoginta dekat dengan dunia polisi. Dia pun sempat sebentar jadi polisi umum setelah lulus AMS B Semarang—taraf pendidikan yang cukup tinggi di zaman itu. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989: 212-213) mencatat Mokoginta pernah ikut Politie School(Sekolah Polisi) di Jakarta. Sementara Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 44) menyebut Mokoginta sebagai polisi yang kasar.
Waktu ada lowongan jadi calon perwira KNIL, Mokoginta ikut. Menurut Alex Kawilarang dalam autobiografinya, A.E. Kawilarang: untuk Sang Merah Putih (1988) yang disusun Ramadhan K.H., Mokoginta belajar di Akademi Militer Kerajaan di Bandung pada 1941 sebagai calon perwira infanteri. Dia tak pernah benar-benar jadi letnan KNIL karena Jepang keburu menguasai Hindia Belanda (hlm. 57).
Setelah Indonesia merdeka, dia termasuk mantan KNIL yang bergabung dengan Republik. Sebagai mantan calon perwira KNIL, dia dapat pangkat kapten. Harsya Bachtiar menyebut dia pernah jadi sekretaris Kepala Staf Umum Markas Besar Tentara Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo (1945); Kepala Staf Brigade Kian Santang di Purwakarta (1946-1947); dan pada 1948, waktu Nasution menjabat Panglima Markas Besar Komando Jawa, Mokoginta jadi Kepala Polisi Militer di Komando Jawa. Jabatan kepala Polisi Militer sebelumnya pernah dijabat Gatot Subroto.
David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba (2009: 123) menyebut, “Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal.”
Nama Mokoginta tercatat di buku sejarah (untuk anak sekolah) sebagai letnan kolonel CPM yang ditahan anak buah Andi Azis dalam pemberontakan serdadu KNIL di Makassar pada 5 April 1950. Dia pernah ditunjuk sebentar sebagai Panglima Tentara & Teritorium VII Wirabuana. Mokoginta adalah komandan Seskoad pertama. Setelah lama di Kementerian Pertahanan, dia akhirnya diangkat menjadi Panglima Koanda I di Sumatra sejak 1964. Dia lama mengisi posisi itu.
Memimpin Pembersihan PKI
Ketika meletus G30S, Mokoginta berada di Medan. Di sana dia biasa berkoordinasi dengan para jenderal lain seperti Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa (Panglima Kodam I/Iskandar Muda) yang berwenang atas Aceh, Brigadir Jenderal Darjatmo (Panglima Kodam II/Bukit Barisan) yang bertanggungjawab atas pulau Sumatra bagian tengah dan digantikan Brigadir Jenderal Sobirin setelah Oktober 1965, dan Brigadir Jenderal Makmun Murod (Panglima Kodam Sriwijaya) yang bertanggungjawab atas Sumatra bagian selatan.
Di Sumatra Utara kala itu banyak sekali kaum buruh. Pada 1960-an mereka rentan didekati PKI. Tak heran bahwa pembasmian komunis di daerah itu terbilang keras. G30S terjadi di tengah-tengah giatnya kampanye Konfrontasi Dwikora Ganyang Malaysia. Karena itu ada Komando Mandala Siaga (Kolaga) di sana. Mokoginta menjadi Panglima Kolaga I di Sumatra.
Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass (2018) menyebut pada 23 Maret 1965 di Medan Mokoginta mencanangkan Operasi Singgalang dalam rangka melawan kaum komunis. Orang-orang sipil dilibatkan dalam operasi itu.
“Mokoginta memberi dukungan kepada Pemuda Pancasila, suatu kelompok yang dibentuk untuk menandingi Pemuda Rakyat yang didominasi PKI,” tulis Audrey Kahin (2005: 375).
Jess Melvin juga menyebut dilibatkannya Pertahanan Sipil (Hansip) dalam pengganyangan komunis di sana. Dalam tulisannya di media ini Melvin menyebut Mokoginta, setelah gagalnya G30S itu, memberi komando bersiap dan tunggu perintah.
Kemudian diumumkan lewat radio agar seluruh perintah daripada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto dipatuhi. “Segenap anggota Angkatan Bersendjata untuk setjara tegas/tandas, menumpas contra-revolusi ini dan segala bentuk penchianatan2 dan sematjamnja sampai keakar2nja,” titah Mokoginta pada malam 1 Oktober 1965.
Aksi pengganyangan komunis itu begitu gemilang seperti dinarasikan Orde Baru. Setidaknya, ada yang menyebut jutaan orang terbunuh dalam pembantaian sekitar 1965-1966, termasuk di wilayah yang jadi wewenang Mokoginta.
Kritis pada Soeharto
Jabatan Panglima Koanda I diampu Mokoginta hingga 1967. Namun, jasa-jasanya menumpas komunis di Sumatra Utara tampak kurang diakui. Dalam hal penumpasan PKI, Mokoginta berperan seperti Sarwo Edhi Wibowo di Jawa Tengah. Jika Sarwo Edhi sempat jadi panglima Kodam dan Gubernur Akabri, maka Mokoginta langsung di-dubes-kan di Republik Persatuan Arab, Sudan, Libanon, dan Maroko dari 1967 hingga 1970.
Secara usia, Mokoginta sudah terhitung senior di ABRI dan memilih berdinas di luar struktur kemiliteran selepas jadi dubes. Setelah itu dia jadi Direktur PT Wahana Samudra. Sebelumnya dia menjadi Direktur Utama PT Tri Usaha Bhakti. Seperti dicatat Harsya bachtiar, dia dilantik di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) setelah bertugas di Timur Tengah. Selain itu Mokoginta juga aktif di Lembaga Pembina Usahawan dan Kadin pusat.
Mokoginta yang bersekolah lebih tinggi dari Soeharto, dan pastinya sama-sama dari Angkatan 45, menjadi orang yang kritis terhadap penguasa Orde Baru itu. Dia aktif dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) yang berisikan para perwira yang dianggap kritis kepada rezim Soeharto.
Di zaman represi Soeharto sedang di puncaknya, Mokoginta termasuk pensiunan jenderal yang “gila”, dia berani berseberangan dengan penguasa. Dia adalah salah satu penandatangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980. Tidak banyak orang seperti Mokoginta di zaman Orde Baru. Sebab melawan pemerintah sama dengan cari penyakit dan bakal sulit hidupnya. Tanggal 11 Januari 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, Mokoginta mengembuskan napasnya yang terakhir.
Editor: Ivan Aulia Ahsan