Menuju konten utama

Kebangkitan PKI & Film G30S/PKI: Propaganda Palsu yang Tak Laku

Isu kebangkitan PKI tak dipercaya masyarakat. Tapi tetap saja itu berdampak buruk. Salah satunya menghambat penyintas memperoleh hak-haknya.

Kebangkitan PKI & Film G30S/PKI: Propaganda Palsu yang Tak Laku
Kolase foto kampanye PKI saat Pemilu 1955. LIFE/Howard Sochurek

tirto.id - Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) bak ‘ritus’ tahunan yang muncul menjelang 1 Oktober. PKI, partai antikolonial pertama yang menggunakan nama ‘Indonesia’, dilarang pada 1966. Anggota dan simpatisannya dibantai habis oleh rezim Soeharto di awal berdirinya Orde Baru.

Tahun ini isu kebangkitan PKI lagi-lagi digaungkan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Gatot sudah rutin mengumandangkan isu itu sejak ia menjabat sebagai orang nomor satu di angkatan bersenjata tiga tahun lalu. Bedanya, saat ini ia terang-terang menyebut ada PKI di balik Presiden Joko Widodo.

Tapi isu itu tampaknya tidak begitu laku. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Rabu (30/9/2020) sore membuktikan itu. Survei dilakukan sepanjang 23 sampai 26 September 2020.

Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abas mengatakan 64 persen responden mengaku tidak tahu ada isu kebangkitan PKI saat ini. Hanya 36 persen responden yang tahu. Dari total responden yang tahu, terdapat 38,7 persen mengaku setuju dengan isu kebangkitan PKI. Sedangkan 60,6 persen—atau 22 persen dari total populasi—mengaku tidak setuju dengan isu itu.

“Itu artinya, pada September 2020, terhadap 14 persen populasi yang mengaku tahu dan setuju,” kata Abas saat konferensi pers.

Survei nasional dari lembaga yang sama sama, dilakukan sepanjang Juni 2016 sampai September 2019, menemukan isu kebangkitan PKI hanya disetujui 10-16 persen. Itu artinya sejak bertahun-tahun lalu tak banyak yang berubah.

Dari 14 persen populasi yang mengaku tahu dan setuju dengan adanya kebangkitan PKI, 79 persen di antaranya—atau 11 persen dari populasi—menilai bahwa PKI sudah menjadi ancaman nyata. Dari 11 persen yang menilai PKI sudah menjadi ancaman nyata, umumnya, 69 persen—atau 8 persen dari populasi—merasa bahwa pemerintah tidak tegas sama sekali atas ancaman tersebut.

Isu kebangkitan PKI kerapkali dikaitkan dengan relasi antara Indonesia dan Cina, hanya karena negara itu di atas kertas menganut komunisme dengan satu partai tunggal. Survei ini menemukan 47 persen responden setuju bahwa kerja sama antara Indonesia-Cina adalah murni bisnis yang saling menguntungkan dan tak ada kaitan sama sekali dengan paham komunisme.

“Sementara 26 persen setuju dengan pendapat kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunisme dan PKI di Indonesia,” kata Abas.

Film (Propaganda) G30S/PKI

Salah upaya upaya Gatot menggaungkan isu kebangkitan PKI adalah dengan meminta warga—dan juga para prajurit saat masih menjadi panglima—untuk menonton kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI besutan Arifin C. Noer yang terbit pada 1984. Film itu disetel di TVRI oleh Orde Baru setiap tahun.

Saat Orde Baru runtuh, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah—kabinet Presiden Habibie—memutuskan menghentikan kewajiban menayangkan film itu baik oleh TVRI dan televisi swasta, per 30 September 1998. Alasannya: film itu bernuansa pengkultusan tokoh dan tidak sesuai lagi dengan cita-cita reformasi serta mendiskreditkan Angkatan Udara.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan propaganda kebangkitan PKI tak ubahnya upaya memundurkan reformasi yang sebenarnya belum tuntas sepenuhnya hingga saat ini. Misalnya, itu menghambat upaya membangun TNI yang lebih profesional dan tidak sekadar jadi alat kepentingan politikus yang kebetulan sedang berkuasa.

Selain itu, ini juga merupakan upaya untuk “membela versi sejarah yang sebenarnya merupakan fiksi, atau sejarah yang mengalami fiksionalisasi, sejarah versi Orde Baru,” kata Usman, Rabu sore.

“Di antaranya adalah kekejaman Gerwani. Itu tak lebih menjadi upaya mendiskreditkan dan melemahkan gerakan perempuan, dan keterlibatan perempuan di dalam politik, dengan segala rekayasa dan manipulasi yang terjadi terhadap enam jenderal. Itu pembunuhan yang harus kita kutuk. Harus ada pelaku yang dimintai pertanggungjawaban. Namun, bukan dengan satu propaganda kotor untuk menyudutkan gerakan perempuan,” katanya.

Beberapa manipulasi sejarah yang ditampilkan dalam film itu adalah: para jenderal disayat-sayat; tarian harum bunga Gerwani; sampai Aidit perokok berat.

Usman menilai isu kebangkitan PKI hanyalah upaya politik yang dipakai segelintir kalangan untuk menarik dukungan orang Islam dan militer ke dalam satu arena politik yang menyudutkan tokoh politik tertentu.

Politisasi ini, meski survei menunjukkan lebih banyak yang tidak percaya, tetap saja memberikan dampak buruk. Salah satunya memberikan sentimen negatif ke para penyintas korban tragedi 1965 dan menggagalkan perjuangan mereka mendapatkan hak-hak rehabilitasi.

Pada 8 Agustus 2012, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan bernomor No.33P/HUM/2011 yang menyatakan Keprres No.28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G30S/PKI Golongan C batal demi hukum. Publik mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan rehabilitasi.

“Presiden saat itu sudah membuat draf untuk kebijakan rehabilitasi, namun segelintir orang memainkan propaganda kotor yang menyebut pemerintah akan meminta maaf ke PKI. Padahal itu cuma menindaklanjuti putusan MA, untuk rehabilitasi korban-korban Golongan C,” katanya.

Kasus lainnya politisasi isu kebangkitan PKI, lanjut Usman, kerap digunakan untuk meredam suara kritis yang mengganggu politik dan bisnis.

Pada akhirnya ia menilai isu kebangkitan PKI “tidak membawa pengetahuan baru terhadap kasus 1965, malah jauh dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Baca juga artikel terkait ISU PKI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino