Menuju konten utama

Siapa Letkol Untung dan Perannya di G30S 1965, Dihukum Apa?

Profil Letkol Untung dan peran Komandan Cakrabirawa dalam sejarah G30S 1965/PKI hingga nasib yang menimpanya akibat peristiwa berdarah itu.

Siapa Letkol Untung dan Perannya di G30S 1965, Dihukum Apa?
Letkol Untung Syamsuri dibawa ke Mahmilub atas keterlibatannya dalam G30S. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Letnan Kolonel (Letkol) Untung Syamsuri menjadi salah satu tokoh yang disebut-sebut berperan penting dalam sejarah Gerakan 30 September (G30S) 1965. Siapa sebenarnya Komandan Batalyon Pasukan Cakrabirawa ini dan apa hukuman baginya usai G30S yang juga menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI)?

Peristiwa G30S 1965 masih menyisakan kontroversi sekaligus misteri. Pada pergantian malam tanggal 30 September ke 1 Oktober 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat (AD).

Para perwira penting TNI-AD ini diisukan tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno. Inilah yang kemudian membuat Cakrabirawa alias pasukan pengamanan presiden bergerak.

Letkol Untung merupakan salah satu pemimpin batalyon Cakrabirawa. Lantas, siapa dan apa peran Letkol Untung dalam peristiwa G30S/PKI? Bagaimana nasibnya setelah peristiwa berdarah itu serta hukuman apa yang diterimanya?

Profil Letkol Untung dan Karier Militernya

Ia lahir dengan nama kecil Kusman di Kebumen, Jawa Tengah, tanggal 3 Juli 1927. Sejak kecil, Kusman alias Untung diangkat sebagai anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri. Dari sinilah namanya kelak dikenal sebagai Untung Syamsuri.

Selepas menamatkan pendidikan dasar, Kusman meneruskan studinya ke sekolah dagang, namun belum sempat tamat lantaran pasukan Jepang masuk ke Indonesia pada 1942. Jepang menguasai Indonesia setelah Belanda menyerah dalam suasana Perang Dunia II itu.

Kusman kemudian memutuskan bergabung dengan Heiho atau Tentara Pembantu bentukan Jepang pada 1943. Dari sinilah karir militer Kusman dimulai.

Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Kusman yang merupakan mantan anggota Heiho menjadi anggota angkatan perang Republik Indonesia dengan pangkat sersan.

Dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang sudah dimulai sejak 1945 lantaran Belanda kembali dan ingin berkuasa di Indonesia lagi, Kusman bergabung dengan Batalyon Sudigdo dengan wilayah operasi di Wonogiri, Jawa Tengah.

Pada 1948, Kusman bersama Batalyon Sudigdo terlibat dalam peristiwa yang disebut pemberontakan PKI Madiun. Setelah peristiwa itu, Kusman mengganti namanya menjadi Untung Syamsuri dan kembali bergabung dengan TNI.

Sekitar tahun 1950-an, Untung naik pangkat menjadi kapten atau mayor dan memimpin Batalyon Banteng Raiders di Semarang. Memasuki tahun 1958, Untung yang kala itu berpangkat letnan satu terlibat dalam operasi penumpasan PRRI/Permesta di Sumatera Barat.

Karier militer Untung semakin melejit ketika ia ikut dalam operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) melawan Belanda di Papua Barat pada 1962. Atas sumbangsihnya itu, Untung menerima penghargaan berupa Bintang Sakti dari Presiden Sukarno.

Apesnya, beberapa tahun kemudian, karier Letkol Untung Syamsuri seketika hancur setelah ia dinyatakan bersalah terlibat dalam peristiwa berdarah G30S 1965.

Apa Peran Letkol Untung di G30S/PKI?

“Sore hari tanggal 30 September (1965), saya diberi pengarahan oleh komandan kompi saya," ungkap Sersan Mayor Bungkus dalam artikel "The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati" yang dimuat di jurnal Indonesia edisi Oktober 2004 volume 78 terbitan Universitas Cornell.

Komandan kompi yang dimaksud Serma Bungkus adalah Letnan Satu Dul Arif. Serma Bungkus menirukan kembali bunyi perintah dari Lettu Dul Arif:

“Komandan Batalyon kita telah menugaskan saya (Lettu Dul Arif) memegang unit Cakra berangkat dalam sebuah misi. Ada kelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden (Sukarno)."

Sang pemberi tugas tersebut adalah Letkol Untung yang kala itu menjabat sebagai Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa dan disebut-sebut sebagai pemimpin Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Pasukan Cakrabirawa wajib menjaga keselamatan Presiden Sukarno. Kala itu, tersiar desas-desus bahwa ada sejumlah perwira tinggi militer alias Dewan Jenderal yang ingin mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno.

Dari sinilah, pasukan Cakrabirawa bergerak ke kediaman para jenderal tersebut, menculik atau bahkan langsung menembak beberapa orang di antaranya, dan membawa mereka ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Letkol Untung sendiri masih bertugas pada malam 30 September 1965 itu, yakni mengawal Presiden Sukarno yang sedang menghadiri suatu acara di Senayan. Setelah tugasnya selesai, Letkol Untung bergegas ke Lubang Buaya.

Pagi harinya, tanggal 1 Oktober 1965, Letkol Untung melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) menyatakan bahwa telah ditumpas sebuah gerakan Dewan Jenderal yang diduga akan melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno sebelum tanggal 5 Oktober 1965.

Nasib Letkol Untung Usai G30S 1965, Dihukum Apa?

Setelah gerakan yang terjadi di malam 30 September atau dini hari 1 Oktober 1965 itu, Letkol Untung mulanya bangga menyatakan dirinya sebagai Ketua Dewan Revolusi yang berhasil menumpas gerakan kudeta Presiden.

Namun, hal tersebut hanya sementara. Peristiwa berdarah itu nyatanya menguncang negara. Sejak 2 Oktober 1965, Letkol Untung tiba-tiba menghilang.

Sebagaimana laporan pers saat itu yang dikutip dari buku Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI (2008) karya Manai Sophiaan, Letkol Untung kemudian diketahui berusaha kabur ke luar Jakarta dengan naik bus.

Pada 11 Oktober 1965, sampai di Tegal, Jawa Tengah, ada tentara yang tak ia kenal menaiki bus yang juga ditumpanginya. Barangkali panik, Untung melompat ke luar bus namun apes, ia jatuh dan menghantam tiang listrik.

Lagi-lagi nasib Untung buntung. Saat jatuh dari bus, ia dikira copet dan sempat dipukuli massa. Letkol Untung terpaksa mengaku bahwa dia adalah anggota pasukan Cakrabirawa alias pasukan pengawal keamanan presiden.

Dari sinilah Letkol Untung lantas diperiksa dan kemudian dihadapkan ke sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada awal 1966.

Dinukil dari Gerakan 30 September di hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966) terbitan Pusat Pendidikan Kehakiman Angkatan Darat disebutkan bahwa Letnan Kolonel Untung Syamsuri diberhentikan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya dalam dinas ketentaraan, berdasarkan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI/nomor 171/KOTI/1965.

Diungkapkan oleh Soebandrio dalam Kesaksianku tentang G-30-S (2000), setelah putusan tersebut, Untung ditahan di instalasi rehabilitasi di Cimahi, Jawa Barat, sembari menunggu keputusan hukumnya.

Tanggal 6 Maret 1966, Mahmilub menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Untung Syamsuri. Menurut kesaksian Soebandrio, Untung optimistis tak jadi dihukum mati dan yakin akan ditolong oleh Soeharto.

Soeharto, yang dikenal Untung saat merintis karier di angkatan perang RI, kala itu sudah berpangkat letnan jenderal dan menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) menggantikan Letjen Ahmad Yani yang menjadi korban G30S.

Tak disangka oleh Untung, tanggal 7 Maret 1966, terbit surat keputusan dari Menpangad Letjen Soeharto yang menyatakan setuju atas keputusan eksekusi mati terhadap Letkol Untung.

Untung melalui pembela hukumnya sempat mengajukan grasi. Alih-alih mendapatkan keringanan hukuman, Letkol Untung Syamsuri pada akhirnya dieksekusi mati di sebuah desa di Cimahi, Jawa Barat.

Baca juga artikel terkait G30S 1965 atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya