Menuju konten utama

Babinsa: Berdiri Di Zaman Sukarno, Dimaksimalkan di Zaman Soeharto

Babinsa mulai ada sejak 1963, waktu Angkatan Darat menjadi musuh PKI yang kala itu masih hidup. Belakangan, babinsa kerap jadi alat politik.

Babinsa: Berdiri Di Zaman Sukarno, Dimaksimalkan di Zaman Soeharto
Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Mulyono (kiri) memberikan bonus kepada prajurit Kodam Iskandar Muda yang berani mengajukan pertanyaan kepadanya saat pertemuan di Batalyon Raider 112 Darma Jaya, Mata Ie, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (29/8/2016). ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Di tubuh balatentara Hindia Belanda (KNIL) ada lagu reveil tak resmi di kalangan serdadu-serdadu bawahan dengan lirik "Kopi ketan enak rasanya, mati sersan, kopral gantinya." Begitu yang diingat Tahi Bonar Simatupang, seperti tertulis dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991:20).

Di dinas ketentaraan, seorang kopral biasanya biasanya sudah lebih dari belasan tahun berpengalaman sebagai serdadu militer. Begitu juga sersan di masa kolonial. Sersan tergolong sebagai bintara, di atas level tamtama—yang di Angkatan Darat berkisar antara pangkat Prajurit Dua hingga Kopral Kepala.

Menurut ZA Maulani dalam bukunya Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan dan Tanah Air (2005), di Amerika Serikat bintara—yang disebut Non Commissioned Officer (NCO)—menjadi salah satu staf jenderal penting.

Dalam militer, terdapat fenomena serdadu-serdadu senior yang mentok dengan pangkat kopral. Serdadu-serdadu ini kerap disebut: Kopral Susah Diurus (Kopassus). Tentu saja seumur-umur berpangkat kopral merupakan ketidakberuntungan. Dalam masa belasan tahun jadi serdadu, galibnya seorang kopral sudah naik pangkat menjadi sersan. Setelah tidak di batalyon lagi, ketika memasuki usia yang tak segar untuk jadi serdadu tempur, mereka biasanya ditempatkan di pos lain yang bersifat teritorial.

Sejak awal dekade 1960an, ada yang disebut Komando Daerah Militer (KODAM). Dibawahnya ada Komando Resort Militer (KOREM). Dibawahnya lagi ada Komando Distrik Militer (KODIM), pada level daerah tingkat II (Kota dan Kabupaten). Dibawahnya lagi masih ada Komando Rayon Militer (Koramil), di tingkat kecamatan. Dibawah KORAMIL, di desa, masih ada lagi Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Di Babinsa itulah jadi posisi dari para sersan senior yang mendekati usia pensiun. Ada juga prajurit berpangkat kopral yang dijadikan anggota Babinsa. Kondisi ini tentu berbeda dengan yang terjadi di negara maju, di mana hanya ada dua tempat bagi tentara. Jika bukan di medan perang, tentara mesti berada di barak alias tangsi alias asrama.

Di negara yang tidak digolongkan maju, tentara bisa ada di mana-mana. Sebelum ada ABRI Masuk Desa (AMD) sejak 1980, maka tentara pun sudah ada di desa seperti halnya Koperasi Unit Desa (KUD). Di masa Orde Baru, selain KUD, Babinsa menjadi wajib ada di setiap desa.

Sejatinya, Babinsa yang besar jasanya dalam Orde Baru bukan dilahirkan oleh Orde Baru. Sejarah Babinsa dimulai di era Sukarno, sewaktu Angkatan Darat dipimpin Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani. Kala itu belum disebut Babinsa alias Bintara Pembina Desa, hanya disebut Bintara Pembina.

Berdasar catatan Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia—pendahulu LIPI—seperti tertulis dalam "Laporan Umum Pilot-Survey Pusaka Djiwa: Tentang Faktor-Faktor jang Mengandung Potensi Gerakan Kerukunan dalam Masjarakat di Kota Sukabumi" (1963:53), Bintara Pembina di desa belum ada sebelum 1963.

Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI(1986:305-306) mencatat pada akhir 1964 banyak bintara yang dijadikan bintara pembina di desa. Berdiri juga Sekolah Latihan Kader Pembina. KODAM Siliwangi adalah yang paling depan dalam sejarah Babinsa, dengan 3.473 Babinsa untuk mewakili tentara di setiap desa.

“Tugas mereka mirip Koramil (yang tiap kecamatan) untuk mencegah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi petaninya (Barisan Tani Indonesia—yang disingkat BTI), mengisi kekosongan politik di desa-desa yang diakibatkan oleh dilarangnya Masyumi, dikalahkannya Darul Islam, dan dicabutnya Undang-undang Darurat,” tulis Ulf.

Mereka membina Pertahanan Sipil (Hansip) juga di desa. Di luar Siliwangi, masih menurut Ulf, “struktur territorial pertumbuhannya jauh lebih lambat.

Bagi musuhnya, bintara pembina dianggap sebagai bahaya. Buku Siliwangi Dari Masa ke Masa (1968:613) menyebut bahwa di mata PKI, “bintara pembina itu merupakan suatu schaduw-bestuur (pemerintah bayangan) yang perlu segera ditiadakan.” Sudah pasti bintara pembina diklaim sebagai Benteng Pancasila.

Dengan masuknya tentara-tentara sejak 1963 lewat bintara pembina—yang belakangan disebut Babinsa itu, menurut Salim Said dalam Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi (2002:47), maka “seluruh wilayah Indonesia sudah sempurna dikontrol oleh militer dengan aparat teritorial mereka.” Babinsa cukup berpengaruh di desa-desa. Harapan idealnya mereka bisa jadi pelindung masyarakat di desa.

Babinsa tak selamanya punya kisah yang manis bersama rakyat Indonesia. Sersan Satu Hermanu, yang masuk ke musala Assa’adiah di Koja Selatan—yang berbuntut menjadi Peristiwa Tanjung Priok, adalah Babinsa di Kelurahan Koja Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Harian KAMI (22/04/1971), menulis: “Sumini bercerita bahwa hidupnya tidak lagi tenang, kaget-kagetan selalu dihantui oleh orang-orang Koramil, Babinsa yang membawa senjata menggedor pintu rumahnya agar menyerahkan sawahnya.” Tiga hari setelahnya, warga Muslimat Jombang itu bunuh diri.

Dalam sejarah politik Indonesia, Babinsa menjadi salah satu alat politik yang sangat penting. Termasuk dalam pemilu-pemilu yang dilaksanakan pada masa Orde Baru. Wimanjaya K. Liotohe, yang dikenal sebagai salah satu musuh rezim ini, dalam karyanya Prima Dosa Golkar: Memang Golkar Layak Bubar (2001:11) menyebut: “Menteri- Menteri sampai kepada Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, RT/RW dan Babinsa semuanya adalah Golkar yang wajib memfasilitasi kegiatan Golkar.”

Cerita Babinsa membantu Golkar sudah biasa terdengar. Di Kalimantan Timur, pada 1997, pernah ada cerita seorang Babinsa gugur ketika mengantar logistik untuk kampanye partai Golkar.

Sementara itu, seorang jenderal—yang pamannya pernah jadi Wakil Presiden Republik Indonesia era Orde Baru—menyebut Babinsa main politik di tingkat dalam pemilu-pemilu yang selalu memenangkan Golkar saja.

“Selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis untuk menggalang kekuatan-kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa,” kata almarhum Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah (1951-2001) seperti dikutip Salim Said (2002:189) dalam Kompas dan Media Indonesia (14/12/1999).

Infografik Babinsa

Hingga kini Babinsa masih ada. September 2017, seperti dilansir Antara (05/09/2017), setidaknya ada 206 tamtama (yang pangkatnya dibawah Sersan Dua) yang terpilih dan mengikuti pendidikan pembentukan bintara di Sekolah Calon Bintara (Secaba) Rindam V Brawijaya, Kabupaten Jember.

Mereka diproyeksikan untuk menjadi bintara dengan pangkat Sersan Dua. Mereka yang ikut pendidikan itu bisa dibilang kopral-kopral beruntung. Bagi mereka, menjadi Babinsa, karena sudah pasti naik pangkat jadi Sersan Dua, adalah nasib baik dibanding bertahan jadi kopral sampai pensiun. Atasan bisa dibikin pusing kalau kopral-kopral yang mentok pangkatnya ini jadi serdadu nakal ala “kopassus” (kopral susah diurus).

Baru-baru ini, ramai lagi soal Babinsa yang akan dinaikkan lebih dari 700 persen pendapatannya oleh presiden. Presiden Joko Widodo tampaknya mendadak ingin seperti Jenderal M Jusuf yang terkenal peduli pada prajurit bawahan. Hal ini tentu kabar gembira bagi Angkatan Darat dan Babinsa-Babinsa yang mendapatkannya. Wajar jika mereka senang.

Namun, sebagian pihak menilainya sebagai bagian dari langkah politik presiden menjelang Pemilihan Presiden 2019 nanti. Ada kekhawatiran aksi Babinsa di masa Orde Baru terulang kembali: membina desa demi kemenangan orang atau kelompok tertentu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH MILITER atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani