tirto.id - Sejarah Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) berpuncak tanggal 25 April 1950 dengan wilayah pertahanan utama di Ambon. Christian Robert Steven Soumokil disebut-sebut sebagai dalang gerakan ini.
Soumokil adalah mantan Jaksa Agung wilayah Negara Indonesia Timur (NIT). Tanggal 5 April 1950, Soumokil ikut memotori Pemberontakan NIT bersama Andi Azis.
Keduanya punya keinginan untuk mempertahankan NIT sebagai negara federasi. Selain itu, terdapat juga pernyataan bahwa Soumokil ketika itu akan diangkat menjadi tokoh politik, jika NIT bertahan.
Latar Belakang Pemberontakan RMS
Melalui artikel “Peristiwa Andi Azis di Sulawesi Selatan 5 April 1950” dalam Seminar Series in Humanities and Social Science No.1 (2019), Bahtiar dan kawan-kawan menjelaskan, Federasi Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur bergabung dengan NKRI pada akhir Maret 1950. Sedangkan, NIT diminta bergabung pada 4 April 1950.
Dikutip dari tulisan Petrik Matanasi berjudul “Christian Soumokil dan RMS: Sejarah Pelik Separatisme Maluku”, pada 4 April 1950, Soumokil sempat mengadakan pertemuan dengan Andi Azis untuk mempersiapkan pemberontakan di esok hari.
Bersama beberapa mantan tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger), mereka melakukan aksi penentangan NIT menjadi bagian RI pun dilakukan, berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pertempuran antara RI dan pasukan Andi Azis membuat Makassar hingar-bingar. Perihal tanggung jawab kejadian ini disudutkan kepada Andi Azis dan ia harus melapor terkait aksinya.
Ketika ke Jakarta, Andi Aziz ditangkap. Saat itu, Soumokil masih berada di Makassar hingga 13 April 1950 pergi ke Ambon.
Tokoh dan Rencana RMS
Perencanaan yang sudah diatur oleh Soumokil dan Andi Azis terkait NIT pupus. Namun, Soumokil enggan melihat kenyataan bahwa terdapat banyak kalangan yang menyerukan persatuan negara NKRI.
Di Ambon, Soumokil masih membawa cita-cita sebelumnya untuk menguasai negara federasi. Ia mengajak beberapa tokoh dan mantan anggota KNIL di Ambon untuk mendeklarasikan lahirnya RMS.
Tujuan Soumokil adalah memisahkan Maluku Selatan (Ambon, Buru, dan Seram) dari wilayah NKRI. Ia melancarkan berbagai propaganda untuk menambah pengikut, termasuk beberapa daerah di Maluku Tengah.
Pada 25 April 1950, proklamasi RMS dilakukan. Di sisi lain, ada beberapa orang di Ambon yang tidak setuju dengan kehadiran RMS dan menginginkan NKRI. Mereka ditangkap atas perintah Soumokil.
Menurut Syaranamual dalam Soumokil dan Hantjurnja RMS (1964), ternyata deklarasi kelahiran RMS semata-mata diprakarsai tekanan serta paksaan.
Dikutip dari tulisan berjudul "Peristiwa Republik Maluku Selatan" di laman resmi Kemendikbud, proklamasi RMS tidak serta merta langsung menjadi negara.
Sebelum itu, sudah ada perencanaan tentang beberapa tokoh yang akan mengisi jabatan dalam pemerintahan RMS.
Susunan pemerintahan RMS meliputi J.H. Manuhutu selaku Presiden, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri, dan menteri-menteri (Soumokil, D.J. Gasperz, J. Toule, S.J.H. Norimarna, J.B. Pattiradjawane, P.W. Lokollo, H.F. Pieter, A. Nanlohy, Manusama, dan Z. Pesuwarissa).
Posisi Wakil Presiden RMS yang masih kosong kemudian diisi oleh J.P. Nikijuluw. Lalu, pada 3 Mei 1950, ternyata Soumokil yang diangkat menjadi Presiden RMS, menggantikan Manuhutu.
Bukan hanya pemerintahan, RMS juga membangun bidang militernya. Pada 9 Mei 1950, Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS) dinyatakan sebagai kumpulan tentara RMS.
D.J. Samson, Sersan Mayor KNIL, ditunjuk menjadi panglima tertinggi. Sedangkan, susunan militer bawahannya disesuaikan dengan sistem jabatan KNIL.
Akhir Pemberontakan RMS
NKRI memandang gerakan RMS sebagai pertentangan terhadap pemerintahan yang sah. Maka, dilakukan beberapa upaya untuk mengatasinya.
Pertama, Johannes Leimena diutus sebagai wakil pemerintah pusat untuk mengadakan perundingan dengan RMS, tapi ditolak. Akibatnya, pemerintah terpaksa mengerahkan kekuatan militer dengan dengan dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang.
Militer Indonesia saat itu disebut sebagai APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dipakai sesuai kesepakatan dengan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) maupun saat pengakuan kedaulatan.
Perang antara kedua belah pihak pun pecah. Ambon berhasil direbut APRIS pada November 1950. Melihat kekalahan, RMS pergi meninggalkan kota pertahanannya dan memilih perang gerilya.
Soumokil akhirnya tertangkap pada 12 Desember 1963. Ia dibawa untuk diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa, Jakarta.
Keputusan hakim menyatakan bahwa Soumokil dijatuhi hukuman mati. Tanggal 12 April 1966, Soumokil dieksekusi di Pulau Obi, Halmahera Selatan.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya