tirto.id - Isi Trikora atau Tri Komando Rakyat merupakan upaya Indonesia demi tujuan membebaskan Irian Barat (Papua) dari Belanda. Sukarno, salah satu tokoh dalam sejarah Trikora, mengumumkan seruan operasi ini tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta.
Masalah Papua Barat ini bermula dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.
Masih terdapat satu persoalan penting yang belum disepakati, yakni mengenai status Papua Barat. Baik Indonesia maupun Belanda merasa lebih atas wilayah di bagian timur Kepulauan Nusantara itu.
Lantaran tidak dicapai titik temu, tulis Amarulla Octavian dalam Militer dan Globalisasi (2012), KMB memutuskan bahwa masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu setahun ke depan. Namun, hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi.
Latar Belakang Trikora dan Tokohnya
Belanda ternyata ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka. Petrik Matanasi dalam “Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua” terungkap bahwa pada Februari 1961, Belanda mulai membentuk parlemen. Lalu, pada 19 Oktober 1961, dibentuk Komite Nasional Papua.
Kekuatan militer Papua juga turut dibangun. Departemen Penerangan RI merilis buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang di dalamnya terdapat bukti bahwa Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960.
Melihat hal ini, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia tidak tinggal diam. Pada 6 Maret 1961, dibentuk Korps Tentara Kora-1. Sebagai panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto.
Nama kesatuan ini beberapa kali mengalami perubahan, dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) hingga menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Tanggal 11 Desember 1961, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan).
Menurut buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1979), tiga hari setelah itu dilaksanakan sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno.
Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengutarakan maksud Trikora melalui pidatonya yang diserukan di Yogyakarta.
Isi Trikora dan Tujuannya
Mangil Martowidjojo melalui buku Kesaksian Tentang Bung Karno (1999:322) menggambarkan situasi ketika Bung Karno berpidato pada 19 Desember 1961 itu:
“Rapat raksasa ini dikunjungi ratusan ribu rakyat dari daerah Yogyakarta dan luar daerah Yogyakarta, sehingga Alun-Alun Utara di Yogyakarta menjadi lautan manusia.”
Pagi hari pukul 09.00 WIB, Sukarno menyampaikan tujuan Trikora untuk menggagalkan pembentukan negara boneka oleh belanda di Papua Barat.
Bung Karno juga menegaskan bahwa bendera Merah Putih harus berkibar di Irian Barat serta digelar mobilisasi umum untuk mengambil kembali Irian Barat dari kuasa Belanda.
Adapun isi Trikora seperti yang diserukan oleh Bung Karno adalah sebagai berikut:
- Gagalkan negara boneka Papua
- Kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di Papua
- Siapkan diri untuk mobilisasi umum
Pada 2 Januari 1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala dan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima.
Tugas kesatuan ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menggelar operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.
Akhir Operasi Trikora
Dalam melancarkan aksi Trikora salah satu yang dikenal adalah kapal penjelajah KRI Irian 201. Kapal ini didapatkan Indonesia dari Rusia pada 5 Oktober 1961.
Menurut Achmad Taufiqoerahman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258), Kapal KRI Irian 201 dilengkapi berbagai fasilitas tempur, seperti rudal, torpedo, hingga bom jarak jauh.
Buku Laksmana Kent Menjaga Laut Indonesia (2014:38) yang disusun oleh Bernard Kent Sondakh dan kawan-kawan menjelaskan, ketika itu Indonesia setidaknya punya 12 fregat, 12 kapal selam, 22 kapal cepat bertorpedo dan berpeluru kendali, serta 4 kapal penyapu ranjau.
Atas saran Amerika Serikat, Indonesia diminta mengedepankan jalan diplomasi untuk mengambil-alih Papua Barat dari Belanda. Amerika Serikat bersedia menjadi "penengah" danmenyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut.
Indonesia dan Belanda, atas desakan AS, bertemu kembali di satu meja pada 15 Agustus 1962. Delegasi RI dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.
Dikutip dari Constructing Papuan Nationalism (2005:30) karya Richard Chauvel, inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa
Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963
Selama proses pengalihan, wilayah Papua Barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.
Hingga akhirnya, tanggal 1 Oktober 1962., Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA.
Berikutnya, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis