tirto.id - “Kamu sedih tidak kalau Bapak meninggal dunia?” tanya Mayor Jenderal Soeprapto kepada putri tersayangnya. Mendapat pertanyaan seperti itu, si anak kontan menjawab dengan nada sebal, “Bapak ngomong apa, sih?”
Percakapan singkat itu terselip dalam buku berjudul Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965, album yang merangkum memoar keluarga para pahlawan revolusi, termasuk ingatan Ratna Purwati, anak sulung Mayjen Soeprapto.
Jalan hidup Soeprapto nyaris selalu lekat dengan maut. Ia pernah ditawan tentara Jepang, kemudian bertaruh nyawa saat turut melucuti senjata serdadu Dai Nippon tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Tak lama berselang, Soeprapto ikut bertempur bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman di Ambarawa menghadapi pasukan sekutu yang persenjataan dan pengalamannya berlipat-lipat lebih baik.
Dari semua aktivitas berisiko tinggi itu, Soeprapto selalu mampu bertahan dan selamat. Sampai akhirnya, ia termasuk salah satu petinggi Angkatan Darat yang menjadi korban tewas dalam Gerakan 30 September (G-30S) 1965 dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding sebagai aktor utamanya.
Baca Juga:
- S. Parman, Korban G30S yang Justru Adik Petinggi PKI
- Pandjaitan, Asisten Logistik Andalan Angkatan Darat
Nasib Mujur Pemuda Purwokerto
Soeprapto muda memang ingin jadi prajurit. Maka, setelah tamat dari sekolah menengah atas di Yogyakarta pada 1941, ia mantap masuk akademi militer meskipun harus menempuh perjalanan jauh ke Bandung. Kebetulan, pemerintah kolonial Hindia Belanda saat itu membutuhkan banyak tambahan serdadu seiring kian memanasnya Perang Dunia Kedua.
Di Kota Kembang, Soeprapto mendaftarkan diri ke Koninklijke Militaire Akademie atau Akademi Militer Kerajaan Belanda. Ia diterima, namun hanya untuk sesaat. Sebelum masa pendidikan militernya selesai, pasukan Jepang keburu masuk ke Indonesia dan mengambil-alih kekuasaan Belanda pada 1942.
Berstatus sebagai calon tentara Belanda membuat Soeprapto harus berhadapan dengan serdadu Jepang. Ia pun ditangkap, lalu ditawan dan dijebloskan ke balik jeruji besi, tentunya disertai perlakuan tidak mengenakkan.
Pemuda asli Purwokerto kelahiran 20 Juni 1920 ini rupanya cukup licin. Setelah beberapa waktu mendekam di dalam tahanan, Soeprapto berhasil lolos dan melarikan diri (Album Pahlawan Bangsa, 2001:69). Namun, ia tidak lantas fobia dengan tentara Jepang, justru sebaliknya.
Setelah sempat menghilang beberapa waktu sembari menunggu situasi sedikit mereda, Soeprapto kembali muncul ke permukaan. Para serdadu Jepang rupanya tidak mengenali dirinya, boleh jadi karena saking banyaknya siswa akademi militer Belanda yang ditangkap waktu itu.
Soeprapto yang masih penasaran karena belum sah jadi tentara lantas mencermati peluang untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kebetulan, pemerintah militer Jepang di Indonesia saat itu membuka lowongan bagi siapa saja, termasuk dan terutama pemuda pribumi, untuk dididik menjadi prajurit. Tujuannya, mereka nantinya bisa dimanfaatkan sebagai tenaga tempur andaikata Sekutu datang menyerbu.
Baca Juga:
Bermula dengan mengikuti kursus-kursus kepemudaan yang diselenggarakan oleh pemerintah militer Jepang, Soeprapto kemudian benar-benar menjadi bagian dari angkatan perang Dai Nippon yang tengah waspada menghadapi Perang Timur Raya melawan Sekutu.Tercatat, Soeprapto pernah bergabung dengan laskar-laskar militer bentukan Jepang di Indonesia, dari Seinendan (Barisan Pemuda), Syuisyintai (Barisan Pelopor), hingga Keibodan atau Barisan Pembantu Polisi (Pusat Sejarah ABRI, Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI, 1979:51). Dari sinilah Soeprapto merintis karier militer yang sebenarnya.
Berperang di Sisi Jenderal Besar
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan dengan proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, segera pecah konflik bersenjata melawan tentara Jepang yang masih bertahan kendati Sekutu yang tampil sebagai pemenang perang.
Sebelum pasukan Sekutu datang ke Indonesia, Soeprapto terjun bersama laskar-laskar republik untuk “membersihkan” sisa-sisa serdadu Dai Nippon. Misi ini tentunya tidak ringan dan berisiko sangat besar. Namun, lagi-lagi Soeprapto selamat.
Soeprapto kemudian bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia atau TKR. Ini adalah cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang dibentuk sejak 5 Oktober 1945 oleh pemerintah RI (Sejarah TNI Jilid I 1945-1949, 2000:17). Ia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang datang kembali dengan membonceng Sekutu.
Pertempuran yang paling berkesan bagi Soeprapto adalah Palagan Ambarawa yang berkobar di selatan Semarang. Ini adalah perang antara pasukan republik melawan Sekutu dan Belanda yang berlangsung hampir satu bulan lamanya, 20 Oktober hingga 15 Desember 1945 (Riris Sarumpaet, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan, 2010:69).
Soedirman memimpin langsung pertempuran di Ambarawa tersebut. Soeprapto yang saat itu menjadi salah satu ajudan sang jenderal pun ikut berperang di sisi sang panglima besar. Setelah melalui rangkaian kontak senjata, TKR akhirnya berhasil memukul mundur musuh dari Ambarawa. Soeprapto turut berperan penting dalam kemenangan itu.
Baca Juga:
- Pardjo, Ajudan Jenderal yang Dua Kali Jadi Menteri
- Peristiwa 3 Juli 1946, Kudeta Pertama di Indonesia
Indonesia pun mulai memasuki masa-masa damai setelah itu, kendati terkadang masih muncul percikan api yang berasal dari konflik internal. Soeprapto mula-mulai ditempatkan di Semarang sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro, lalu sempat ditarik ke Jakarta untuk membantu Kementerian Keamanan Rakyat.
Sempat terlibat dalam penanggulangan gerakan PRRI/Permesta, Soeprapto menjalani jenjang karier militernya dengan cukup mulus, termasuk menjabat sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera, hingga akhirnya menjadi salah satu petinggi TNI yang paling disegani.
Kontroversi di Sekitar Kematian
Saat Soeprapto –yang ketika itu sudah berpangkat letnan jenderal– dijemput dari kediamannya oleh pasukan Cakrabirawa dengan alasan dipanggil Presiden Sukarno, tidak ada anggota keluarga lain yang tahu karena sudah terlelap tidur. Menurut pengakuan Ratna Purwati, tidak ada pengawal yang menjaga rumah mereka pada malam tanggal 30 September 1965 itu.
"Baru setelah Pak Umar Wirahadikusumah (Panglima Kodam Jaya waktu itu) datang ke rumah, kami baru tahu Bapak diculik gerombolan PKI," sebut Ratna seperti dikutip dari Tempo (1 Oktober 2007).
Mayjen Soeprapto ternyata tidak pernah kembali ke rumah sejak saat itu. Tanggal 3 Oktober 1965 dini hari, raganya yang sudah tidak bernyawa ditemukan bersama mayat sejumlah petinggi Angkatan Darat lainnya, di dasar sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Selama bertahun-tahun setelah tragedi itu, pemerintah Orde Baru selalu meyakinkan bahwa para jenderal tersebut mengalami penyiksaan sebelum mati. Meyjen Soeprapto, misalnya, seperti yang diwartakan Berita Yudha edisi 9 Oktober 1965, disebutkan wajah dan tulang kepalanya remuk, ada beberapa bagian tubuh yang disayat dengan silet, bahkan dipotong alat kelaminnya, hingga tewas.
Namun, setelah rezim Soeharto tumbang pada 1998, kontroversi terkait penyebab kematian para korban G-30S, mulai bermunculan.
Baca Juga:
Menurut penelitian terbaru, termasuk yang dilakukan Benedict Anderson bahkan ketika Orde Baru sedang jaya-jayanya, juga hasil riset Indoleaks pada 2010, menunjukkan, Mayjen Soeprapto mengalami patah tulang tengkorak, juga di betis dan paha kanan yang disebabkan oleh pukulan benda tumpul, diduga batu atau popor senapan. Disebutkan pula, memang terdapat 3 luka tusuk di badan Soeprapto, namun bukan berasal dari sayatan silet, melainkan tusukan bayonet.Mayjen Soeprapto tewas diyakini karena tembakan pada 11 bagian tubuhnya. Namun, penyebab kematian tidak sesadis yang dipropagandakan Orde Baru karena tidak ditemukan bukti sayatan silet, apalagi mutilasi alat kelamin (Detik, 13 Desember 2010). Bukan berarti kematian Soeprapto tidak berlangsung menyakitkan, karena pembunuhan itu sendiri jelas sebuah kekejaman. Maksudnya, klaim penyiksaan gila-gilaan di Lubang Buaya sebelum para korban dimasukkan ke dalam sumur yang tidak benar.
Demikianlah riwayat Mayjen Soeprapto, sang survivor yang selalu berhasil bertahan hidup selama masa penjajahan dan era peperangan, namun justru harus berakhir tragis di tangan sesama orang Indonesia sendiri.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS