tirto.id - Setelah peristiwa 17 Oktober 1952, Kolonel Abdul Haris Nasution diskors dari Angkatan Darat selama tiga tahun. Selama rehat dari militer, ia amat rajin membaca. Salah satu bacaannya adalah “'Territorial War' the New Concept of Resistance"yang dimuat Foreign Affairs Oktober 1953, buah pikir Letnan Jenderal Dhusan Kdever dari Yugoslavia.
Menurut Barry Turner dalam Nasution: Total People’s Resistance and Organicist Thinking in Indonesia (2005), para perwira Indonesia memang cukup mengenal Kdever yang berperang bersama Tito pada Perang Dunia II. Sejarah militer Yugoslavia dengan Indonesia juga sama-sama diwarnai oleh perang gerilya.
Pada Oktober 1947, Nasution telah merancang konsep pertahanan teritorial. Seperti dicatat Barry Turner, perwira kelahiran Mandailing Natal ini menerapkan sistem Komando Distrik Militer (KDM) dan Komando Onder Distrik Militer (KODM).
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 20 Juli 1950, seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:29), Angkatan Darat yang dipimpin Nasution sudah membagi kesatuan-kesatuan yang kira-kira setara divisi ke dalam tujuh wilayah dengan nama Tentara & Teritorium (TT).
TT VII (Wirabuana) adalah komando teritorial paling luas karena meliputi Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara dan Papua, meskipun kala itu Papua masih dikuasai Belanda. Sementara TT III (Siliwangi) yang terdiri dari Jawa Barat, Banten, dan Jakarta Raya, mempunyai kekuatan yang cukup besar terdiri dari 55 ribu personel.
Para Panglima Tentara & Teritorium adalah perwira berpengaruh di daerah pada zaman revolusi. Ketika jadi panglima pangkat mereka letnan kolonel atau kolonel. Seperti Nasution, mereka juga Angkatan 45. Tidak jarang mereka berbeda paham dengan Nasution. Ketika di daerah mulai terjadi pergolakan dengan berdirinya dewan-dewan daerah dan para perwira yang membangkang kepada pemerintah pusat, maka Nasution menyusun ulang komando Tentara dan Teritorial.
Memecah Wilayah Bergolak
Antara tahun 1957-1959, seperti dicatat Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986), Nasution memecah komando Tentara & Teritorium yang semula tujuh menjadi enam belas Komando Daerah Militer (Kodam), termasuk komando Tentara & Teritorium yang membangkang kepada Nasution.
Para panglima yang menyulitkan Nasution pada era itu antara lain Kolonel Simbolon di Bukit Barisan dan Sumual di Wirabuana. Tak heran jika Bukit Barisan dipecah menjadi Bukit Barisan (Sumatra Utara), 17 Agustus (Riau dan Sumatra Barat) dan Iskandar Muda (Aceh). Sementara Wirabuana dipecah menjadi Hasanuddin (Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan), Merdeka (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara), Udayana (Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur), serta Pattimura (Maluku dan Papua).
Wilayah yang dipecah itu adalah kawasan bergolaknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta, di mana panglima atau bekas panglimanya terlibat. Sebelum memakai singkatan Kodam, singkatan KDM pernah dipakai.
Penamaan Kodam cukup beragam, di antaranya diambil dari nama tempat atau kerajaan: Jayakarta, Tanjungpura, Mulawarman, Siliwangi, Brawijaya, Udayana dan Iskandar Muda. Tokoh perlawanan terhadap Belanda: Hasanuddin, Diponegoro, dan Pattimura. Nama operasi militer: 17 Agustus melawan PRRI dan Merdeka melawan Permesta. Setelah Papua dikuasai Indonesia, lahir Kodam XVII/Cendrawasih.
Era 1960-an, saat terjadi pertentangan antara petinggi Angkatan Darat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti ditulis Gerry van Klinken dalam The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang 1930an-1980an (2015:254), Kodam digunakan untuk mobilisasi dan menggalang dana dalam rangka membendung pengaruh PKI.
Kodam di Era Orde Baru dan Reformasi
Saat Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI, antara Maret hingga Mei1985 jumlah Kodam dirampingkan, yang awalnya enam belas menjadi hanya sepuluh.
Setelah Soeharto lengser pada 1998, jumlah Kodam bertambah lagi. Penambahan Kodam baru di periode ini hampir selalu hanya mengaktifkan kembali Kodam lama, memakai nama lama, tapi dengan penomoran yang berbeda.
Secara struktural Kodam berada di bawah Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan). Sementara Kodam membawahi Komando Resort Militer (Korem). Di bawah Korem ada Komando Distrik Militer (Kodim) yang biasanya di tingkat kabupaten dan kota. Dan di tingkat kecamatan ada Komando Rayon Militer (Koramil) yang di dalamnya terdapat Bintara Pembina Desa (Babinsa).
Bintara-bintara ini biasanya sudah lama dinas sebagai anggota pasukan tempur di batalion. Setelah usia 30-an mereka keluar dari batalion dan ditempatkan di daerah asalnya atau daerah yang dipilihnya.
Para Babinsa seperti dicatat dalam buku Siliwangi Dari Masa ke Masa (1968:613), “merupakan suatu schaduw-bestuur (pemerintah bayangan).”
Sementara menurut Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986), Babinsa dan Koramil juga diberdayakan untuk menghalau PKI dengan mengisi kekosongan kekuasaan di daerah.
“Selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis untuk menggalang kekuatan-kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa,” kata almarhum Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah (1951-2001) seperti dikutip Salim Said (2002:189) dalam Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi.
Beberapa tahun ke belakang, sempat muncul wacana pembubaran Kodam, namun oleh sebagian kalangan militer disanggah dengan argumen betapa tentang pentingnya lembaga warisan Nasution itu untuk pertahanan wilayah. Dan jika Kodam-Kodam itu dibubarkan, maka akan banyak mayor jenderal yang menganggur di jajaran TNI.
Setelah Reformasi, wacana tersebut hanya menjadi wacana, faktanya Kodam tetap dipertahankan. Bahkan di era Jokowi, tepatnya pada Desember 2016, lahir Kodam baru di Papua Barat, yaitu Kodam XVIII/Kasuari.
Editor: Irfan Teguh