tirto.id - Hari ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) berulangtahun ke-71. Ada banyak cerita di balik TNI sejak pertama kali bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) lalu berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Cerita tentang perubahan nama itu orang sudah jamak tahu, tapi cerita mengapa Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar tentara bisa jadi masih menggelitik untuk disimak publik.
Kebetulan pula seorang kawan pada beberapa warsa silam pernah meminta saya untuk lebih detil menceritakan Sudirman, terlebih untuk mengupas Konferensi TKR 12 November 1945--di mana saat itu jabatan Panglima Besar TKR ditentukan. Walau saya bukan expert, melainkan sekadar penggembira kisah sejarah, saya tak keberatan. Hanya saja saya membayangkan tentu tak bisa terselesaikan dalam waktu yang cepat.
Syukurlah tempo yang saya bayangkan lama itu ternyata cepat tertebus. Ketika menyambangi sebuah toko buku, saya temukan biografi tentang Jenderal Sudirman yang ditulis oleh Sardiman. Buku ini terbitan tahun 2000 namun dicetak ulang baru Mei 2008 lalu. Soal Konferensi TKR disinggung cukup banyak meski tidak dalam kronologis yang benar-benar detil.
Intinya, untuk mengisi kekosongan pos panglima tertinggi TKR (karena Supriyadi yang tak kunjung muncul), Markas Besar Tertinggi TKR yang diorganisir Kepala Staf Letjen Urip Sumohardjo mengundang para pimpinan TKR se-Jawa dan Sumatera. Mereka yang mendapat kawat undangan adalah para komandan resimen dan divisi. Saat itu di Jawa ada 10 divisi dan Sumatera ada 6 divisi. Sementara resimen jumlahnya puluhan.
(Yang masih menjadi tanda tanya, ketika itu pada struktur di atas divisi ada institusi yang diberi nama komandemen. Jika divisi dikepalai kolonel, maka komandemen dikepalai seorang jenderal mayor. Jawa Barat misalnya, 3 divisi yang ada di situ di bawah Komandemen I yang dipimpin Didi Kartasasmita. Namun, dalam literatur manapun hak suara seorang kepala komandemen pada Konperensi TKR 1945 tak disebutkan sama sekali. Dan kemudian makin janggal, karena di antara nama-nama yang muncul sebagai kandidat panglima TKR nanti, tak satupun dari kepala komandemen.)
Pada hari H, 12 November bermunculan-lah para komandan TKR disertai pengawalnya di Yogya. Tak komplet memang. Sebagian komandan dari Jawa Timur tidak datang, karena masih sibuk menghadapi Inggris dalam peristiwa 10 November di Surabaya. Sedangkan dari 6 divisi di Sumatera, ternyata diwakili oleh satu perwira yakni Kolonel Moh Noeh. Walaupun demikian konferensi tetap dibuka pada pukul 10.00 WIB.
Urip Sumohardjo menjadi pimpinan rapat di sesi pertama. Saat memasuki agenda pemilihan panglima TKR, rapat menjadi ricuh karena masing-masing komandan tak siap membawa usulan siapa yang akan dijadikan panglima besar TKR. Dalam situasi ini, Sudirman yang saat itu Komandan Divisi V melakukan interupsi. Ia mengusulkan agar rapat di-skors sementara yang lalu disetujui perwira. (Keberanian Sudirman mengusulkan skors, bisa jadi poin tersendiri bagi kemenangannya dalam bursa calon panglima TKR, mengingat terbatasnya waktu yang dimiliki para komandan untuk men-scan calon pilihannya.)
Rapat sesi kedua dipimpin oleh Letkol Holland Iskandar. Kali ini jalannya rapat lebih lancar. Di papan tulis, beberapa nama terpampang masuk bursa calon panglima TKR. Persisnya ada 8 nama; (1) M Nazir - KNIL laut? (2) Sri Sultan HB IX - KNIL KMA Breda (3) Wijoyo Suryokusumo - ? (4) GPH Purwonegoro - ? (5) Urip Sumohardjo - KNIL Meester Cornelis (6) Sudirman - PETA (7) Suryadi Suryadarma - KNIL KMA Breda (8) M Pardi - KNIL Laut?.
Setelah disaring lewat beberapa tahapan, mengerucutlah pada 2 nama yakni Sudirman dan Urip. Setelah voting diperoleh hasil 22 suara mendukung Sudirman, sedangkan Urip didukung oleh 21 suara. Satu suara tambahan lagi diperoleh Sudirman dari wakil Sumatera, Kolonel Moeh Noeh yang mengaku mengantongi mandat 6 kepala divisi se-Sumatera. Jadilah Sudirman sebagai pemenang. Rapat juga memutuskan Urip tetap sebagai kepala staf dan yang tak diduga - karena bukan kewenangan tentara -, juga menunjuk Sri Sultan HB IX sebagai menteri pertahanan.
Terpilihnya Sudirman memang mengejutkan. Namun dalam buku tersebut, Sardiman juga menulis Sudirman bukanlah sosok yang coming from behind. Bakat kepemimpinannya sudah dikenal luas di kalangan perwira PETA, rekan satu korpsnya dulu. Dia lah perwira PETA yang mampu menjinakkan pemberontakan PETA Gumilir agar tak bernasib sama seperti pemberontakan PETA Blitar - yang berakhir dipenggalnya 6 perwira PETA. Sudirman pula yang memimpin para perwira PETA kharismatik yang tengah diisolasi Jepang di Bogor melarikan diri dari kamp, pada saat terjadinya proklamasi 1945.
Dan yang juga tak boleh diabaikan, kenyataan bahwa para komandan TKR pada saat berlangsungnya konperensi hampir semuanya alumnus PETA. Ambilah sampel komposisi panglima 16 divisi, hanya 2 yang berasal dari KNIL, yakni Divisi III Kolonel AH Nasution dan Divisi IV Kolonel Jatikusumo. Itupun Jatikusumo tak sepenuhnya beraoroma KNIL, karena ia pun sempat menjalani pendidikan PETA di Bogor. Para komandan dari PETA ini sebagian besar jelas ragu untuk memilih Urip mengingat ia sekian lama mengabdi untuk Belanda. Bagi mereka, lebih aman memilih Sudirman yang sesama PETA.
Sungguh pun demikian bukan berarti segalanya berjalan mulus. Pemerintah pusat rupanya ragu dengan pilihan para tentara. Baik Soekarno maupun PM Sjahrir tak yakin, Sudirman yang baru 2 tahun menjadi tentara bisa memanggul tugas berat memimpin TKR. Karenanya, dibutuhkan waktu lebih dari 1 bulan untuk melantik Sudirman. Itupun sebelum pelantikan, Soekarno konon meminta bicara 4 mata dengan Urip Sumohardjo mengenai kapabilitas Sudirman. Baru setelah Urip--yang mungkin sudah mengatasi kekecewaannya tak jadi panglima --menggaransi, Soekarno akhirnya mau melantik Sudirman pada 18 Desember 1945.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.