tirto.id - Dalam kereta ekonomi yang membawa saya dari Jember menuju Banyuwangi, 2010 silam, pikiran saya penuh oleh adegan di film Pengkhianatan G 30/S PKI. Dalam film propaganda buatan 1984 itu, salah satu adegan yang paling membuat bulu kuduk meremang adalah ketika anggota Gerwani mengelilingi para jenderal yang ditawan, lalu menyilet wajah mereka, diselingi nyanyian "Genjer-Genjer."
Setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang, barulah semua mulai terang. Film Pengkhianatan murni fiksi, termasuk adegan Gerwani menyilet wajah para Jenderal sembari bersenandung "Genjer-Genjer." Meski sejarah September 1965 mulai benderang, lagu itu tetap berada di sisi gelap sejarah Indonesia.
Sekitar setahun sebelum pergi menuju Banyuwangi, saya mendengar cerita tentang Rudolf Dethu yang didatangi oleh aparat. Saat itu Dethu mengasuh program The Block Rocking' Beats. Acara di radio online ini memutarkan daftar lagu para narasumber. Hari itu, narasumbernya adalah Adib Hidayat, managing editor majalah Rolling Stone Indonesia. Dalam 33 lagu daftar lagu yang berkesan baginya, ada "Genjer-Genjer."
"Gerwani. PKI. Cakrabirawa. Orde Baru. Soeharto! Lagu yang tidak ada hubungan dengan PKI! Agitasi murahan nan cerdik dari Orde Baru," tulis Adib.
Selepas memutar lagu itu, Dethu didatangi aparat. "Biasalah, disuruh hati-hati karena bisa dianggap pro-PKI, subversif. Hari gini?” kata Dethu.
Lagu Kritik Sosial dari Banyuwangi
Muhammad Arief adalah seniman Using masyhur dari Banyuwangi yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1942, ia menciptakan lagu "Genjer-Genjer" sebagai gambaran kondisi warga Banyuwangi saat penjajahan Jepang. Sebelum penjajahan Jepang, genjer (Limnocharis flava) adalah tumbuhan untuk makanan ternak. Ketika Jepang jadi penjajah, banyak warga kelaparan dan terpaksa memakan tumbuhan yang awalnya dianggap hama itu. Salah satu liriknya adalah:
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca
Genjer-genjer dipangan musuhe sega
Jika diterjemahkan menjadi:
Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambu
Genjer-genjer sekarang akan dimasak
Genjer-genjer masuk periuk air mendidih
Setengah matang ditiriskan untuk lauk
Nasi sepiring sambal jeruk di dipan
Genjer-genjer dimakan bersama nasi
“Genjer-Genjer” menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet, juga Lilis Suryani pada tahun 1962. Pada masa pemerintahan Sukarno, banyak musikus memainkan lagu ini di istana. Kepopuleran lagu ini lantas dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia untuk berkampanye. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas kembali populer di kalangan akar rumput. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat.
Setelah terjadi peristiwa 30 September 1965, beberapa media seperti Angkatan Bersendjata, koran Pantjasila, dan Berita Yudha memuat berita tentang secarik kertas berisi notasi lagu "Genjer-Genjer". Notasi dan lirik lagu di kertas itu berbeda dengan lirik aslinya. Media-media itu juga menurunkan berita bohong tentang penyiksaan para jenderal.
Baca Juga:
Propaganda akan kesadisan yang dilakukan PKI membuat rakyat Indonesia marah. Maka terjadilah sejarah kelam dalam buku besar bernama Indonesia: pembantaian anggota PKI. Tercatat 1 hingga 1,5 juta orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh. Dalam artikel berjudul "Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant," Ben Anderson, seorang Indonesianis, mengutip perkataan Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan bahwa korban pembantaian mencapai 3 juta orang.
Propaganda terhadap lagu "Genjer-Genjer" semakin langgeng karena film Pengkhianatan. Lagu itu kemudian menjadi sinonim PKI, dan karenanya dibenci sekaligus ditakuti. Utan Parlindungan dalam Mitos Genjer-Genjer: Politik Makna dalam Lagu (2014), menyebut lagu "Genjer-Genjer" sebagai, "bid'ah, larangan terkutuk yang menyetarakannya seperti hukum Tuhan, dalam kitab-kitab suci agama samawi" karena propaganda Orde Baru.
Di Banyuwangi, jejak "Genjer-Genjer" bisa dilacak melalui Andang Chatif Yusuf. Budayawan Banyuwangi ini pernah menjadi Koordinator Sastra LEKRA Banyuwangi, sekaligus teman baik Arief. Saya berkesempatan menemuinya di 2010, ketika keinginan mencari tahu tentang "Genjer-Genjer" amat menggebu.
Saat penangkapan anggota PKI terjadi hampir di seluruh Indonesia, Andang turut ditangkap bersama Arief. Mereka berdua dikurung di Penjara Lowokwaru, Malang, selama 106 hari tanpa proses pengadilan. Namun pada hari ke 107, nasib berbeda memisahkan keduanya. Andang dipindah ke Banyuwangi, dan Arief, menurut pengakuan sipir, dipindah ke Sukabumi. Tapi ia tak bisa ditemui.
"Arief diselesaikan," ujarnya lirih.
Diselesaikan adalah istilah yang ia pakai untuk menyebut dibunuh. Andang sempat berusaha mencari tahu jejak Arief, tapi hasilnya nihil. Hingga sekarang, mayat maupun kuburan M. Arief tidak pernah ditemukan.
Selain Andang, saya sempat berusaha mencari tahu keberadaan keluarga Arief. Tapi usaha itu dihentikan oleh penghubung (fixer) saya. Ia mengatakan bahwa keluarga Arief terpencar, dan citra buruk masih menimpa keluarga malang ini. Penghubung itu menyarankan saya tak usah mencari keluarga Arief.
Saya baru tahu tentang kabar keluarga Arief melalui berita sedih yang dimuat banyak media pada 2014 silam. Berita yang dilansir Kompas itu mengabarkan bahwa Sinar Syamsi, anak lelaki Arief, masih terus mendapat teror. Pada September 1965, rumahnya dihancurkan massa. Selepas itu, Syamsi mendapat teror dalam bentuk lain. Ia berulang kali kena pemecatan sepihak dari tempatnya kerja. Saat berusaha melamar kerja, ia ditolak karena cap sebagai keluarga PKI.
Dampak propaganda Orde Baru memang amat dahsyat. Bahkan sebuah lagu yang diciptakan pada 75 tahun lalu masih berhasil dianggap mengerikan dan membawa identitas sebagai lagu komunis. Lagu itu juga kerap menjadi senjata untuk menyerang orang yang berseberangan pendapat.
Tahun 2009, Solo Radio FM yang memutar lagu "Genjer-Genjer" didatangi sekelompok orang yang mengaku dari Laskar Hizbullah. Para anggota laskar itu menuntut pihak radio meminta maaf. Kejadian yang sama terulang pada Minggu, 17 September 2017, saat massa anti demokrasi mengepung acara 'Asik-Asik Aksi' yang digelar di gedung Lembaga Bantuan Hukum.
Menurut massa, ada lagu "Genjer-Genjer" yang dinyanyikan oleh salah satu peserta. Lagu itu, menurut mereka lagi, "adalah nyanyian para Gerwani yang identik dengan PKI." Padahal, dalam acara itu tak ada penampil yang memainkan lagu "Genjer-Genjer."
Baca juga:Tak Ada Nyanyian "Genjer-Genjer" di Gedung LBH Jakarta
Melihat bagaimana masih ada orang-orang yang ketakutan pada "Genjer-Genjer" membuktikan setidaknya dua hal. Pertama, propaganda puluhan tahun Orde Baru masih kuat menancap di sebagian orang. Kedua, jalan menuju sejarah Indonesia yang terang masih amat panjang, dan tentu saja melelahkan. "Genjer-Genjer" menjadi salah satu indikatornya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani