tirto.id - Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga pernah terjadi di Aceh pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII di tanah rencong pada 1953-1962 dimotori oleh Teungku Daud Beureueh.
Daud Beureueh adalah sosok ulama yang pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh. Dikutip dari Ulama Aceh dalam perspektif sejarah (1983:92) karya Ismuha, tanggal 1 Januari 1950, Daud Beureueh resmi menjabat Gubernur Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS merupakan konsep kenegaraan yang diputuskan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tanggal 23 Agustus-2 November 1949 yang berujung pada pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir tahun 1949.
Beberapa bulan setelah itu, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni pada Mei 1950. NKRI menaungi 10 provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1950.
Perubahan ini ternyata berimbas kepada Provinsi Aceh yang akan dileburkan menjadi Provinsi Sumatera Utara. Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi (2008:260) mengungkapkan, atas dasar itulah sejumlah perwakilan dikirim ke Aceh.
Mereka adalah Mohammad Hatta (Wakil Presiden), Mohamad Natsir (Perdana Menteri), Sjafruddin Prawiranegara (Wakil Perdana Menteri), serta Mr. Asaat (Menteri Dalam Negeri).
Akan tetapi, Daud Beureueh dan beberapa ulama Aceh tidak sepakat dengan rencana peleburan itu. Djumala dalam Soft Power untuk Aceh (2013:29) menjelaskan, identitas Aceh sebagai negara Islam tidak bisa disatukan dengan bagian yang tidak sealiran.
Kementerian Penerangan melalui buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara (1953:408) menambahkan, Daud Beureueh dan kawan-kawan menginginkan Aceh menjadi kepengurusan tunggal dalam bentuk provinsi.
Penyebab DI/TII di Aceh
Menanggapi kedatangan para petinggi negara di Aceh, Daud Beureueh meminta agar dilakukannya pertimbangan kembali terkait penyatuan Aceh menjadi bagian Sumatera Utara.
Yang terjadi justru sebaliknya. Dikutip dari buku karya Djumala, Mohamad Natsir selaku perdana menteri malah melakukan pembubaran terhadap Provinsi Aceh resmi pada 23 Januari 1951.
Reaksi keras dari pun datang dari sejumlah tokoh Aceh yang oleh pemerintah pusat kemudian dikategorikan sebagai gerakan pemberontakan. Daud Beureueh, baik sebagai ulama atau pemimpin Aceh, memotori aksi perlawanan.
Daud Beureueh semakin kesal karena Presiden Sukarno, pada Juni 1948 pernah berjanji bahwa Aceh diperbolehkan menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia.
Merasa dibohongi, Daud Beureueh amat kecewa. Terlebih peran masyarakat Aceh dalam perjuangan amat besa, dari masa perlawanan terhadap penjajah, mendukung kemerdekaan RI termasuk dengan menyumbang dana pembangunan hingga memberikan bantuan berupa pesawat terbang.
Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Maridjan Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 semakin memantapkan Daud Beureueh untuk turut melawan.
Dari Aceh, Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.
Penyelesaian Masalah
Sejarah mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud Beureueh terjadi mulai 20 September 1953.
Dalam riset Harry Adi Darmanto bertajuk "Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) Tahun 1953-1962" (2007), ditambahkan, kebijakan penyatuan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara ditentang.
Daud Beureueh dan kelompoknya bahkan menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh. Pemerintah pusat tidak tinggal diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada DI/TII Daud Beureueh di Aceh.
Ada dua jalur yang ditempuh pemerintah pusat, yakni upaya militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar “Operasi 17 Agustus” dan “Operasi Merdeka”.
Sedangkan cara diplomasi diterapkan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdialog dengan Daud Beureueh dan kawan-kawan dalam upaya meredam perang saudara.
Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan.
Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian.
Munculnya Konflik Baru
Ternyata, masalah belum sepenuhnya dapat diatasi. Beberapa mantan pengikut Daud Beureueh yang tetap bergerak melawan pemerintah pusat, salah satunya adalah Hasan Tiro.
Menurut Neta S Pane dalam Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (2001:10), Hasan Tiro melihat kenyataan pahit di mana rakyat Aceh lemah ekonomi dan pendidikannya kendati sudah menjadi bagian Indonesia.
Pada 30 Oktober 1976, Hasan Tiro mengadakan pertemuan di Pidie dengan beberapa mantan tokoh DI/TII dan para pemuda Aceh
Di kaki Gunung Halimun, bahasan utama adalah tentang sumber daya alam Aceh yang dikeruk oleh industri asing atas izin pemerintah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
GAM berlangsung sangat lama dan telah terlibat konflik dengan angkatan militer pemerintah pusat yang memakan belasan ribu korban jiwa. Penyelesaian masalah ini baru dapat dituntaskan pada 2005.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya