tirto.id - Di mata Sukarno, Federasi Malaysia adalah boneka Inggris. Berdirinya Malaysia dianggap bukan semata hadiah Inggris, melainkan siasat negara-negara imperialis untuk mengacaukan Asia Tenggara.
Dalam perundingan di London pada Oktober 1961, diputuskan Federasi Malaysia terdiri atas Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei. Keputusan itu dicurigai Sukarno sebagai politik belah bambu solidaritas negara-negara Melayu dalam menghadapi neokolonialisme dan neoimperialisme.
“Indonesia mencurigai adanya intrik-intrik Inggris dan sangat tidak suka dengan fakta bahwa Federasi Malaysia akan didirikan pada tanggal 16 September (1963),” tulis Baskara Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika Konflik Perang Dingin 1953-1963 (2008).
Sementara Tunku Abdul Rahman, saat itu pemimpin terkemuka di Malaysia dan kelak menjadi Perdana Menteri pertama, menyatakan: “Federasi Malaysia akan tetap diresmikan pada tanggal itu [16 September], terlepas apakah hasil jejak-pendapat yang diselenggarakan PBB menunjukkan bahwa rakyat Serawak dan Sabah ingin bergabung atau tidak.”
Sukarno tidak tinggal diam. “Tanggal 16 September 1963, Indonesia dan Filipina secara bersama mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengakui Federasi Malaysia secara diplomatik,” tulis Willem Oltman dalam buku Bung Karno Sahabatku (2001).
Pemuda-pemuda Malaysia pun bereaksi. Mereka melempari Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Pada 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Di Indonesia, pada 18 September 1963, menurut Oltmans, kaum muda Indonesia juga bereaksi dengan menyerbu Kedutaan Malaysia dan Inggris.
Masih menurut Oltmans, pihak kedutaan Inggris bukannya meredam melainkan memperumit masalah. “Duta besar Inggris Sir Andrew Gilchrist kemudian menyuruh atase militernya menaiki atap rumah untuk secara provokatif menyajikan sebuan konser doedelzak (alat musik tradisional). Tindakan tersebut menyulut kemarahan para penyerbu. Mereka mendobrak pagar dan membakar [mobil] Rolls Roys Duta Besar,” kata Oltmans.
Setelah saling serang kedutaan, perang tertutup pun terjadi di sekitar perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan. Indonesia mengerahkan apa yang disebut sukarelawan-sukarelawan Dwikora. Bukan militer reguler resmi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang paling banyak dikirim ke garis depan.
Kendati cukup banyak pula anggota ABRI yang jadi sukarelawan tersebut. Salah satu dari relawan itu terdapat bakal Panglima ABRI, Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani. Selain Benny Moerdani, Sintong Pandjaitan juga nyaris dikirim ke perbatasan. Kala itu, Sintong adalah salah satu komandan peleton Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dalam kompi yang dipimpin Faisal Tanjung. Namun ia tak jadi diterjunkan dalam operasi untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia.
Setelah 25 September 1963, kata-kata "Konfrontasi Malaysia" dan "Ganyang Malaysia" pun jadi kata-kata yang populer di Indonesia. “Slogan Ganyang Malaysia paling suka diucapkan oleh golongan elit politik di Jakarta dalam rangka memberikan lip-service kepada politik Sukarno,” tulis Hario Kecik dalam buku Pemikiran Militer 3: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010).
Meski politik konfrontasi Malaysia adalah kemauan Presiden Sukarno, namun tak semua mendukungnya.
“Sudah sejak awal Angkatan Darat tidak sungguh-sungguh mendukung kebijaksanaan konfrontasi terhadap Malaysia,” tulis Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008). Kala itu, Angkatan Darat dipimpin Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani. Tak hanya Yani, Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution juga tak menyukai kampanye ini.
Mereka yang tak suka konfrontasi pun tak tinggal diam. “Belakangan Yani dan stafnya merekrut Suharto untuk memainkan peranan rahasia yang penting dalam usaha mereka untuk menggembosi konfrontasi, kampanye anti-Malaysia Sukarno,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2006).
Yani sebenarnya masih berusaha mengakomodasi agenda Sukarno, dan memang dipilih oleh Sukarno untuk mengurangi peran Nasution, tidak terang-terangan menentang Sukarno. Sedangkan Nasution, yang di bulan-bulan terakhir menjelang Tragedi 1965 kian terkucil, lebih terbuka menyatakan keinginan menempuh jalan damai dengan Malaysia (Franklin B. Weinstein, Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy, hal 55).
John Roosa juga mencatat, ada inkonsistensi di kalangan perwira.Pada mulanya, kata Roosa, jenderal-jenderal Angkatan Darat tidak menentang kampanye yang dilontarkan pada September 1963 karena kampanye itu membuahkan kenaikan dana. Situasi menjadi lain ketikapertempuran-pertempuran kecil menghebat dalam pertengahan sampai akhir 1964. Mereka sadar, lawan yang dihadapi sukarelawan Dwikora itu dibekingi dengan kuat oleh Inggris. Pasukan khusus Inggris, juga Australia, ikut dikerahkan. Seperti Special Air Service (SAS) maupun Gurkha. Bukan lawan yang mudah.
“Mereka ingin mencegahnya berkembang menjadi perang besar melawan militer Inggris, yang melindungi Malaysia,” tulis John Roosa.
Lagi pula, pihak Angkatan Darat menganalisis bahwa kampanye konfrontasi ini akan sangat menguntungkan Partai Komunis Indonesia. Menguatnya poros Jakarta-Peking yang ikut mewarnai bulan-bulan menjelang 1965, bagi Angkatan Darat, adalah ancaman serius. Gagasan Angkatan Kelima, yang salah satunya disosialisasikan untuk mengobarkan perlawanan terhadap Nekolim, dicemaskan akan membuat PKI (dan pengaruh Peking) semakin kuat.
Meski ada bantuan militer dari Inggris, menurut Oltman, Malaysia sebenarnya dalam posisi yang benar-benar cemas menyikapi agresifitas kampanye Ganyang Malaysia. Oltman pernah mengunjungi Menteri Penerangan, Bin Abdul Rahman. Oltman menyebut: “Dengan sangat mengejutkan, dia mengatakan kepada saya bahwa pemerintah Malaysia benar-benar takut.”
“[Indonesia] melakukan suatu operasi subversif yang sangat rahasia dengan nama sandi Zeus. Sudah berpuluh-puluh agen rahasia Indonesia yang masuk negara kami lewat Singapura. Apalagi Peking terang-terangan berpihak pada Sukarno yang menyebabkan bertambahnya rasa tak menentu di pihak kami,” terang Menteri Rahman kepada Oltman.
Menurut Oltman, Republik Rakyat Tiongkok tak suka dengan adanya militer-militer dari negara Barat macam Inggris dan Amerika di sekitar Asia. Sukarno, kata Oltman, menginterpretasikan sikap itu sebagai suatu bentuk pengkhianatan terhadap Asia yang otonom dan bebas.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS