Menuju konten utama

Biografi Pierre Tendean Pahlawan Revolusi Termuda Korban G30S 1965

Kapten Pierre Tendean jadi idola gadis sejak memulai riwayat pendidikan di ATEKAD. Wajahnya tampan dan berparas bule. Baca biografi Pierre Tendean di sini.

Biografi Pierre Tendean Pahlawan Revolusi Termuda Korban G30S 1965
Pierre Tendean. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kapten Pierre Tendean menjadi korban dalam sejarah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Jenazah Pierre Tendean ditemukan di Lubang Buaya bersama jasad beberapa petinggi militer Angkatan Darat (AD). Para korban ini kemudian dianugerahi kenaikan pangkat anumerta dan gelar Pahlawan Revolusi.

Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (1978) mengungkapkan bahwa G30S atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) alias Gestok (Gerakan Satu Oktober) merupakan peristiwa yang terjadi lewat malam 30 September sampai awal 1 Oktober 1965 yang mengakibatkan sejumlah perwira militer meninggal dunia.

Orde Baru menyebut peristiwa tersebut dengan G30S/PKI 1965 alias usaha kudeta oleh PKI dengan mengincar para petinggi militer. Namun, narasi sejarah itu dinilai tidak objektif. Sejarawan Asvi Warman Adam mengajukan istilah yang lebih objektif yakni Gerakan 30 September berdasarkan nama gerakan yang disampaikan oleh para pelakunya sendiri.

Saat terjadi penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira militer, Pierre Tendean dikira Jenderal Abdul Haris (A.H.) Nasution oleh para penculiknya, padahal ia adalah ajudan sang jenderal. Peristiwa yang terjadi di kediaman Nasution malam itu juga menewaskan putri tercintanya, Ade Irma Suryani.

Biografi Pierre Tendean dan Karier Militernya

Pierre Andries Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Riwayat pendidikan Pierre Tendean dan karier militernya dimulai di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD). Berparas macam bule, Pierre Tendean kala itu menjadi idola para gadis di lingkungannya.

“Sejak menjadi taruna Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), Letnan Satu Pierre [Tendean] telah menjadi pusat perhatian gadis-gadis remaja,” sebut Masykuri dalam buku Pierre Tendean (1983).

Setelah lulus, Pierre Tendean diberikan jabatan sebagai Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II di Bukit Barisan, Medan, Sumatera Utara, pada 1961 dengan menyandang pangkat letnan dua.

Bentuk perjuangan Pierre Tendean dalam menjaga martabat bangsa bisa dilihat saat dirinya bertugas di anggota Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD). Saat terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, pemuda berdarah Manado yang punya garis keturunan dari Prancis ini mendapat tugas penyusupan ke negeri jiran.

Pada April 1965, Pierre Tendean ditunjuk sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini Panglima TNI). Saat itu, pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Satu.

Sejarah Pierre Tendean dalam Peristiwa G30S 1965

Malam tanggal 30 September 1965 jelang dini hari 1 Oktober 1965, sejumlah orang bersenjata mendatangi rumah dinas Jenderal A.H. Nasution di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, Lettu Pierre Tendean sedang tidur di paviliun di samping rumah sang jenderal.

Keributan bahkan suara tembakan yang terdengar membuat Pierre Tendean terbangun dan bergegas menuju ke rumah. Jenderal Nasution sendiri berhasil lolos dengan melompati pagar, sementara putri, Ade Irma Suryani, terkena tembakan.

Hendrianti Sahara yang merupakan kakak pertama Ade Irma Suryani mengenang tragedi itu. “Saat kejadian, saya lari dari terjangan peluru,” sebutnya seperti dikutip dari tulisan Choirul Huda (2015) dengan judul “50 Tahun Gugurnya Ade Irma Suryani dalam Kenangan Kakak Tercinta”.

“Kami mengumpet hingga suasana reda. Ketika itu, ayah sudah melompat ke kediaman tetangga, Kedutaan Besar Irak. Kaki saya mendapat luka. Tapi, yang lebih sedih ketika saya dan ibu melihat Ade bersimbah darah. Waktu itu saya masih berusia 13 tahun dan Ade baru 5 tahun,” tambah Hendrianti Sahara.

Sementara itu, dalam suasana gelap, orang-orang bersenjata yang datang tak diundang itu mengira Pierre Tendean adalah Jenderal Nasution. Sang ajudan segera ditangkap dan dibawa dengan truk menuju kawasan Lubang Buaya.

Di sana, Pierre Tendean ditembak mati. Jenazah Pierre Tendean bersama beberapa jasad petinggi militer AD ditemukan pada 3 Oktober 1965 di dalam sumur tua di Lubang Buaya.

Beberapa korban jiwa lainnya selain Lettu Pierre Tendean dalam tragedi penculikan dan pembunuhan di Jakarta itu, di antaranya adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen Mas Tirtodarmo (M.T.) Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen Donald Isaac Panjaitan, Mayjen R. Suprapto, serta Bripka Karel Sadsuitubun yang merupakan Pengawal Wakil Perdana Menteri Dr. I. Leimena.

Peristiwa serupa juga menimpa dua perwira militer AD di Yogyakarta. Kejadian pada 1 Oktober 1965 itu memakan korban jiwa yakni Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono.

Tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun TNI atau ABRI, Pierre Tendean dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Sebagai bentuk penghormatan, para perwira militer yang gugur dalam peristiwa G30S 1965 diberi kenaikan pangkat secara anumerta serta ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Untuk Lettu Pierre Tendean, pangkatnya menjadi Kapten Czi. (Anumerta).

Baca juga artikel terkait EDUKASI atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis