tirto.id - Pemuda Donald Izacus Pandjaitan yang jebolan kelas tiga MULOitu kepingcut masuk tentara. Pekerjaannya di perusahaan kayu Panglong 40 pun ia tinggalkan. Dia ingin seperti lelehurnya yang pernah berperang di pihak Sisingamangaraja XII. Keinginan masuk tentara sudah ada di kepalanya ketika bekerja di Ataka Sanyo Kabushiki Kaisha—yang mempekerjakan tenaga romusha dari Jawa. Kebetulan Jepang di Sumatera sedang buka lowongan perwira (opsir) untuk tentara sukarela (Gyugun).
“Niatnya untuk menjadi opsir militer tidak tertahankan lagi setelah pendaftaran untuk sekolah opsir dibuka bagi pemuda-pemuda Indonesia,” aku Marieke Pandjaitan boru Tambunan dalam buku DI Pandjaitan: Pahlawan Revolusi Gugur Dalam Seragam Kebesaran (1997).
Sebelum cabut dari Panglong 40, atasannya, seorang Jepang bernama Oba, tak rela melepaskannya. Ia bahkan menakuti-nakuti: “Kalau saudara ditempatkan di lapangan terbang, dan sekutu menyerang dengan pesawat terbang B-29, saudara harus pegang senapan mesin, sedangkan kaki saudara dirantai supaya tidak bisa menyingkir dan lari karena pesawat musuh itu tak bisa dilawan, dan saudara akan mati.”
Baca Juga:Muda Bersama Saudara Tua
Donald Izacus Pandjaitan tak terpengaruh omongan bos Jepangnya itu. Dia tetap masuk Gyugun pada 1944. Sebelum masuk sekolah opsir, Donald minta surat rekomendasi dari bekas bosnya di Ataka, Mayor Higashi. Ia memperoleh rekomendasi yang dibutuhkan. Berbekal rekomendasi itu, bersama juga ijazah HIS, raport kelas tiga MULO serta kemampuan bahasa Jepang, diterimalah dia masuk Gyugun (baca: PETA adalah Paramiliter Berbayar).
Setelah dilatih di Sekolah Opsir Gyugun di Pekanbaru, dia diberi pangkat setara dengan Letnan (Gyu Shoi). Donald jadi Gyugun ketika militer Jepang perlahan kalah dalam front Pasifik. Baru sebentar berdinas, Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945. Gyugun pun akhirnya dibubarkan dan Donald kehilangan pekerjaan di Riau.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) terbentuk pada 22 Agustus 1945. Di hari tersebut, berita proklamasi baru sampai ke telinga pemuda-pemuda di Riau. Residen Riau yang pro Republik pun menghubungi Hasan Basri, kawan dekat Donald Izacus Pandjaitan, agar membentuk BKR juga di Riau (baca: Kasman Singodimedjo, Ketua BKR Pertama).
Tak menunggu lama, selain Pandjaitan, ada juga Usman Pohan, P Hutapea, ditambah 47 orang mantan Kaigun Heiho dari Singapura (pimpinan Abdul Muttalib, Subrantas dan Himron Saheman) pun bergabung ke dalam BKR di Riau. Selain itu masuk pula banyak pemuda yang tidak punya latar-belakang militer dan tidak punya pengalaman mengikuti latihan militer. Para mantan Heiho kemudian dijadikan komandan regu.
Di BKR, Pandjaitan dijadikan kepala urusan latihan. Beberapa bulan kemudian, ketika Tentara Keamanan Rakyat (TKR) diresmikan, Pandjaitan menjadi Komandan Batalyon di Resimen IV Riau, dengan pangkat Mayor. Pada akhir 1945, Pandjaitan diangkat pula menjadi Kepala Pertahanan Kota Pekanbaru. Usianya kala itu baru 20 tahun. Beberapa tahun kemudian pangkatnya sempat turun jadi Kapten karena ada Re-Ra.
Baca juga: Kisah Soedirman Menjadi Panglima TKR
Karier militernya pun berlanjut dan lebih dari separuh usianya dihabiskan di lingkungan militer. Mulai dari Gyugun lalu ke Tentara Nasional Indonesia (TNI), sejak masih bernama TKR sampai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Pada masa revolusi, di Pekanbaru banyak terdapat romusha-romusha menjadi gelandangan yang masih merasakan sengsara walau pun Jepang telah pergi. Pandjaitan pun memberi mereka kesempatan menjadi pengawal negara dan pembela bangsa dalam kesatuan TKR.
Di tengah kurangnya logistik, khususnya beras, TKR Pekanbaru berhubungan dengan TKR Tapanuli. Kain-kain milik sekutu dari Singapura yang ada di Pekanbaru pun dibarter dengan beras dari Tapanuli. Letnan T.D. Pardede dari TKR Tapanuli memimpin enam truk pembawa beras dari Tapanuli. Rombongan truk itu kembali ke Tapanuli dengan kain-kain bahan pakaian.
Di masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pandjaitan terlibat sebagai pimpinan dari Pusat Perbekalan Pemerintah—yang bergerilya di pedalaman Sumatera setelah ibukota Yogyakarta diduduki Belanda dan pejabat-pejabat tingginya ditawan. Kuatnya blokade ekonomi lewat laut oleh Belanda memaksa Pandjaitan terlibat usaha penyelundupan dalam perang terhadap Belanda itu.
Baca Juga:Apa Jadinya Jika Tidak Ada PDRI
Setelah pengembalian kedaulatan menyusul hasil Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949, Pandjaitan berdinas di Komando Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan. Dari Kapten, pangkatnya perlahan naik menjadi Mayor sementara pada 1952. Pada 1956, ia menjadi Letnan Kolonel dan pada 1960 naik lagi menjadi Kolonel.
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI-AD (1989), dia pernah menjadi Kepala Staf Divisi Sumatra Utara di Medan sejak 14 Desember 1949 lalu Kepala Seksi 2/Operasi Komando T&T I Bukit Barisan pada 1950. Pada 1952, dia dijadikan Wakil Kepala Staf Komando T&T II Sriwijaya di Palembang.
Setelah berdinas di Sumatera, dia diikutkan dalam Kursus Atase Militer pada 1956. Dia pun sempat dikirim ke Bonn, Jerman Barat, sebagai atase Militer. Menurut pengakuan Marietje, Pandjaitan pernah bertemu Baharuddin Jusuf Habibie muda yang kala itu kuliah di Jerman.
Menurut Suhario Padmodiwirjo alias Hario Kecik, seperti dicatat Antonius Sigit Suryanto dalam Suara di Balik Prahara, Pandjaitan, sebelum belajar di US Army Command and General Staf College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika pada 1963-1964, Pandjaitan pernah belajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (kini: Seskoad) Bandung sekitar 1960an. Dia satu kelas dengan Kolonel Soeharto yang baru saja kena kasus korupsi. Ketika Soeharto ditunjuk oleh Kolonel Soewarto menjadi ketua senat, Pandjaitan menolak keras karena citra buruk Soeharto dalam kasusnya di Jawa Tengah.
Ketika Ahmad Yani diangkat menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat, Pandjaitan diangkat menjadi Asisten 4/Logistik Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) sejak 1 Juli 1962. Posisi Menpangad itu kira-kira saat ini setara dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dalam jabatannya yang baru itu, mulanya ia masih berpangkat Kolonel. Tahun berikutnya Pandjaitan dapat bintang dan menjadi Brigadir Jenderal pada 1963. Posisinya sebagai orang dekat Yani membuatnya masuk daftar penculikan oleh kelompok perwira pimpinan Letnan Kolonel Untung.
Baca Juga: Para Jenderal Dari Tanah Batak
Dini hari 1 Oktober 1965, sepasukan penculik pimpinan Sersan Sukarjo menyatroni rumah Pandjaitan di Jalan Hasanuddin 53 Kebayoran Baru. “Gerombolan itu masuk ke halaman rumah dan melompati pagar karena pintu pagar terkunci,” tulis Marieke.
Pintu depan rumah Pandjaitan ditembaki. Hingga orang-orang di dalam rumah dan tidur di lantai dua pun terbangun. Di antara pasukan penculik yang sudah masuk rumah itu ada yang berteriak: “Cepat turun jenderal!”
Suasana itu membuat Pandjaitan mengambil pistol mitraliurnya yang ternyata macet. Demi keselamatan keluarganya, Pandjaitan pun terpaksa menemui gerombolan itu di lantai bawah dengan memakai pakaian militer. Juga dengan tanda pangkat jenderalnya. Namun, terdengar teriakan dari ponakannya, Albert, pada pamannya yang hendak turun menemui penculiknya. “Tulang, Tulang! Jangan Turun! Jangan Menyerah!”
Pandjaitan turun setelah berdoa lebih dulu. Dari kamarnya di lantai atas, Katherin, putrinya, melihat ayahnya berhadapan dengan para penculiknya. Pandjaitan yang relijius itu berdoa. Katherin melihat, tulis Marieke, “anggota gerombolan itu memukul kepala ayahnya yang sedang berdoa, yang langsung jatuh dan tembakan memberondong ayahnya.”
Setelah Pandjaitan tersungkur, para penculik menyeret sang jenderal ke dalam truk dan membawanya pergi ke Lubang Buaya dalam kondisi sudah menjadi mayat. Katherin akhirnya turun ke tempat ayahnya ditembak. Apa yang tertinggal hanyalah darah dan cairan otak serta sebagian rambut kepala ayahnya di lantai halaman depan garasi.
Beberapa hari kemudian, Pandjaitan bersama perwira lainnya ditemukan di sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Jenazah-jenazah itu kemudian dibawa di atas panser Saracen pada 5 Oktober 1965, tepat saat HUT ABRI ke-20, ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari itu, Pandjaitan yang dianumertakan sebagai Mayor Jenderal juga diangkat menjadi Pahlawan Revolusi.
Baca juga: Saracen, dari Perang Salib hingga Jenazah Pahlawan Revolusi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS