tirto.id - Enam hari menjelang lebaran, 19 Februari 1963, orang-orang wara-wiri di halaman Istana Merdeka, Jakarta. Suasana ramai dan sibuk. Rupanya, sebuah upacara buat menyambut kepulangan tentara Indonesia dari operasi Trikora di Irian Barat sedang dipersiapkan.
Sekitar pukul 09.00 pagi, sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2008), “Presiden Sukarno, didampingi Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto, menerima secara resmi kedatangan Batalyon 454/Para Diponegoro.”
Komandan batalyon itu adalah Mayor Untung Sjamsuri. Bersama Sukarno dan Soeharto, ia memeriksa jajar kehormatan pasukan Lintas Udara (Linud) Kostrad di halaman Istana Merdeka. Kelak, banyak anggota Batalyon 454/Banteng Raiders bergabung dengan pasukan Kostrad di bawah kepepimpinan Soeharto, dan sebagian yang lain, termasuk Mayor Untung, ditarik ke resimen pengawal presiden Cakrabirawa.
Atas jasa dan keberaniannya dalam operasi Trikora, Untung mendapat penghargaan Bintang Sakti dari Presiden. Ia, menurut buku Gerakan 30 September Dihadapan Mahmilub 2 Di Djakarta: Perkara Untung (1966), baru berusia 36 tahun pada waktu itu.
Untung bukanlah nama aslinya. Menurut Julius Pour dalam Ignatius Slamet Rijadi (2008), ia sebenarnya bernama Kusman. Ia adalah salah satu komandan peleton Batalyon Sudigdo yang terlibat Peristiwa Madiun 1948, namun lolos dari pembersihan karena, salah satunya, Agresi Militer Belanda II pada akhir tahun 1948. Konon, ia menggunakan nama Untung sejak 1950an, sedangkan Sjamsuri, yang ia pakai sebagai nama belakang, adalah nama paman yang membesarkannya di Solo.
Pada 1958, Untung terlibat dalam penumpasan PRRI di Sumatra Barat sebagai Letnan Satu dalam pasukan Tentara dan Teritorium (TT) Diponegoro. Kala itu, Panglima Diponegoro adalah Soeharto, dengan pangkat kolonel.
Pada upacara penyambutan pasukan Trikora, ada satu tentara lain yang berpangkat sama dengan Untung dan juga mendapatkan Bintang Sakti, ialah Leonardus Benyamin Moerdani alias Benny Moerdani.
Benny berasal dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Dalam operasi Trikora, ia memimpin pasukan Naga di Merauke (sedangkan Untung bertugas di pasukan Serigala di Sorong). Seperti Untung yang lebih tua enam tahun darinya, Benny pun terlibat dalam penumpasan PRRI di Sumatra, tepatnya di Riau.
Keduanya sudah angkat senjata sejak zaman Revolusi. Untung yang mantan Heiho (pembantu tentara zaman Jepang) itu ikut Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sementara Benny yang waktu itu baru berumur belasan tahun bergabung dengan Tentara Pelajar di Solo. Setelah Indonesia merdeka, Benny masuk Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan memulai karier militernya sebagai Pembantu Letnan.
Baik Untung maupun Benny adalah prajurit infanteri dengan kualifikasi terjun payung. Pada tahun 1950an, Untung bertugas di Banteng Raiders TT Diponegoro, Jawa Tengah, sedangkan Benny di Kesatuan Komando TT Siliwangi, Jawa Barat, lalu ke RPKAD.
Selepas upacara, Untung dan Benny sempat berfoto bersama. Benny yang biasanya pasang tampang angker dan Untung yang pendiam tersenyum menghadap kamera. Dan Untung, yang bertubuh lebih pendek, tampak merangkul Benny. Keduanya, sebagaimana tulisan pada medali Bintang Sakti, berhak atas cap “Mahawira” atau mahaberani.
Kelak, ketika posisi Komandan Batalyon Kawal Kehormatan II Cakrabirawa kosong (setelah Ali Ebram dipindah ke jabatan lain), menurut Mangil Martoatmodjo dalam bukunya Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999), pilihan pertama Presiden Sukarno adalah Mayor Benny Moerdani, yang pada waktu itu menjabat Komandan Batalyon II RPKAD. Namun, Benny menolak sehingga tugas itu jatuh kepada Untung.
Semua tahu betapa suram nasib Untung setelah Peristiwa September/Oktober 1965. Selaku (tertuduh) pemimpin penculikan jenderal-jenderal tinggi Angkatan Darat, ia dieksekusi mati pada 1966.
Di sisi lain, Benny menjadi anggota Kostrad setelah keluar dari RPKAD. Di sana ia berjumpa Ali Moertopo, yang pernah bertugas di Banteng Raider seperti Untung. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), Benny menjadi pembantu Ali Moertopo dalam menangani operasi-operasi terbatas di luar negeri. Salah satunya ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Sementara Untung Sjamsuri dimakan cacing dan serangga dalam kuburnya, karier Benny Moerdani semakin lama semakin cemerlang. Setelah bertugas sebagai perwira intel urusan luar negeri selama sembilan tahun, ia memimpin Konsulat Jenderal Indonesia di Malaysia Barat.
Kembali ke Indonesia, Benny menjadi andalan Presiden Soeharto dalam banyak urusan. Tugasnya macam-macam dan serba penting, mulai dari mengurus organisasi intelejen Indonesia, menjadi bos Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban alias Kopkamti, hingga menjabat sebagai Panglima ABRI.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Dea Anugrah