tirto.id - Lagu “Genjer-Genjer” merupakan lagu kritik sosial yang liriknya ditulis oleh Muhammad Arif. Pada liriknya, penulis lagu menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat Banyuwangi kala penjajahan Jepang di Indonesia.
Muhammad Arif merupakan seniman asal Banyuwangi. Pria yang dicatat sebagai pencipta lagu “Genjer-Genjer” ini aktif di organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Pada 1942, Muhammad Arif menulis lagu “Genjer-Genjer” demi mencitrakan kehidupan rakyat Banyuwangi. Hal itu disampaikan melalui tumbuhan “genjer” yang notabene adalah makanan untuk hewan ternak.
Kendati kenyataannya begitu, namun lagu ini pada akhirnya mendapatkan citra buruk karena dianggap sebagai lagu PKI (Partai Komunis indonesia).
Hal ini juga terjadi karena lagu tersebut dibawakan di salah satu adegan film dokumenter peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
Lantas, apa makna sebenarnya lagu ini dan mengapa beberapa orang menganggap lagu ini negatif?
Makna dan Sejarah Lagu Genjer-Genjer
Sudah disebut bahwa Muhammad Arif menciptakan lagu untuk menggambarkan situasi yang ada di masa penjajahan Jepang. Masyarakat Banyuwangi kala itu merasakan kesengsaraan, baik itu sosial maupun ekonomi.
Seperti ungkapan Ruddy Eppata Cahyono dalam skripsinya (2010, hlm. 4), dengan kata lain, Muhammad Arif memanfaatkan kolonialisasi sebagai inspirasi penciptaan lagu. Untuk mengetahui maknanya, mari lihat sebagian lirik lagu di bawah ini.
Emake jebeng padha tuku nggawa welasan
(Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa belasan)
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
(Genjer-genjer sekarang akan diolah)
Berdasarkan lirik di atas, dapat dilihat bahwa “genjer” yang merupakan makanan untuk hewan ternak akhirnya diolah oleh manusia.
Kondisi masyarakat yang tidak baik mengharuskan mereka mengonsumsi makanan yang sebenarnya bukan untuk mereka.
Pada 1962, Bing Slamet dan Lilis Suryani menyanyikan ulang lagu “Genjer-Genjer”. Berkat ini, lagu tersebut dianggap sebagai lagu populer dan pihak PKI memanfaatkannya sebagai keperluan politik.
Kisah kesengsaraan yang sudah populer pada masanya ini akhirnya dicap sebagai lagu kebangsaan PKI. Berbeda dengan sebelumnya, nyatanya lagu ini ditujukan sebagai gambaran masyarakat Banyuwangi yang kesulitan makan.
Sejarah pemberian citra negatif terhadap lagu “Genjer-Genjer” terlihat pasca G30S/PKI. Di masa tersebut, ada beberapa media yang sengaja menulis berita mengenai lirik lagu dalam sebuah kertas.
Nyatanya, lirik yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang ditulis Muhammad Arif.
Pada masa Orde Baru, yakni Pemerintahan Soeharto, lagu “Genjer-Genjer” semakin disudutkan. Pada 1984, Pusat Produksi Film Negara (PPFN) membuat film dokumenter pengkhianatan PKI.
Di dalam sinema tersebut, lagu “Genjer-Genjer” dinyanyikan kala para anggota PKI melakukan tari Harum Bunga—tarian yang dianggap tidak senonoh.
Kendati seperti itu, film ini tetap merupakan film produksi Pemerintahan Soeharto. Kenyataan tentang tarian dan nyanyian yang hanya terdapat dalam film tidak dapat dipastikan kebenarannya ketika peristiwa G30S/PKI yang sebenarnya terjadi.
Namun, pemutaran film pengkhianatan tersebut diputar selama Soeharto memimpin Indonesia. Setiap tahun, masyarakat menerima sudut pandang pemerintahan Soeharto dalam melihat lagu “Genjer-Genjer”.
Lalu, bagaimana lirik lagu “Genjer-Genjer” tersebut?
Lirik Lagu Genjer-Genjer
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
(Genjer-genjer di petak sawah berhamparan)
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
(Genjer-genjer di petak sawah berhamparan)
Emake thulik teko-teko mbubuti genjer
(Ibu si bocah datang mencabut genjer)
Emake thulik teko-teko mbubuti genjer
(Ibu si bocah datang mencabut genjer)
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
(Dapat sebakul dia berpaling begitu saja tanpa melihat)
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
(Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang)
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
(Genjer-genjer pagi-pagi dijual ke pasar)
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar
(Genjer-genjer isuk-isuk dijual ke pasar)
Dijejer-jejer duintingi padha didhasar
(Ditata berjajar diikat pada digelar)
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar
(Ditata berjajar diikat pada digelar)
Emake jebeng padha tuku nggawa welasan
(Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa belasan)
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
(Genjer-genjer sekarang akan diolah)
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yandri Daniel Damaledo