Menuju konten utama
Seri Pahlawan Revolusi

Upaya Anak-Anak Brigjen Sutoyo Menghapus Dendam

"Itu dilakukan oleh sama-sama manusia. Kita tidak dapat mengungkapnya secara utuh karena selalu ada sisi gelap dari sebuah peristiwa." - Nani Surrachman Sutoyo

Upaya Anak-Anak Brigjen Sutoyo Menghapus Dendam
Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo. FOTO/Wikimedia Commons

tirto.id - September bukanlah bulan yang ceria bagi Nani Nurrachman. Hatinya terasa teriris setiap kali penghujung bulan ke-9 itu menjelang. Nani adalah putri tertua Brigjen Sutoyo, salah satu perwira tinggi TNI-AD yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September 1965.

“Ini hal yang sulit diingkari dan diabaikan karena akan selalu muncul, apalagi menjelang 30 September,” sebut Nani suatu kali.

Kematian tragis Sutoyo akan senantiasa membekas bagi Nani. Rupanya, masih ada persoalan yang belum tuntas di antara bapak dan anak ini. Nani tak sempat berdamai hingga jasad sang ayah ditemukan di dalam sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965.

Sutoyo Siswomiharjo turut memprakarsai dibentuknya kesatuan Polisi Militer (PM) Indonesia dan mengabdi di kesatuan itu hingga 1954. Dua tahun kemudian, ia ditempatkan di Inggris selaku Asisten Atase Militer KBRI di London.

Sejak 1960, Sutoyo menjabat Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, lalu Inspektur Kehakiman/Jaksa Militer Utama. Namanya sempat menjadi kandidat terkuat calon Jaksa Agung RI. Namun, ia batal dipilih karena diisukan terlibat Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan Presiden Sukarno.

Kenangan yang Tak Terucap

Dua pekan sebelum terjadinya malam berdarah itu, Sutoyo kesal karena mendapati mesin ketik di ruang kerjanya tidak dirapikan lagi setelah dipakai. Ia menduga Nani pelakunya. Sebaliknya, Nani merasa tidak melakukannya. Jikapun meminjam mesin ketik itu, pasti akan selalu ia rapikan seperti semula.

Nani naik pitam atas tudingan tersebut, bahkan sempat kabur dari rumah. Sutoyo yang kemudian menyesali emosi sesaat itu lantas meminta maaf. Namun, Nani hanya membisu dan memasang muka masam setiap kali ayahnya mendekat. Ia masih sakit hati meski sebenarnya ingin menyambut tawaran damai itu.

Sore tanggal 30 September 1965, sang ayah pulang ke rumah. Namun tidak lama, hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Sutoyo harus bergegas pergi lagi karena Presiden Sukarno akan menyampaikan pidato di Istora Senayan.

Baca Juga:

Sebelum menuju pintu keluar, Sutoyo hanya sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada anak keduanya yang masih ngambek itu. “Sudah ya, Papap pergi dulu,” ucap sang ayah sembari melambaikan tangannya kepada Nani, yang lagi-lagi hanya diam tanpa balasan.

Rupanya, itu salam terakhir papap—demikian anak-anak Sutoyo memanggilnya—untuk Nani, dan juga untuk semua orang yang disayanginya.

Seisi rumah sudah terlelap saat Sutoyo pulang beberapa jam berselang. Dini hari, ketika penanggalan mulai memasuki tanggal 1 Oktober 1965, terdengar suara keras dari luar. Nadanya kasar, memanggil Sutoyo untuk segera keluar.

Sang jenderal sadar bahwa sesuatu yang buruk bakal segera terjadi. Semua orang rumah pun terbangun, termasuk Nani yang bingung sekaligus ketakutan. Dari kolong tempat tidur, ia mendengar orang-orang kasar itu berbuat onar. Barang-barang di ruang tamu dihancurkan satu-persatu. Nani semakin menggigil.

Sutoyo memilih tidak melawan demi menghindari situasi yang lebih parah. Dengan tenang, ia mengikuti perintah orang-orang yang mengaku sebagai anggota Pasukan Pengawal Presiden Sukarno alias Cakrabirawa itu. Mereka memaksanya ikut dengan dalih atas perintah presiden untuk segera menghadap.

Kabar yang berseliweran setelah ayahnya dijemput paksa masih simpang-siur. Nani dan keluarganya pun dibuat semakin bingung lagi panik, bertanya-tanya ke mana Sutoyo dibawa pergi. “Kami tersiksa karena tidak pernah tahu nasib dan kondisi ayah selama diculik,” kenang Nani.

Dan, berita buruk itu akhirnya datang juga. Ayahnya, brigadir jenderal yang juga jaksa utama militer itu, ditemukan tewas bersama 6 perwira TNI lainnya. Hingga bertahun-tahun lamanya setelah kejadian memilukan itu, Nani masih berduka, bahkan sempat terpuruk. Ada maaf yang belum terucap, ada sesal yang belum tuntas.

Nani hanya bisa mengenang sang ayah melalui buku yang ditulisnya berpuluh-puluh warsa berselang. Lembar-lembar memori yang akhirnya diterbitkan pada 2013 itu ia beri judul: Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965.

"Saya menerimanya sebagai suatu penutup dari perjalanan kita bersama. Saya hanya ingin mengenangnya," tulis Nani dalam bukunya.

Belajar Memaafkan, Tanpa Dendam

Nani yang masih berusia 15 tahun saat tragedi pada malam itu sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Kakak lelakinya, Agus Widjojo, sepertinya juga sama.

"Saat itu saya tidak tahu jelas perseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI, dan kenapa ayah saya dibunuh,” kata Agus yang nantinya mengikuti jejak sang ayah dengan berkarier di dunia ketentaraan hingga kini menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

“Pada waktu itu memang tidak mudah membuat kesimpulan atau anatomi tentang apa hakikat peristiwa ini dan siapa saja yang terlibat. Itu tidak bisa,” lanjutnya kepada CNN Indonesia.

“… semua simpang siur, dan saya rasa itu bagian dari sikap publik yang tidak tahu-menahu, kecuali yang terlibat di dalam gerakan, ataupun pihak yang terkait di dalamnya,” imbuh anak sulung Brigjen Sutoyo ini.

Dari surat-surat kabar yang dibacanya setelah kejadian tersebut, Agus hanya tahu bahwa 7 perwira Angkatan Darat, termasuk ayahnya, diculik tanpa disertai penjelasannya secara lebih detil.

Baca Juga:

Infografik Sutoyo siswomiharjo

Agus baru memahami peristiwa G30S lama setelah itu, saat ia sudah menjadi perwira militer, “Saya mencari informasi dari berbagai surat kabar umum, mengandalkan sumber-sumber informasi terbuka yang kemudian saya cerna dan analisis.”

Akhirnya, Agus yakin bahwa petinggi PKI, DN Aidit, terlibat sentral dalam peristiwa itu. "Saya tahu Aidit dalang pembunuhan itu setelah mencari tahu,” ucapnya.

Sebagai anak pahlawan revolusi yang menjadi korban G30S, Agus tidak menyimpan dendam. Ia bahkan memprakarsai pembentukan Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang di antaranya menaungi anak-anak dari kedua belah pihak. Tahun lalu, ia juga menjadi panitia pengarah simposium tentang 1965 yang sedianya menjadi salah satu pijakan untuk rekonsiliasi.

“Simposium dan pengungkapan kebenaran justru berguna untuk mengikhlaskan masa lalu, tetapi tidak melupakan mengambil pelajaran dengan apa yang salah, guna menuju rekonsiliasi,” kata Agus.

Baca wawancara Tirto dengan Agus Widjojo:

Nani tampaknya sependapat dengan sang kakak. Meskipun pedih setiap kali mengingat peristiwa itu, Nani menyadari bahwa tidak akan ada ujungnya jika persoalan ini terus saja dipermasalahkan. Ia berusaha meredam dendam dan memaafkan, seperti yang ternukil dalam bukunya:

“Suatu tragedi adalah pergumulan nasib yang tidak dapat dimenangkan. Tragedi tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya selalu diingat. Rasa sakit dari penderitaan seseorang tidak dapat dibandingkan atau dipertukarkan dengan penderitaan orang lain. Tetapi hanya dapat ditemukan maknanya bila yang mengalami dapat memberi arti demikian bagi hidupnya.”

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani