tirto.id - Sejarah Lubang Buaya kerap dikaitkan dengan Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di lokasi itu kini berdiri Monumen Pancasila Sakti yang setiap tanggal 1 Oktober menjadi tempat upacara untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Di kawasan dekat Pondok Gede inilah ditemukan jenazah para petinggi militer Angkatan Darat (AD) yang merupakan korban penculikan serta pembunuhan dalam tragedi G30S 1965.
Yoseph Yapi Taum dalam Sastra dan Politik Representasi Tragedi 1965 (2020) menuliskan bahwa kawasan Lubang Buaya terletak di dekat Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur.
Meskipun di dalam catatan sejarah Lubang Buaya selalu dikatakan termasuk kawan Pangkalan Halim Perdana Kusuma, sebenarnya wilayah itu tidak masuk dalam yurisdiksi pangkalan udara tersebut.
Pada zaman Orde Baru atas gagasan Presiden RI ke-2, Soeharto, di kawasan Lubang Buaya dibangun Monumen Pancasila Sakti di atas lahan seluas 14,6 hektare.
Peristiwa G30S 1965 sendiri berdampak terhadap mulai meluruhnya pengaruh Presiden Sukarno yang membuka kesempatan bagi Soeharto untuk tampil dan akhirnya menjadi presiden berikutnya.
Saat G30S 1965 terjadi, Soeharto menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dengan pangkat mayor jenderal. Hingga kini, belum terungkap sepenuhnya alasan Mayjen Soeharto tidak turut menjadi target penculikan sebagaimana yang dialami para perwira tinggi AD lainnya.
Lubang Buaya dan Peristiwa G30S 1965
Dikutip dari Jakarta: Panduan Wisata Tanpa Mal (2013) karya Wieke Dwiharti, asal-usul penamaan Lubang Buaya konon berasal dari cerita legenda yang menyebutkan bahwa di sungai dekat kawasan tersebut dulunya banyak terdapat buaya berwarna putih.
Kawasan Lubang Buaya pernah dijadikan tempat latihan sukarelawan Dwikora dan Ganyang Malaysia pada awal dekade 1960-an yang dipimpin oleh Mayor Udara Sujono selaku Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim Perdana Kusuma.
Selain itu, kawasan Lubang Buaya kerap ditengarai sebagai pusat pelatihan untuk kader-kader PKI, termasuk menjelang terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Sampai saat ini, tragedi G30S 1965 memang masih menjadi tanda tanya besar, terlebih mengenai siapa dalang di balik peristiwa ini.
Seperti dikutip dari bukuMembongkar Supersemar: Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2007: hlm 220), sejarawan Baskara T. Wardaya menulis, pada tanggal 1 Oktober 1965, ada sebuah kelompok yang menamakan diri "Gerakan 30 September".
Mereka menculik dan membunuh enam orang Jenderal, termasuk Panglima AD. Gerakan itu juga mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan membubarkan Kabinet.
Namun demikian, percobaan kudeta ini bisa diatasi oleh Angkatan Darat yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto, yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Panglima AD. Peristiwa itu berlangsung ketika Soeharto ingin berkuasa.
Militer, tulis Baskara, mengambil keuntungan dari keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September dan menuduh pihak Komunis yang bertanggungjawab penuh terhadap percobaan kudeta tersebut. Militer juga menghancurkan PKI dan membubarkannya.
Di sisi lain, menurut laporan Tempobertajuk "Eksklusif G30S 1965: Lelaki Lima Alias di Operasi Penculikan", beberapa tokoh PKI dan militer menggelar rapat persiapan di Halim jelang operasi G30S 1965.
Mereka itu di antaranya adalah Sjam Kamaruzaman (Ketua Biro Chusus PKI), Supono Marsudidjojo (Asisten Sjam), Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Laporan dari Cornell University Press (1966) menyebutkan, jenazah para korban penculikan dan pembunuhan dalam peristiwa G30S ditemukan pada 4 Oktober 1965 di dalam sebuah sumur tua dengan kedalaman sekitar 15 meter di kawasan Lubang Buaya.
Ada 7 jenazah yang ditemukan di Lubang Buaya, yakni 6 orang jenderal Angkatan Darat yaitu Ahmad Yani, R. Soeprapto, M.T. Haryono, S. Parman, D.I Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo, serta ajudan Jenderal A.H. Nasution bernama Pierre A. Tendean.
Mengenai cerita pada era Orde Baru yang menyebutkan bahwa kondisi jenazah para pahlawan revolusi itu mengenaskan akibat mengalami penyiksaan, hal tersebut dikatakan tidak benar.
Kesaksian itu disampaikan oleh Pembantu Letnan Dua Marinir Sugimin yang ikut bertugas mengangkat jenazah di Lubang Buaya.
“Semua jenazah dalam keadaan utuh, tidak ada yang matanya dicungkil atau kemaluannya dipotong seperti cerita yang beredar,” ungkap Sugimin dikutip dari Tempo.
Seluruh jenazah para perwira militer yang menjadi korban G30S itu kemudian dievakuasi dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, pada 5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan HUT TNI.
Editor: Iswara N Raditya