tirto.id - Waktu itu, Jawa Tengah sedang rawan. Ada simpul Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Amir Fattah. Letnan Kolonel Ahmad Yani pun menggalang Gerakan Banteng Nasional dan sebuah pasukan khusus. Menurut Amelia Yani dalam Ahmad Yani Profil Sang Prajurit (1990), Yani dipinjami pasukan bekas anak buah Andi Azis, mantan KNIL yang terlibat dalam Peristiwa Andi Azis di Makassar, 1950.
Pasukan ini dikerahkan melawan Angkatan Oemat Islam. Sebelum diterjunkan, pasukan ini dilatih dulu di Magelang. Kemudian, pasukan khusus itu dikembangkan lagi, personelnya diambil dari batalyon-batalyon dalam Tentara & Teritorial Diponegoro, Jawa Tengah. Pasukan ini kemudian dikenal sebagai Banteng Raiders.
Pasukan pendahulu komando Diponegoro ini setidaknya pernah melakukan dua gerakan militer penting terhadap DI/TII. Pada bulan “Mei 1952 dan Juni 1954—yang satu ditujukan terhadap DI di hutan-hutan sebelah selatan Pekalongan dan lainnya dimaksudkan mencegah pasukan DI menerobos penjagaan dan lolos ke Jawa Barat,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam Sebuah Pemberontakan (1995).
Pasukan yang didirikan Ahmad Yani belakangan berkembang hingga setingkat batalyon dan bermarkas di Srondol, jalan poros Yogyakarta-Semarang dan sebelum 1966 dikenal sebagai Batalyon 454.
Menurut Letnan Jenderal Purnawirawan Suyono yang pernah ditugaskan di batalyon ini pada 1966, batalyon ini adalah salah satu dari sedikit kesatuan yang anggotanya tinggal di kesatriaan/asrama sendiri (Benny Butarbutar, Soeyono: Bukan Puntung Rokok, 2003). Semasa dinasnya di sini, Suyono masih bertemu perwira atau bintara warisan didikan KNIL. Batalyon ini punya prosedur dan administrasi yang tertib. Manajemen pemeliharaan, sistem pengaturan makan prajurit, manajemen amunisi, angkutan dan perminyakan, terbilang tertib.
Setelah didirikan Yani, pada 1953 pasukan Banteng Raiders ini mulai dipimpin Kapten Hardoyo. Setelah Hardoyo (1953-1954), menurut catatan di blog Benteng Raiders, posisi komandan diisi oleh Sugiono (1954-1957), Ciptono (1957-1959), Yasir Hadibroto (1959-1960), Sahirman (1960-1961), Ali Ebram (1961-1963) Untung (1963-1964), Sukirna (1964-1965), Mursidik (1965-1967) lalu Rudini (1967-1970) dan seterusnya. Selain nama-nama tadi, Ali Murtopo yang jadi menteri kepercayaan Soeharto di masa Orde Baru juga pernah menjadi salah satu komandan kompi pasukan ini.
Setelah DI/TII, pasukan ini pernah dikerahkan dalam operasi militer menumpas PRRI di Sumatera dan pembebasan Irian Barat. Pasukan andalan yang letaknya berada di wilayah KODAM Diponegoro ini adalah pasukan pemukul penting. Pasukan Banteng Raiders punya pasukan terjun payung. Tak heran, setelah operasi pembebasan Irian Barat, selain menjadi bagian dari Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Soeharto, ada juga yang ditarik ke pasukan pengawal Presiden Cakrabirawa.
Ali Murtopo adalah salah satu perwira yang ditarik ke Kostrad dan menjadi perwira intel andalan Soeharto yang terkenal dengan Operasi Khusus (Opsus). Sementara itu, bekas komandan Banteng Raiders Batalyon 454, Ali Ebram ditarik ke Cakrabirawa. Dialah pengetik naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memberi wewenang kepada Suharto untuk memulihkan keamanan.
Dalam pengakuannya di buku Misteri Supersemar (2006) karya Eros Djarot dkk, dia melihat bagaimana Mayor Jenderal Amir Mahmud memaksa Sukarno. Melihat kelakuan jenderal tak sopan itu, “saya rasanya ingin merogoh pistol saya,” aku Ebram. Setelah peristiwa Supersemar, Ebram terlupakan dari panggung sejarah. Pangkatnya mentok di letnan kolonel.
Letnan Kolonel Sugiono, salah satu korban G30S di Kentungan dan juga Pahlawan Revolusi, juga pernah menjadi bagian Banteng Raiders ketika masih berpangkat kapten. Selain Ali Ebram dan Sugiono, perwira dari 454 Banteng Raiders yang paling sohor di Cakrabirawa adalah Untung. Dialah komandan Gerakan 30 September 1965 yang menculik perwira tinggi Angkatan Darat, salah satunya Ahmad Yani, pendiri Banteng Raiders. Pasukan yang dilibatkan Untung adalah pasukan dari Letnan Satu Dul Arif, yang juga berasal dari Banteng Raiders 454.
Setelah kudeta gagal itu, Untung si penerima Bintang Sakti atas aksinya di Papua ini diadili secara kilat dan dihukum mati pada 1966. Dul Arif dan pasukannya pun menjadi buram nasib dan karir militernya. Ada anggota yang terlibat, dihukum mati, dan juga penjara.
Menurut kesaksian Suyono, ada juga anggota yang dipulihkan lewat screening pasca-G30S. Screening itu dilakukan untuk menangkal komunisme di kalangan tentara agar tak ada lagi oknum macam Untung. Setelah G30S pula, Batalyon Infanteri Raider 454 yang berubah menjadi Batalyon 401 belakangan berubah lagi menjadi Batalyon 400. Tetap dikenal sebagai pasukan pemukul juga.
Selain punya mantan perwira yang menjadi korban seperti Yani dan Sugiono dan juga jadi pelaku macam Untung, dari Batalyon 454 juga ada bekas komandan yang berperan penting dalam pembabatan PKI di Jawa Tengah. Yasir Hadibroto dan pasukannya menangkap Dipa Nusantara Aidit, Ketua CC PKI.
“DN Aidit minta ditembak dan saya tembak,” aku Yasir Hadibroto di kemudian hari, seperti dikutip Murad Aidit dalam Aidit Sang Legenda (2005). Karir Yasir setelahnya cerah. Dia pernah menjadi Panglima KODAM Diponegoro Jawa Tengah dan Bukit Barisan di Sumatra. Dia bahkan pernah menjadi anggota DPR Gubernur Lampung.
Perwira Banteng Raiders lain adalah Rudini. Setelah G30S, ia menduduki posisi komandan batalyon pada 1967-1970, ketika beberapa anggota batalyon ini masih menjalani screening. Sebelumnya, dia adalah wakil komandan batalyon (wadanyon). “Pangkat Mayor akhirnya berada di pundak Rudini tatkala ia dilantik sebagai Wadanyon 401/Banteng Raiders,” tulis Hendrajit dalam Rudini, Jejak Langkah Sang Perwira (2005).
Setelah jadi komandan, dia sempat berpangkat mayor juga. Rudini adalah bekas pimpinan Banteng Raiders yang kemudian menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Hanya saja, nama jabatannya berbeda dengan di era Yani. Di era Yani, posisi itu namanya Panglima Angkatan Darat (Menpangad), sedangkan di era Rudini menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Alumni Akademi Militer Breda, Belanda ini juga pernah menjabat Menteri Dalam Negeri kabinet Pembangunan V. Tentu di era Soeharto.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani