tirto.id - Tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia sangat marah saat bendera Merah Putih ditempatkan dalam posisi terbalik dalam buku panduan yang dicetak panitia penyelenggara SEA Games 2017. Dengan segala sejarah dan rekam jejak dinamika hubungan antara Indonesia-Malaysia, reaksi kemarahan itu sama sekali tidak mengejutkan.
Kesalahan tersebut jelas keteledoran yang memalukan. Bagusnya Malaysia cepat tanggap. Tak kurang dari Menteri Olahragaya yang langsung meminta maaf atas kecerobohan tersebut. Mereka mengaku(i) lalai dan salah.
Saya bisa memahami kemarahan dan kekesalan masyarakat Indonesia. Namun, saya pribadi menganggap bahwa kita tidak berada dalam posisi moral yang lebih tinggi dalam urusan hormat-menghormati simbol negara. Kita sebenarnya tak lebih baik.
Bukan sekali dua kali lagu kebangsaan negara lain yang sedang menjadi lawan tanding tim nasional Indonesia di Gelora Bung Karno (GBK) atau di stadion-stadion lain mendapatkan ejekan dari suporter Indonesia.
Sebagai orang yang rutin hadir di stadion kala tim nasional Indonesia bertanding, menyaksikan lagu kebangsaan orang lain diteriaki merupakan pemandangan biasa yang memilukan, juga memalukan. Ini tak hanya berlaku untuk negara tertentu saja, katakanlah Malaysia, tapi hampir untuk semua negara.
Bahkan kemarin, saat tim nasional Indonesia bertanding melawan Timor Leste di Sea Games 2017, suporter Indonesia mencemooh lagu kebangsaan Timor Leste. Apa dosa Timor Leste kepada Indonesia? Karena memilih merdeka? Tapi bukankah (pemerintah) Indonesia banyak melakukan kekerasan di Timor saat mereka masih menjadi bagian Indonesia? Peristiwa Santa Cruz dan Balibo, misalnya, memperlihatkan betapa berdarahnya militer Indonesia demi mempertahankan kekuasaan di Timor.
Pada Piala AFF 2010, misalnya, dalam pertandingan pertama di babak grup melawan Malaysia, cemoohan terjadi ketika lagu "Negaraku" dikumandangkan. Ini tak bisa dibenarkan, namun menimbang aspek psikologis dan historis, bisalah dimengerti. Namun pada pertandingan berikutnya melawan Laos, lagu kebangsaan mereka pun kita teriaki. Memangnya apa yang pernah Laos lakukan kepada Indonesia?
Meneriaki lagu kebangsaan lawan telah menjadi rutinitas pra-pertandingan yang selalu dilakukan saban tim nasional lain bertandang di sini untuk melawan tim nasional Indonesia. Tindakan macam itu dianggap benar dengan dalih perang psikologis untuk menekan mental lawan.
Pertanyaannya: benarkah tekanan mental seperti itu efektif? Saya ragu. Tujuan mencemooh kebangsaan lawan sebagai senjata psikologis untuk menjatuhkan mental lawan sangat mungkin malah memacu spirit dan motivasi lawan menjadi lebih berlipat ganda.
Sebelum berlaga di final sepakbola SEA Games 2011 di GBK, tim Malaysia disambut dengan berbagai aksi yang menyerupai teror. Dari mulai lemparan ke bis dari jalan hingga pintu masuk stadion, ejekan dan hinaan, hingga cemoohan saat lagu kebangsaan mereka dimainkan yang, saking kerasnya, membuat lagu tersebut tenggelam oleh teriakan penonton Indonesia.
Pelatih Malaysia ketika itu, Ong Kim Swee, menjadikan teror tersebut sebagai medium memompa spirit para pemainnya. Ia mengatakan, “Mereka tidak menghormati kita. Mereka tidak menghormati bendera kita. Jika kamu membiarkan ini terjadi, kalian adalah pengecut.”
Hasilnya? Malaysia berhasil mengalahkan teror GBK dan pulang membawa pulang medali emas. Mereka menjadi jaura di hadapan seratus ribuan suporter Indonesia yang di awal laga mencemooh lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku".
Ada banyak pernyataan yang mencoba menyangkal argumentasi-argumentasi di atas. Ada yang mengatakan: tidak apple-to-apple membandingkan keteledoran panitia Malaysia dengan kelakuan suporter Indonesia di stadion. Saya merasa jika memang tidak apple-to-apple, itu pasti karena Panpel Malaysia telah meminta maaf karena kecerobohan dan kita tidak pernah melakukannya. Mereka mengaku tidak sengaja, dan semata-mata karena kelalaian. Apakah suporter Indonesia juga tidak sengaja saat (selalu) mencemooh lagu kebangsaan orang?
Beberapa mencoba menyanggah argumentasi saya dan mengatakan: negara lain pun mencemooh lagu "Indonesia Raya" saat dikumandangkan di stadion milik negara lain. Saya tidak tahu apakah yang mengatakan hal itu pernah menonton Indonesia bertanding di laga tandang. Tapi berdasarkan pengalaman mengikuti tim nasional Indonesia berlaga tandang sejak 2010, saya tidak pernah mendengar "Indonesia Raya" dicemooh ketika dikumandangkan di tanah asing.
Friksi dan saling ejek adalah hal biasa ketika dua negara berlaga di lapangan, namun ketika lagu kebangsaan dilantunkan, semua tahu batas. Seperti halnya bendera nasional tak boleh jatuh menyentuh tanah, demikian juga dengan kekhidmatan yang harus dijaga ketika lagu kebangsaan sedang dimainkan.
Bahkan dalam dunia suporter olahraga yang paling beringas pun ada kode etik yang diam-diam disepakati dan dipraktikkan.
Tahun lalu saya bepergian mengikuti timnas Inggris bertandang ke Berlin untuk melawan musuh bebuyutannya, Jerman. Cerita tentang kelakukan suporter Inggris dan segala ketidakpatutan yang menyertainya sudah banyak diketahui. Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka bernyanyi soal Perang Dunia II, soal menembaki jatuh pesawat Jerman, dan berbagai hal yang tidak layak. Namun ketika lagu kebangsaan Jerman diputar, tak ada yang bersuara. Demikian juga dengan suporter tuan rumah yang menutup mulut ketika "God Save The Queen" dilantunkan. Ada marka yang tak boleh dilanggar. Respek adalah hasil simbiosis dua arah.
Sukar mengambil kesimpulan bahwa perilaku ini hanya eksklusif milik suporter olahraga dan kelas sosio-ekonomi tertentu saja. Saya mendengar kesaksian beberapa kawan yang hadir dalam konser Coldplay di Bangkok beberapa bulan lalu. Ketika lagu kebangsaan Thailand dan prosesi menghormati raja dilakukan, sebagian besar penonton asal Indonesia malah menyanyikan "Indonesia Raya". Ini chauvinisme yang -- dari sisi kepatutan -- juga sama menyedihkannya. Dengan asumsi orang-orang berkemampuan ekonomi yang lebih baik (dan berpendidikan lebih baik pula) yang dapat melancong lintas negara, termasuk nonton Coldplay di Bangkok, rupanya kecupetan dalam memandang simbol negara dilakukan oleh orang-orang dari berbagai level sosial.
Saya jadi berpikir: jangan-jangan sikap buruk terhadap simbol negara lain adalah refleksi tak sadar dari pandangan kita terhadap simbol negara sendiri. Kesal dan marah ketika simbol Indonesia direndahkan orang lain adalah respons yang bisa dipahami. Namun bagaimana pada hari-hari lainnya? Kapan terakhir Anda memberi hormat pada Merah Putih? Apakah Anda otomatis berdiri ketika "Indonesia Raya" dikumandangkan di mana pun tempatnya dan bagaimana pun situasinya?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.