Menuju konten utama

Sejarah Lagu Genjer-Genjer, Penciptanya, & Benarkah Terkait PKI?

Berdasarkan sejarah lagu "Genjer-Genjer" tidak diciptakan untuk kampanye politik PKI, melainkan untuk mengkritik penjajahan Jepang di Banyuwangi.

Sejarah Lagu Genjer-Genjer, Penciptanya, & Benarkah Terkait PKI?
Bing Slamet, salah satu penyanyi yang mempopulerkan lagu 'Genjer-genjer' ciptaan M.Arif. FOTO/Istimewa

tirto.id - Lagu "Genjer-Genjer" merupakan lagu berbahasa Jawa Osing yang memiliki sejarah panjang. Masih ada banyak orang yang antipati dengan lagu ini karena dinilai terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun, benarkah lagu "Genjer-Genjer" adalah lagu PKI dan penciptanya adalah bagian dari PKI?

Kasus PKI di Indonesia memang sebuah peristiwa kelam dan traumatis bagi mayarakat. Sejak Orde Baru hingga saat ini hal-hal yang berkaitan dengan PKI sangat dibenci oleh banyak pihak, termasuk simbol, ideologi, dan tentu saja musik.

Lagu "Genjer-Genjer" adalah salah satunya. Setelah peristiwa PKI 1965 pecah, lagu tersebut dilarang untuk disiarkan, diputar, atau bahkan dinyanyikan karena dianggap sebagai lagu PKI.

Misalnya, pada tahun 2009 Solo Radio FM yang memutar lagu "Genjer-Genjer" didatangi sekelompok orang yang mengaku dari Laskar Hizbullah. Para anggota laskar kemudian menuntut pihak radio untuk meminta maaf.

Selain itu, pada tahun 2017 sempat terjadi pengepungan oleh masa di acara 'Asik-Asik Aksi' yang digelar di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Massa mengklaim bahwa ada salah satu peserta acara yang menyanyikan lagu "Genjer-Genjer."

Sejarah dan Pencipta Lagu "Genjer-Genjer"

Pencipta lagu "Genjer-Genjer" adalah sosok seniman Osing asal Bayuwangi, M.Arief. Lagu tersebut ia tulis pada 1942, jauh sebelum peristiwa PKI Madiun 1948 atau Gerakan 30 September (G30S) PKI 1965.

Utan Parlindungan dalam studinya yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2014) menyatakan bahwa lagu "Genjer-Genjer" diciptakan untuk mengkritik penjajahan Jepang.

Kata 'genjer' pada lirik lagu "Genjer-Genjer" merujuk pada tanaman akuatik genjer (Limnocharis flava). Saat masyarakat Banyuwangi di bawah penjajahan Jepang, kelaparan terjadi di mana-mana.

Alhasil, masyarakat memanfaatkan apa yang ada untuk dijadikan makanan, termasuk tanaman genjer yang saat itu dianggap sebagai gulma dan dipakai sebagai pakan ternak.

Setelah Indonesia merdeka dan terlepas dari pengaruh Jepang pada 1945, M. Arief bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra sendiri merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri yang didirikan oleh petinggi PKI, yaitu DN Aidit.

Menyusul bergabungnya si pencipta lagu ke Lekra, lagu "Genjer-Genjer" yang begitu sederhana dan mudah dihapalkan digunakan untuk kepentingan politik PKI. Lagu itu selalu diputar dalam berbagai kegiatan kampanye PKI.

"Bahkan berkumandang di setiap kegiatan yang melibatkan anggota dan simpatisan PKI," catat Parlindungan dalam studinya.

Lagu "Genjer-Genjer" semakin populer setelah dinyanikan ulang oleh penyanyi kenamaan negeri kala itu, yaitu Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962. Hingga tahun 1963, lagu ini masih sering diputar pada siaran RRI dan TVRI.

Beberapa tahun setelah peristiwa G30S/PKI lirik lagu lagu "Genjer-Genjer" mulai diplesetkan oleh sejumlah pihak. Lirik lagu yang diplesetkan menggambarkan betapa sadisnya perlakuan PKI dan Gerwani terhadap jenderal-jenderal yang mereka culik.

Lirik plesetan itu semakin menyebabkan pemerintah Orde Baru melarang pemutaran lagu tersebut. Siapapun yang berani memutar atau menyanyikan lagu "Genjer-Genjer" bisa ditangkap.

Kesan komunisme dari lagu "Genjer-Genjer" semakin diperkuat dengan tayangnya film kontroversial berjudul Pengkianatan G 30/S PKI (1984). Salah satu bagian film menggambarkan adegan fiktif para anggota Gerwani menyilet wajah para jenderal sambil mendendangkan lagu ini.

Benarkah Lagu "Genjer-Genjer" Terkait PKI?

Sesuai dengan catatan sejarah, lagu "Genjer-Genjer" tidak diciptakan untuk mendukung kegiatan politik PKI, melainkan penyampaian kritik terhadap penjajahan Jepang.

Bahkan, Parlindungan mengungkapkan bahwa lagu ini merupakan salah satu karya terbaik yang pernah diciptakan oleh anak negeri. Hal ini karena lagu "Genjer-Genjer" dianggap mampu menghidupkan semangat perjuangan rakyat dalam melawan kolonialisme dan imperialisme di Banyuwangi.

Alasan ini juga yang menyebabkan PKI begitu tertarik mengadopsi lagu tersebut sebagai bagian dari kepentingan politik mereka.

Sayangnya, rangkaian peristiwa kelam yang terjadi di dalam negeri menyebabkan lagu "Genjer-Genjer" mengalami perubahan esensi dan substansi secara drastis. Lagu yang awalnya merupakan kritik pada Penjajahan Jepang, kini diidentikan sebagai menjadi lagu milik organisasi berpaham komunisme yang dilarang di Indonesia.

Lirik Lagu "Genjer-Genjer" dan Artinya

Lagu "Genjer-Genjer" dinyanyikan dalam bahasa Osing, yaitu bahasa dari sebuah suku yang berasal dari Banyuwangi. Berikut lirik lagu "Genjer-Genjer" beserta artinya:
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler

(Genjer-genjer di petak sawah berhamparan)

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler

(Genjer-genjer di petak sawah berhamparan)

Emake thulik teko-teko mbubuti genjer

(Ibu si bocah datang mencabut genjer)

Emake thulik teko-teko mbubuti genjer

(Ibu si bocah datang mencabut genjer)

Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih

(Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat)

Genjer-genjer saiki wis digawa mulih

(Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang)

Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar

(Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar)

Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar

(Genjer-genjer isuk-isuk dijual ke pasar)

Dijejer-jejer duintingi padha didhasar

(Ditata berjajar diikat pada digelar)

Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar

(Ditata berjajar diikat pada digelar)

Emake jebeng padha tuku nggawa welasan

(Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa belasan)

Genjer-genjer saiki wis arep diolah

(Genjer-genjer sekarang akan diolah).

Baca juga artikel terkait LAPSUS KESAKTIAN PANCASILA atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya