tirto.id - Saina, gadis berusia 17 tahun tiba-tiba menjadi sensasi nasional setelah muncul di sebuah surat kabar ibu kota, dua bulan pasca peristiwa pembunuhan enam Jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965 dini hari. Sebelumnya, perempuan muda lainnya bernama Jamilah sudah lebih dahulu menjadi buah bibir hingga mendapat julukan “Srikandi Lubang Buaya”.
Saina dan Jamilah bukan dikenal berkat kisah heroiknya, melainkan karena dugaan penyiksaan dan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap tujuh orang personel militer yang diculik malam sebelumnya. Saskia Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan (2010: hlm.449) menyebut cerita penyiksaan itu setidaknya muncul dalam pemberitaan empat surat kabar sejak 5 Oktober 1965.
Menurut sumber koran yang dikumpulkan Wieringa, ketika terlibat dalam peristiwa berdarah itu Jamilah masih berusia 15 tahun dan sedang hamil tiga bulan. Diberitakan bahwa ia dan suaminya, anggota Pemuda Rakyat Tanjung Priok, tiba di Cililitan pada 29 September untuk berpartisipasi dalam latihan Ganyang Malaysia. Mereka dijemput oleh pimpinan PKI yang tidak disebutkan namanya.
“Pada hari itu dan hari-hari berikutnya kami berlatih dan kira-kira pada jam tiga pagi kami dibangunkan. Dari jauh kami lihat seorang gemuk pendek datang dengan mengenakan piyama. Tangannya diikat kain merah, juga matanya diikat kain merah. Ton, pimpinan kami memerintahkan untuk memukul orang tersebut, lalu mulailah dengan pisau itu mereka melukai kemaluannya,” aku Jamilah seperti dikutip oleh Wieringa.
Kisah yang dituturkan Jamilah itu berdampak luar biasa guna membakar situasi dalam negeri yang memang sedang gawat. Beritanya bahkan sempat dilansir oleh penulis-penulis asing, salah satunya jurnalis asal Sri Lanka bernama Tarzie Vittachi yang menuliskan dalam bukunya The Fall of Sukarno (1967: hlm.80).
“Tidak diragukan lagi tubuh para Jenderal itu telah dimutilasi dengan kejam. Salah seorang anggota Gerwani sekaligus istri anggota PKI yang terlibat dalam kejadian di malam itu, Nona Jamilah yang masih berusia 15 tahun, memberikan keterangan kepada Djakarta Daily Mail,” tulis Vittachi.
Pemberitaan itu juga membuat Presiden Sukarno murka. Pada pidato tanggal 12 Desember, ia sampai meminta agar para jurnalis tidak menulis berita yang menyesatkan. Menurut sejarawan Universitas Cornell Benedict Anderson dalam artikel “How Did The Generals Die?” yang dipublikasikan jurnal Indonesia (1987: hlm.113), walaupun pamornya semakin melemah, Sukarno masih terus berusaha membendung gelombang kekerasan dengan mendesak agar hasil autopsi jenazah para korban segera diumumkan.
Di lain pihak, pengakuan Saina yang dipublikasikan serempak di beberapa surat kabar ibu kota pada 13 Desember 1965 bunyinya lebih gila lagi. Menurut sejumlah pemberitaan, Saina mengaku telah melakukan tarian cabul bernama Tari Harum Bunga sambil diiringi lagu Genjer-Genjer selama masa pelatihan di Lubang Buaya.
Tarian itu dilakukan bersama 199 perempuan lainnya dengan disaksikan 400 laki-laki. Mereka berlomba dalam ritual seks massal sambil melukai para petinggi militer untuk memenangkan hadiah Kuda Emas yang dijanjikan oleh Ketua CC PKI DN Aidit.
Tarian yang Menebar Fitnah
Dalam narasi sejarah Orde Baru, Tari Harum Bunga identik dengan lagu Genjer-Genjer yang dipopulerkan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani pada 1962.Keduanya kerap disebutkan sering dimainkan bersama dalam sebuah ritual pembunuhan di Lubang Buaya.
Dalam Kamus Gestok (2003: hlm.114), Hersri Setiawan, sastrawan yang menjadi eks tapol Pulau Buru, menjelaskan Tari Harum Bunga diciptakan oleh anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) cabang Jawa Tengah yang bernama Suyud. Namun, Setiawan tidak menjelaskan lebih jauh kapan dan untuk tujuan apa tarian tersebut diciptakan.
Satu hal yang diketahui, Suyud cukup mendapat perhatian dari para pembesar PKI berkat karya-karyanya. Menurut Michael Bodden dalam “Dynamics and tensions of LEKRA’s Modern National Theatre, 1959-1965” yang disunting Jennifer Lindsay ke dalam Heirs to World Culture: Being Indonesian, 1950-1965 (2012: hlm.474), sejak pertengahan 1950-an, Sujud sudah dikenal sebagai pencipta drama tarian ulung yang kerap menyisipkan pesan anti-kapitalisme dalam tari ciptaannya.
Pada bulan Mei 1965, Suyud pun dilibatkan dalam penggarapan sendratari bertajuk “Djajalah Partai dan Negeri” yang digelar selama tiga hari untuk memperingati hari ulang tahun PKI. Ada puluhan tari tradisional yang dipentaskan dengan melibatkan tidak kurang dari 150 penari dan 400 penyanyi. Pagelaran diakhiri dengan puisi pendek yang ditulis oleh Aidit.
Strategi kampanye ideologi partai yang digagas PKI bersama Lekra itu berhasil menarik simpati dari berbagai media massa. Di antara surat kabar yang terbit sekitar bulan Mei hingga Juni 1965, hanya koran-koran militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha saja yang memberikan penilaian buruk dengan menyebut tarian-tarian buatan orang-orang Lekra sebagai “penggambaran yang tidak akurat tentang proklamasi kemerdekaan.”
Sikap permusuhan terhadap tarian-tarian ciptaan seniman-seniman Lekra semakin meruncing pasca 1 Oktober 1965. Saat tengah mengumpulkan bahan penelitian gerakan perempuan Indonesia pada 1980-an, Saskia Wieringa tidak dapat menutupi perasaannya yang berkecambuk begitu mendapati banyak kampanye kebudayaan seputar keganjilan Tari Harum Bunga yang konon dibawakan oleh perempuan-perempuan Gerwani.
Cerita teror di balik Tari Harum Bunga yang disebarkan oleh Saina dan Jamilah kepada awak media terlihat seperti sebuah panggung pertunjukan yang dipenuhi banyak sekali lakon. Wieringa bahkan masih ingat perbedaan wajah dan perawakan antara Saina yang menjadi narasumbernya dengan foto-foto “terdakwa” yang tersebar di sejumlah surat kabar tentara di tahun 1965.
“Koran tentara Berita Yudha memuat dongeng yang sama dengan dilengkapi potret ‘Saina’ [dalam tanda petik] yang sama sekali tidak ada miripnya dengan Saina yang kelak penulis wawancarai,” tulis Wieringa (hlm.458).
Mereka yang Jadi Korban
Menurut Wieringa, cerita-cerita tentang Tari Harum Bunga yang tersebar di surat kabar berasal dari sebuah perngadilan yang digelar berdasar bukti-bukti yang sangat lemah. Ada kemungkinan kesaksian Saina dan Jamilah merupakan tindakan manipulasi yang sudah persiapkan dengan rapi tanpa melibatkan kesaksian anggota-anggota asli Gerwani.
Penelusuran Wieringa menemui titik cerah setelah mendapati bahwa kampanye teror itu ditebar atas “bantuan” para perempuan tuna susila. Mereka merupakan perempuan-perempuan pekerja seks komersial yang beroperasi di sekitar daerah pangkalan angkatan udara milik TNI di Halim. Di antara mereka ada pula perempuan biasa yang menjadi korban salah tangkap.
“Ada dua orang pelacur bernama Saina dan Emmy. Dua orang pelacur ini ditangkap dan disiksa habis-habisan. Emmy yang asli berhasil melarikan diri, tetapi Saina tertangkap,” papar Wieringa (hlm.433).
Fakta yang yang ditemukan Wieringa itu didukung oleh cerita yang dituturkan Mujiyati, putri Ketua RT di sekitar kawasan Slipi, Jakarta Barat, yang ditahan di Bukit Duri akibat tuduhan menyediakan tempat pertemuan bagi anggota PKI.
Kepada Fransisca Ria Susanti dalam Kembang-Kembang Genjer (2006: hlm.144), Mujiyati mengaku pernah mendengar cerita tentang perempuan bernama Jamilah yang sangat jago menembak. Namun, begitu Mujiyati berjumpa dengan Jamilah di Bukit Duri, sosoknya begitu berbeda dengan apa yang diberitakan.
Berdasarkan catatan Ria Susanti yang disarikan dari kesaksian Mujiyati, Jamilah memiliki nama asli Jumilah. Dia bukan seorang PSK, melainkan pengantin baru dari Jawa Timur yang baru saja tiba di Jakarta. Jumilah ditangkap Corps Polisi Militer (CPM) karena kedapatan berkeliaran pada malam hari. Pasca peristiwa Lubang Buaya, pemberlakuan jam malam memang sangat ketat, siapa pun yang tertangkap akan langsung dituduh sebagai simpatisan PKI.
“Jumilah inilah yang kemudian dipaksa mengganti namanya menjadi Jamilah dan disuruh mengakui skenario penyiksaan di Lubang Buaya yang telah dibuat lebih dulu oleh pemeriksanya,” tulis Ria Susanti (hlm.146).
Pendapat tersebut dibenarkan oleh Kartinah, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerwani. Di buku yang sama, Kartinah menyebut ada banyak sekali perempuan korban salah tangkap berusia 13-16 tahun yang ditahan di Bukit Duri. Sebagian di antara mereka bahkan tidak bisa membaca, tidak tahu apa itu Gerwani atau Tari Harum Bunga.
“Para tahanan remaja inilah yang dikutip oleh media massa, terutama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, sebagai perempuan ‘Gerwani’ yang menari-nari telanjang di Lubang Buaya dan mencungkil mata para Jenderal,” lanjut Ria Susanti mengutip kesaksian Kartinah (hlm.74).
Anggota DPP Gerwani Sudjinah dalam kesaksiannya di buku Terempas Gelombang Pasang (2003: hlm.47) dengan tegas mengatakan, tarian telanjang yang disebut Tari Harum Bunga justru terjadi di dalam Penjara Kodam Jaya dan Penjara Bukit Duri.
Para penarinya merupakan perempuan-perempuan remaja yang ditangkap di sekitar Halim dan Lubang Buaya pada pagi tanggal 1 Oktober 1965. Tidak jarang, ada beberapa perempuan yang sengaja ditangkap dan dibebaskan berulang kali hanya agar bisa dipaksa menari-nari sambil dipotret.
Seorang anggota organisasi bernama Siti Arifah mengaku kepada Saskia Wieringa, ia merupakan satu dari beberapa sukarelawati yang dikirim ke Lubang Buaya pada malam 30 September atas permintaan partai.
Namun, bukannya melakukan kegiatan pelatihan seperti diinstruksikan, para perempuan ini malah dibiarkan menganggur semalam suntuk lantaran fasilitas dapur umum yang seharusnya mereka gunakan tidak dapat berfungsi.
“Saya ditangkap pada jam sembilan pagi, lalu ditahan selama dua minggu. Saya diinterogasi dan dicambuki. Mereka memaksa kami membuka pakaian dan menari-nari telanjang di depan mereka, sementara yang lain mengambil foto kami. Lalu saya dibebaskan,” aku Arifah.
Pada 1976, di hadapan persidangan subversi yang menjerat Sudjinah dan kawan-kawannya sesama pembela Sukarno, sempat terjadi desakan agar para remaja yang diduga sukarelawati itu juga diajukan ke pengadilan untuk membuktikan apakah mereka benar-benar bersalah. Tuntutan yang diajukan Sudjinah tidak pernah ditanggapi secara serius.
Sebaliknya, cerita-cerita fitnah tentang perempuan-perempuan yang melakukan tarian telanjang Harum Bunga semakin langgeng dalam narasi sejarah Orde Baru. Gambaran ini pula yang menjadi hiasan relief di kaki Monumen Pancasila Sakti yang diresmikan pada 1 Oktober 1973.
Editor: Eddward S Kennedy