tirto.id - Perdana Menteri Sjahrir diculik pada 26 Juni 1946 di Solo. Sang Perdana Menteri dianggap lebih doyan berdiplomasi, dan secara peyoratif ia disebut kalangan oposisi sebagai pemimpin yang 'suka mengalah' pada Belanda. Kelompok yang berseberangan ini adalah orang-orang yang ingin "merdeka 100%" dari Belanda, yakni para pengikut Tan Malaka.
Robert Elson dalam Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005) mencatat: ada restu Soedirman (yang kala itu satu kubu dengan Tan Malaka) dalam aksi penculikan tersebut. Pemerintah kemudian berusaha menangkap dalang penculikan yakni Jenderal Mayor Sudarsono—yang memerintahkan Komandan batalyon penjaga kota A.K. Yusuf menculik Sjahrir.
Untuk menangkap Sudarsono, perintah jatuh kepada Letnan Kolonel Soeharto. Sekitar 2 Juli 1946, “di tengah-tengah suasana yang sedemikian tegang, di Markas Resimen [di] Wiyoro, saya kedatangan ketua Pemuda Pathuk, Sundjojo namanya. Sundjojo menjadi utusan Istana membawa pesan dari Presiden untuk saya,” aku Soeharto di buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).
Sundjojo bicara panjang lebar soal keadaan negara termasuk soal keterlibatan Sudarsono, lalu ia memerintahkan Soeharto untuk menangkapnya. Setelah Sundjojo, utusan lain pun datang. Kali ini sang utusan membawa Surat Perintah Presiden. Isi perintahnya pun sama. Sebagai bawahan langsung dari Jenderal Mayor Sudarsono, Soeharto merasa heran dengan perintah itu.
“Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” batin Soeharto.
Soeharto pun memutuskan untuk mengembalikan surat perintah dan minta agar perintah untuknya diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Bersamaan dengan itu saya memberi jaminan, segera Resimen III mengadakan siaga penuh untuk menjaga keselamatan negara dan kepala negara Republik Indonesia,” aku Soeharto.
Dari "pembangkangan" itu, Sukarno punya cap khusus pada Soeharto yang keras kepala dan enggan menjalankan perintah Presiden. Sang panglima tertinggi lantas menyebut letkol sebagai "ofsir koppig" (perwira keras kepala). Tak heran jika setelah Ahmad Yani meninggal, bukan Soeharto-lah yang dijadikan caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat (KSAD).
Setelah pasukan disiagakan, Soeharto menghadap Jenderal Mayor Sudarsono, tertuduh kudeta yang merupakan panglima divisinya. Dia tidak memberitahu pada Sudarsono ihwal perintah untuk menangkapnya. Apa yang Soeharto laporkan ialah "adanya informasi yang belum jelas, yang akan menculik Jenderal Mayor Sudarsono.”
Soeharto bahkan menyarankan kepada atasannya yang sedang berada dalam bahaya itu untuk mengamankan diri di Markas Resimen III di Wiyoro. Sudarsono mengikuti saran bawahannya.
Jelang Magrib, mobil Sudarsono tiba di markas resimen tanpa pengawal. Keluar dari mobil, Soeharto diperlihatkan telegram yang isinya memerintahkan Sudarsono untuk menghadap. Soeharto pun menyertakan pasukan pengawal untuk menjaga Sudarsono. Jelang waktu salat Isya, Soedirman menelpon Soeharto untuk memberitahu agar Sudarsono tetap di Markas Resimen III saja. Namun, Sudarsono sudah pergi dan baru muncul tengah malam di markas resimen.
Sudarsono tak datang sendiri kali ini. Soeharto mengenali orang-orang yang ikut bersama-sama Sudarsono, yakni pemimpin-pemimpin politik yang baru saja dikeluarkan dari Rumah Tahanan Wirogunan. Sudarsono berkata kepada Soeharto bahwa dirinya diberi kuasa Panglima Soedirman untuk menghadap presiden esok hari di Istana.
“Wah keterlaluan Panglima saya ini, dikira saya tak mengetahui persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tak ada jalan lain selain balas ngapusi dia,” batin Soeharto. Malam itu juga, tentu tanpa sepengetahuan Sudarsono, pihak istana dilapori soal rencana Jenderal Mayor Sudarsono itu.
Pada 3 Juli 1946, tepat hari ini 73 tahun lalu, Jenderal Mayor Sudarsono beserta pemimpin politik yang bebas dari Wirogunan itu menuju istana di pagi hari, dalam kawalan pasukan pimpinan Sersan Gudel. Setibanya di depan Istana Negara Gedung Agung, pasukan pengawal istana dan presiden melucuti mereka. Haram hukumnya seorang tentara, bahkan jenderal sekalipun, membawa senjata apapun ketika hendak menemui presiden.
Pagi itu, Hatta sedang mengobrol dengan Mr. Abdulmadjid, kawan Hatta di Perhimpoenan Indonesia. Tiba-tiba seorang pengawal menghampiri Hatta dan Hatta diminta datang oleh Presiden Sukarno. Sukarno sedang bersama Sudarsono. Begitu Hatta tiba, Sukarno menunjukkan sebuah surat yang isinya meminta agar Kabinet Sjahrir dibubarkan dan dibentuk kabinet baru. Surat itu, menurut Sudarsono, berasal dari Jenderal Soedirman.
“Aku tidak percaya. Sebab itu aku pergi ke kamar sebelah, menelpon kepada Jenderal Oerip Soemohardjo, menanyakan di mana pada waktu itu Panglima Soedirman. Sekaligus aku ceritakan isi surat yang dibawakan oleh Jenderal Sudarsono. Jenderal Oerip menjawab, bahwa Panglima Besar Soedirman mustahil membuat surat semacam itu kepada Presiden,” tulis Hatta.
Sementara itu, Sudarsono ngotot. Ia mengatakan beberapa orang pemimpin politik sipil yang ikut bersamanya bisa bersaksi bahwa surat itu benar-benar dari Soedirman. Sukarno dan Hatta sepakat bahwa yang dilakukan Sudarsono dan kawan-kawan politikus sipilnya adalah sebuah kudeta. Sejarah mengenangnya sebagai Kudeta 3 Juli 1946, kudeta pertama dalam sejarah Republik Indonesia.
Menurut Elson, apa yang dipaparkan Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989) yang ditulis Ramadhan K.H. adalah upaya Soeharto memposisikan diri sebagai orang netral. Mengenai pemimpin-pemimpin politik yang ikut Sudarsono, Soeharto tak menyebut secara jelas nama-nama mereka. Begitu juga dalam memoar Hatta, Mohammad Hatta Memoir (1979).
Namun, dalam memoar Mangil Martowidjojo berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, ajudan kepercayaan Sukarno ini mencatat beberapa nama, yakni: “Jenderal Mayor Sudarsono Panglima Divisi III; Mr. Achmad Subardjo; Mr. Iwa Kusumasumantri; Sukarni; Chaerul Saleh; Sajuti Melik, dan istri (SK Trimurti); dr. Buntaran; Mr. Mohammad Yamin, dan Tan Malaka sebagai pemimpinnya.”
Di antara nama-nama yang disebut itu, belakangan ada yang masih bisa menjadi menteri, bahkan digelari Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Dari segi perlakuan terhadap pelaku kudeta, kudeta ini adalah kudeta yang penuh ampunan.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 3 Juli 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Maulida Sri Handayani